Inklusi Tumbuh di Batu Bara

Inovasi Guru Menyentuh Anak Berkebutuhan Khusus

Inovasi Guru Menyentuh Anak Berkebutuhan Khusus
Demson, anak berkebutuhan khusus, salah satu siswa istimewa di kelas 1 A UPT. SDN 30 Pasar Lapan, Desa Pasar Lapan Kec. Air Putih, Kab.Batu Bara tampak antusias mencoba media pembelajaran yang disebut Semu Kojab di depan kelas. (Analisadaily/Adelina)

Oleh: Adelina Savitri Lubis

Analisadaily.com, Batu Bara - Hotma Wulansari Sitohang, Guru kelas 1A UPT. SDN 30 Pasar Lapan, Desa Pasar Lapan Kec. Air Putih, Batu Bara ini tidak pernah membayangkan bahwa pelatihan yang ia ikuti bertahun-tahun lalu; pelatihan yang memperkenalkannya pada konsep MIKIR, juga Deep Learning lewat media ajar sederhana, dan pembelajaran aktif akan menjadi penopang terpenting saat seorang anak istimewa bernama Demson masuk ke kelasnya.

Sebagai Fasilitator Daerah (Fasda) Tanoto Foundation, Wulan terbiasa melatih guru-guru lain membangun pembelajaran yang berpihak pada murid. Namun, ketika Demson muncul tanpa catatan khusus, ia sadar bahwa seluruh pengetahuan yang ia transmisikan ke para guru kini ditantang untuk diwujudkan di ruang kelasnya sendiri.

Jejak Perjuangan Juliana

Pagi itu, sinar matahari menyelinap malu-malu melalui kisi-kisi jendela kelas I A UPT SDN 30 Pasar Lapan, Kabupaten Batubara. Di antara bangku kecil yang sudah rapi, seorang anak laki-laki duduk sambil memegang sendok huruf. Namanya Demson, siswa kelas 1 A, dia merupakan anak berkebutuhan khusus.

Demson lahir di Bekasi, lalu dibawa pulang ke kampung halaman di Kabupaten Batubara setelah ayahnya meninggal ketika ia baru berusia satu setengah tahun. Sejak itu, ibunya, Juliana Sinaga (34), membesarkannya seorang diri. Tumbuh besar tanpa ayah dan dengan kondisi perkembangan yang berbeda, Demson sering menjadi bahan perbincangan.

“Orang bilang anak saya autis, ada juga bilang kurang dengar. Tapi saya tidak pernah bawa ke dokter… saya takut tidak sanggup mengurus birokrasinya dan biayanya,” ujar Juliana, pelan.

Namun ia tak pernah berhenti memperhatikan putranya. Juliana melihat pola-pola kecil yang membentuk harapan: Demson cepat meniru, tangkas memahami hal-hal yang berkaitan dengan handphone, sangat aktif, tetapi mudah kewalahan di suasana ramai.

Saran demi saran datang dari tetangga—termasuk agar Demson “lebih cocok” masuk SLB. Jaraknya 12 kilometer, melewati jalan besar yang dipenuhi truk. Bagi Juliana, itu bukan pilihan aman.

“Saya mau dia bisa huruf, angka, pelan-pelan saja. Dan saya mau dia sekolah dekat rumah,” katanya.

Ia lalu memberanikan diri mendaftarkan Demson ke UPT SDN 30 Pasar Lapan, sekolah umum yang bisa dicapai dalam 10 menit berjalan kaki. Keputusan yang penuh risiko itu justru disambut hangat. Kepala sekolah dan guru-guru membuka ruang bagi Demson.

Semu Kojab, Inovasi Literasi

Ini adalah hari istimewa bagi seluruh anak di kelas, termasuk Demson, bukan karena perayaan ulang tahun, namun karena hari itu Wulan, sang guru menciptakan media pembelajaran baru yang ia sebut Sendok Ilmu Kotak Ajaib, disingkat Semu Kojab, merupakan alat belajar yang dibuat dari barang-barang sederhana seperti kardus susu, kertas manila, sendok plastik, gabus atau sterofoam, dan lakban bening. Tujuannya adalah untuk membantu anak memahami konsep dasar literasi.

"Beberapa anak bahkan belum mengenal huruf, tapi dengan cara ini, mereka mulai menghubungkan kata dengan objek,” kata Wulan, Senin (16/11/2025).

Tak sendirian, Wulan berkolaborasi dengan Agus Dianty, guru kelas 1B, merupakan guru imbas Fasda Tanoto Foundation.

"Inspirasi datang dari video-video pembelajaran sederhana di internet. Kami membagi tugas, menyiapkan alat, dan merancang aktivitas yang bisa membantu anak memahami konsep dasar literasi," bilang Wulan.

Dalam praktiknya, anak-anak diminta menuliskan kata berdasarkan bagian tumbuhan pada sendok plastik, lalu menancapkannya ke gabus.

Maka jadilah pagi itu meriah dan riuh oleh suara anak-anak yang berebut maju ke depan. Mereka ingin menancapkan huruf per huruf itu pasca Wulan menyebut kata 'Daun'.

"Bu, saya bu..,bu.., ibu.., saya ke depan bu.."

Suara anak di dalam kelas bersahut-sahutan. Begitu Wulan mempersilahkan, masing-masing anak pun mulai berdiri dan berjalan ke depan kelas. Wajah mereka sumringah, dan bangga ketika Wulan memberi pujian dengan kata 'bagus' dan 'pintar'.

Bagaimana dengan Demson? Dia juga tak mau ketinggalan, dengan langkah yang mantap, Demson berjalan ke depan kelas. Di tangannya sudah ada 4 sendok plastik huruf.

"Ayo Demson, apa saja huruf-huruf untuk kata 'Daun'?" tanya Wulan kepadanya.

Meski tak menjawab, Demson langsung menancapkan sendok yang telah ditulisi huruf demi huruf itu di atas gabus media pembelajaran itu. Seluruh kelas kemudian bertepuk tangan. Hari itu Demson percaya diri menunjukkan keberaniannya.

Bagi Wulan, kehadiran Demson seperti menguji kembali pengetahuan yang ia simpan sejak lama.

“Nama Demson muncul di daftar siswa baru tanpa catatan apa pun. Tidak ada yang memberi tahu bahwa anak ini membawa perjalanan yang panjang,” tuturnya.

Namun sejak awal tahun ajaran membuat Wulan memikirkan cara baru untuk mengajar. Berbekal pengalaman mengikuti pelatihan dari Tanoto Foundation. Ia belajar tentang pembelajaran mendalam (Deep Learning), ia memahami bahwa pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang membangun pengalaman nyata dan melibatkan emosi positif murid. Ilmu itu ia gunakan saat menghadapi Demson. Ia sadar metode konvensional tidak akan cukup.

"Pelatihan itu seperti membuka mata saya. Saya belajar bahwa literasi bukan hanya tentang anak mampu membaca. Literasi itu tentang bagaimana guru memahami anak, mencari jalannya, dan menciptakan pengalaman belajar yang bermakna. Terutama bagi anak seperti Demson," akunya.

Saat pertama kali mengajar Demson, Wulan menyadari bahwa pendekatan yang biasa tidak akan cukup. "Kalau huruf cuma ditulis di papan, dia tidak menangkapnya. Jadi saya harus membuat huruf menjadi sesuatu yang bisa ia sentuh, susun, dan lihat bentuknya," ucap Wulan.

Dari Pelatihan, Guru Berdaya dan Kolaboratif

Media pembelajaran 'Semu Kojab' hanyalah satu dari sekian banyak media pembelajaran yang pernah dipraktikkan Wulan di kelasnya. Sebelumnya Wulan pernah membuat media pembelajaran bertajuk 'Rumah Huruf'. Untuk bagian numerasi, ada juga media pembelajaran dari bahan bekas yang dinamakannya 'Jalan Raya Operasi Hitung Bilangan Bulat'.

Tujuan dari media pembelajaran ini adalah membantu murid memahami makna penjumlahan dan pengurangan bilangan puluhan secara konkret, menambah semangat belajar dan kerja sama melalui permainan dan menumbuhkan kepedulian lingkungan dengan memanfaatkan bahan bekas.

"Dalam pembelajaran penjumlahan dan pengurangan bilangan puluhan, tentu dengan latar belakang murid yang berbeda, tak jarang ditemukan beberapa murid masih kesulitan memahami makna "menambah' dan 'mengurangi' secara utuh, terutama ketika nilainya sudah mencapai bilangan puluhan," bilang Wulan.

Karena itu kata Wulan, media pembelajaran dianggap penting agar materinya lebih mudah diserap dan mengajarkan anak berpikir secara logis. Selain itu anak juga akan belajar lebih mudah memahami melalui benda nyata dan kegiatan bermain.

Hasilnya, terlihat. Demson, yang awalnya kesulitan mengenali huruf dan angka, kini mulai bisa menghubungkan bunyi dengan simbol. Ia mulai mengeja kata sederhana. Ia mulai menunjukkan minat terhadap buku bergambar. Ia mulai percaya bahwa ia bisa.

Peran Wulan sebagai Fasda membuatnya tidak bekerja sendiri. Ia bagian dari sebuah ekosistem belajar. Ia mengikuti pendampingan, membaca panduan, berdiskusi dengan fasilitator lain, dan terus memperbarui strategi mengajar.

Ia mengaku, jika bukan karena pelatihan Fasda, mungkin ia tidak akan seluwes sekarang dalam membaca kebutuhan murid. "Tanoto Foundation mengajari kami melihat anak sebagai subjek, bukan objek. Kalau kita percaya anak mampu, kita akan mencari jalan. Dan jalan itu selalu ada," katanya.

Sebagai Fasda, ia pun membagikan pengalaman mengajar Demson kepada guru-guru lain. Ia ingin guru tidak takut atau bingung saat bertemu murid berkebutuhan khusus. Ia ingin mereka punya keyakinan bahwa dengan media sederhana, dukungan komunitas sekolah, dan hati yang terbuka, inklusi bukan hanya slogan.

Agus Dianty, guru muda yang mengajar murid kelas 1 B mengamini itu, menurutnya dengan adanya kolaborasi bisa meningkatkan pembelajaran anak-anak lagi. "Dengan belajar yang menyenangkan, anak-anak jadi tidak takut untuk ke sekolah," imbuhnya.

Buka Pintu Inklusi

Kepala Sekolah UPT SDN 30 Pasar Lapan, Batu Bara, Sugiatik, S.Pd.SD, memberikan dukungan penuh. Meskipun UPT SDN 30 Pasar Lapan belum menjadi sekolah mitra Tanoto Foundation, namun ia terus mendukung guru-guru di sekolahnya untuk mengikuti setiap pelatihan yang diselenggarakan lembaga filantropi ini, yang juga sejalan dengan misi pemerintah yang berfokus pada peningkatan kualitas melalui kebijakan seperti pelatihan guru, penguatan kurikulum, dan digitalisasi pendidikan.

Menurutnya, keberanian guru mencari solusi kreatif adalah kunci. “Bu Wulan memberi contoh bahwa inovasi tidak harus mahal,” katanya, Kamis (20/11/2025).

Ia menambahkan bahwa pendekatan inklusif yang diterapkan Wulan menjadi model penting bagi sekolah. Secara pribadi, Sugiatik memandang inklusi sebagai bagian dari mandat moral. Kini ada sepuluh anak berkebutuhan khusus bersekolah di sana. Selain Demson, ada Javier yang tinggal di Indra Pura, yang melewati banyak sekolah sebelum akhirnya diterima sepenuh hati di SDN 30 Pasar Lapan.

Menurut Sugiatik, menjadi Sekolah Penggerak bukan soal status. “Ini tentang membuka akses. Jika sekolah umum menutup pintu, ke mana lagi anak-anak seperti mereka pergi?,” tanyanya.

Di sekolah ini, media ajar sederhana, dari stik es krim, panel fonik, kartu huruf dari kardus menjadi jembatan penting untuk literasi.

“Media sederhana bisa membuat anak berkebutuhan khusus seperti Demson belajar lebih baik. Saya berharap ini bisa direplikasi,” harapnya.

Dorong Literasi Numerasi Batu Bara

Harapan itu juga menjadi harapan Wakil Bupati Batu Bara, Syafrizal. Menurutnya melalui media pembelajaran yang konstektual dan berbasis lingkungan bukan hanya menjadi strategi tapi juga komitmen untuk menciptakan suasana belajar yang menyenangkan.

Guru-guru di Batu Bara didorong untuk lebih aktif mendorong peningkatan numerasi literasi sebagai fondasi penting masa depan pendidikan. Langkah ini menjadi kontribusi nyata dalam membangun ekosistem pendidikan dasar yang lebih berkualitas dan berdaya saing menuju indonesia emas 2045.

"Saya berharap adanya keberlanjutan program Tanoto Foundation melalui dukungan Dinas Pendidikan Kabupaten Batu Bara, agar pelatihan serupa dapat diadopsi oleh kelompok belajar lain di seluruh wilayah," katanya dalam wawancara Kamis (16/10/205)

Apalagi ini sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045, yakni membangun generasi cerdas dan berkarakter melalui pendidikan berkualitas. Tanoto Foundation dan fasilitator daerah berkomitmen untuk terus memperkuat kapasitas guru, menciptakan ruang belajar yang menyenangkan, dan mempercepat peningkatan literasi serta numerasi di tingkat sekolah dasar.

Tanoto Foundation Perkuat Kapasitas Guru Indonesia

Regional Lead Tanoto Foundation, Medi Yusva, menuturkan setiap orang berhak atas pendidikan berkualitas untuk mewujudkan potensinya, dan ini menjadi landasan berdirinya Tanoto Foundation pada tahun 1981 untuk mempercepat kesetaraan peluang melalui pendidikan.

"Tanoto Foundation sebagai organisasi Filantropi yang berinvestasi pada peningkatan kemampuan literasi dan numerasi siswa di Indonesia melalui program Pengembangan Inovasi untuk Kualitas Pembelajaran (PINTAR) yang diluncurkan pada tahun 2018," katanya.

Program ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan literasi dan numerasi dasar siswa melalui 3 pilar, yakni peningkatan kualitas sekolah, penguatan sistem dan kebijakan pendidikan, serta pengembangan pendidikan profesi guru.

Analisa lanjutan atas Rapor Pendidikan 2023 dan 2024 di 295 sekolah di 24 mitra kabupaten/kota dan hasilnya menunjukkan bahwa program PINTAR terbukti turut berkontribusi dalam meningkatkan proporsi siswa yang mencapai kemampuan literasi dan numerasi minimum di tingkat sekolah dasar dan menengah pertama.

Evaluasi dampak program PINTAR menggunakan data rapor pendidikan, dengan melaksanakan studi internal dengan sampel 390 Sekolah Dasar (SD) dengan 195 SD mitra PINTAR, 195 SD non-mitra, dengan menggunakan metode penelitian berupa Kuasi Eksperimental menggunakan Propensity Score Matching (PSM).

Nilai rata-rata persentase Literasi siswa meningkat 10% dalam membaca, menemukan, memahami, dan merefleksikan teks informasi, sastra, serta isi teks. Sedangkan Peningkatan persentase Numerasi siswa meningkat 12% dalam aljabar, bilangan, geometri, data, pengetahuan, penerapan dan penalaran konteks.

"Hal ini dipengaruhi oleh adanya faktor-faktor yang berhubungan positif dengan kinerja siswa, dimana guru yang memberikan dukungan psikologis, menerapkan praktik inovatif, partisipasi orang tua dalam manajemen sekolah, dan pengeluaran sekolah untuk peningkatan mutu pembelajaran," pungkasnya.

Di kelas kecil Pasar Lapan, inklusi tumbuh bukan dari teori, tetapi dari ketekunan dan kreativitas guru seperti Wulan. Media ajar sederhana yang ia gunakan membuka jalan bagi Demson dan murid lain untuk mengenal huruf, memahami dunia, dan menemukan kepercayaan diri.

Didukung kepala sekolah, para guru, serta pendampingan Fasda Tanoto Foundation, SDN 30 Pasar Lapan menunjukkan bahwa inklusi dapat berjalan melalui langkah-langkah kecil yang konsisten: pembelajaran aktif, kolaborasi, dan keberpihakan pada murid.

Upaya sederhana di kelas ini menjadi bagian dari gerakan lebih besar untuk meningkatkan mutu pendidikan Indonesia, bahwa perubahan besar sering berawal dari tangan guru yang percaya setiap anak mampu belajar.

Lewat media ajar yang sederhana, sebuah jalan sudah terbuka untuk Demson, untuk para guru, dan untuk masa depan pendidikan yang lebih merangkul semua anak.***

(DEL)

Baca Juga

Rekomendasi