TATKALA awak media melakukan kerja-kerja jurnalistik, masih terjadi tindakan kekerasan terhadap mereka, termasuk pada bangunan fisik (kantor media). Hal penting menghindari kekerasan itu, tentu dibutuhkan perlindungan hukum bagi pers.
Perhatian untuk itu jelas. Lihat saja bagian awal UU Nomor 40 tentang Pers. Tepatnya butir (c) berbunyi :
“Bahwa pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum serta bebas dari campurtangan dan paksaan dari manapun”.
Perlindungan hukum ini erat kaitannya dengan kemerdekaan pers. Coba kita lihat dalam pasal-4 UU Pers. Ayat (1) : Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Ayat (2) : Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Ayat (3) : Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Ayat (4) : Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.
Selanjutnya dalam pasal 8 UU Pers menyatakan : “Dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum.
Tidak mengherankan jika hal perlindungan hukum bagi pers, masih selalu menjadi perbincangan, perdebatan bahkan dinyatakan melahirkan multitafsir. Padahal sisi perlindungan hukum ini sangat penting bagi pers. Sehingga dalam operasional pers, jika dihadapi hal-hal tertentu akan dapat diselesaikan dengan ketentuan yang jelas dan pasti.
Membalik UU Pers, akan terlihat beberapa sisi yang memang masih dipertanyakan. Ketika UU Nomor Pers ini dinyatakan sebagai lex specialis ternyata reaksi dari pakar hukum muncul. Pro-kontra. Masing-masing dengan argumentasi yang kuat. Sampai kini soal ini belum selesai. Akibatnya ?
Jika terjadi delik pers dan masuk ke ranah hukum akan terjadi tarik menarik dalam penanganannya, terutama aturan hukum. Sebagian menyatakan jika karya atau produk jurnalistik, langsung ditangani dengan UU Pers.
Sebagian lagi menyatakan belum tentu, jika pihak yang dirugikan dari pemberitaan itu, langsung melapor ke polisi seraya mengatakan terkait beberapa pasal dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Kini. Seharusnya pihak-pihak terkait duduk bersama untuk membicarakan hal itu. Tujuannya ? Supaya perlindungan hukum bagi wartawan dan media dapat diwujudkan dalam arti sesungguhnya.
Kalau menjadi delik pers, seyogianya ditangani dengan aturan yang tepat. Jika melanggar, sebutkan pasal dari aturan mana yang dilanggar. Atau jika delik pers terkena pasal dari UU tertentu, juga penanganannya harus jelas. Ini yang dapat menghindari ketidakpastian hukum.
Seirama dengan kemajuan teknologi yang melanda bidang jurnalisme. Seumpama dalam pemberitaan media siber (cyber media) terjadi pelanggaran kode etik atau etika profesi dalam pemberitaan media itu, sepatutnya pula penanganannya dengan ketentuan yang jelas.
Contoh : Pemberitaan media online, satu jam kemudian ada reaksi. Dan, redaksinya segera menghapus. Kalau publik yang dirugikan nama baiknya atas berita itu, penyelesaiannya bagaimana ? Belum semua orang tahu cara penanganannya.
Kehadiran internet diikuti sejumlah platform digital yang memenuhi ruang publik dengan aneka informasi. Saat tak melakukan verifikasi, lalu terjadi reaksi publik, berakibat media dimaksud tak lagi mendapat kepercayaan publik.
Di sini, media online yang sudah diverifikasi pihak Dewan, namun tanpa sengaja melahirkan delik pers, kedua pihak yakni pihak wartawan/media dan pihak publik, ingin mendapat perlindungan hukum. Proses hukum tentu dijalani.
Semoga jajaran pers nasional memberi perhatian serius soal perlindungan hukum ini. Meski tertera dalam UU Pers, tetap saja dalam praktek melahirkan masalah. Perlindungan hukum sangat perlu, untuk adanya kepastian hukum.











