LAPERA: Ketika Matematika Kelas 4 Menjadi Permainan yang Membuka Jalan Pemahaman

LAPERA: Ketika Matematika Kelas 4 Menjadi Permainan yang Membuka Jalan Pemahaman
LAPERA: Ketika Matematika Kelas 4 Menjadi Permainan yang Membuka Jalan Pemahaman (Analisadaily/Istimewa)

Analisadaily.com, Batu Bara - Dari kegiatan Gelar Karya Peningkatan Kompetensi Guru Sekolah Dasar dalam pemanfaatan media pembelajaran sederhana, dihelat di Batu Bara, belum lama ini, Aan Suryadi, Guru UPT SD Negeri 12 Titi Putih, Kecamatan Lima Puluh, Batu Bara, membawa angin segar dalam pembelajaran numerasi. Tidak dengan rumus rumit, tidak pula dengan lembar kerja tebal, melainkan dengan sebuah media pembelajaran unik yang ia namai LAPERA.

Di tangannya, matematika yang selama ini terasa abstrak berubah menjadi permainan yang bisa disentuh, digerakkan, bahkan “diparkirkan”. LAPERA menjadi bukti bahwa kreativitas seorang guru dapat membuka pintu pemahaman baru bagi anak-anak, terutama ketika berhadapan dengan materi yang dikenal sering membuat mereka kebingungan: hubungan antara penjumlahan dan pengurangan.

Aan mengajar di kelas 4. Ia sering melihat kebingungan terpancar dari wajah murid-muridnya ketika berhadapan dengan soal cerita numerasi, terutama yang membutuhkan pemahaman hubungan antara dua operasi dasar: tambah dan kurang.

“Mereka itu bisa menjawab soal hitung biasa, tapi kalau soal cerita… mereka bingung,” ujarnya, ditemui usai kegiatan Gelar Karya Peningkatan Kompetensi Guru Sekolah Dasar dalam pemanfaatan media pembelajaran sederhana, belum lama ini.

Kebingungan itu menjadi bahan refleksi. Dari sanalah gagasan LAPERA muncul: bagaimana kalau proses hitung itu divisualkan dan dijadikan permainan?

Setelah mengikuti pendampingan dari Fasilitator Daerah Tanoto Foundation di Batu Bara, Aan merasakan semangat baru untuk berinovasi. Ia mulai merancang medianya, mencoba berbagai bentuk, sampai akhirnya menemukan format yang dianggap paling pas.

Tiga bulan lamanya ia menyusun, menguji, memperbaiki, dan menyempurnakan LAPERA.

Di hadapan murid-muridnya, Aan memperlihatkan cara kerja LAPERA dengan penuh kesabaran. Angka-angka ditempatkan pada “parkiran” khusus, diberi warna sesuai fungsi, lalu digerakkan mengikuti alur penyelesaian.

Misalnya, untuk soal 332 … hasilnya 673, ia menjelaskan langkahnya satu per satu melalui jalur permainan.

“Bilangan satuan berwarna hijau. Kita jalankan dulu angkanya… lalu masuk ke parkir pengurangan… tiga dikurang dua sama dengan satu… baru ke parkir hasil,” tuturnya sambil mencontohkan gerakan.

Dari jauh mungkin terlihat rumit, tapi di mata murid kelas 4, permainan itu justru membuat proses berpikir menjadi lebih konkret. Mereka bisa melihat alur pengurangan, jalur penjumlahan, dan hubungan keduanya secara visual.

“Alhamdulillah, anak-anak lebih paham,” kata Aan dengan wajah lega.

Bagi sebagian orang dewasa, cara itu mungkin terasa berbeda dari cara belajar dulu yang sederhana: 1 + 1 = 2. Namun LAPERA dirancang untuk menjawab tantangan baru: bagaimana membuat anak mau dan mampu memahami soal numerasi yang membutuhkan langkah penyelesaian, bukan sekadar jawaban akhir.

Aan menyadari bahwa saat ujian nanti anak-anak tidak bisa membawa LAPERA ke meja mereka. Namun ia percaya, begitu konsepnya mengendap dan alurnya dipahami, “jalan penyelesaian” itu akan tetap melekat.

“Mereka kan sudah tahu cara pengurangannya. Jalannya itu kita buat di sini, jadi nanti mereka tinggal menerapkan di kertas,” jelasnya.

Ia juga menyiapkan adaptasi LAPERA untuk kelas tinggi, di mana angka-angka mulai masuk ribuan. Prinsipnya sama: visualisasi, jalur, dan logika yang mudah diikuti.

Saat LAPERA pertama kali dicoba dua minggu lalu, reaksi murid-murid Aan membuat segala jerih payahnya terbayar.

“Mereka bisa memahami. Biasanya kan kurang memahami, terutama kalau soal cerita,” tuturnya.

Belum ada nilai ujian yang bisa menjadi pembuktian formal. Namun indikator terbaik bagi Aan justru muncul dari ekspresi murid-muridnya: antusias, penasaran, dan mulai percaya diri dengan matematika.

Dan dari ruang kelas itulah, satu ide kecil mulai menyebar. LAPERA bukan hanya produk kreativitas seorang guru, tetapi bukti bagaimana pelatihan dan pendampingan yang diberikan Tanoto Foundation dapat menumbuhkan jejaring guru imbas yang mampu berinovasi.

Ketika ditanya apa langkah selanjutnya, Aan tersenyum.

“Insya Allah kita buat media-media terbaru lagi,” katanya.

LAPERA mungkin baru langkah pertama. Namun dari komitmen seorang guru daerah seperti Aan, tampak jelas bahwa pembelajaran numerasi bisa dibuat lebih manusiawi, lebih dekat, dan lebih menyenangkan.

Karena matematika, seperti halnya pendidikan, sejatinya bukan hanya soal angka, tetapi tentang menemukan jalan untuk memahami dunia. Dan bersama LAPERA, murid-murid kelas 4 SDN 12 Titi Putih kini sedang menemukan jalannya.

(DEL)

Baca Juga

Rekomendasi