Elmi Yuniarti saat memberikan pengarahan kepada para siswa di halaman sekolah (Analisa/nirwansyah sukartara)
Di tengah sunyi bukit Desa Ujung Deleng, api literasi sedang menyala. Dan sosok bernama Elmi Yuniarti adalah penjaganya.
Pagi itu, tawa dan sorak gembira terdengar memenuhi ruang kelas sederhana di atas perbukitan Desa Ujung Deleng, Kecamatan Kutabuluh, Kabupaten Karo. Seorang perempuan berkacamata, berambut sebahu, berdiri di tengah kelas dengan bersemangat. Ia adalah Elmi Yuniarti, SPd, Kepala SMP Negeri 2 Satu Atap Kutabuluh, Kabupaten Karo. Selain Elmi, di dekat meja siswa ada juga Yana Anggraini Ginting, guru yang sedang mengajar mata pelajaran IPS untuk siswa kelas 8. Mereka berdua akan memulai gim (permainan) untuk meningkatkan literasi siswa.
Di depannya beberapa kelompok siswa memegang buku pelajaran yang sudah terbuka. Tampang mereka gugup bahkan ada yang tak sabar menunggu sang guru menyembutkan angka untuk berlomba menjawab dengan cepat.
“Angka berikutnya… 1–100–2–3!” seru sang guru dengan lantang.
Seketika para siswa bergegas membolak-balik buku. Mereka berlomba mencari halaman, bab, baris, dan paragraf dari angka yang disebutkan tadi. Riuh rendah suara bangku bergeser bersahutan, disambut pekikan bahagia dari kelompok yang berhasil menemukan lebih cepat. Angka 1 yang disebut sang guru menandakan bahwa itu adalah bab, angka 100 menandakan halaman, angka 2 menandakan baris dan angka 3 menandakan paragraf. Sebelum menemukan jawabannya, mau tidak mau para siswa itu harus membaca lebih dulu buku bacaan yang mereka pegang.
“Kelompok A dapat satu poin!” kata Elmi, yang kemudian disambut tepuk tangan keras dari kelompok pemenang.
Tidak ada wajah lesu. Tidak ada kepala yang tertunduk mengantuk. Tidak ada suasana membosankan sebagaimana dulu pernah terjadi di sekolah ini. Yang terlihat hanya energi belajar yang hidup, tawa yang tulus dan cahaya semangat dari mata para remaja di desa terpencil di ujung Kabupaten Karo tersebut.
Setiap hari, cara-cara itu terus dilakukan Elmi. Ada beberapa gim (game) yang ia siapkan untuk meningkatkan literasi siswa. Pertama gim Tebak Kata Dalam Buku dan kedua Menara Literasi. Kedua gim ini berhasil membuat siswa yang awalnya tidak mau membuka buku, kini berebut ingin membaca.
Dari cara ini siswa lebih aktif, kreatif, dan berani menyampaikan pendapat. Ia ingin, anak-anak yang dididiknya tidak mengantuk saat belajar dan literasi mereka meningkat. Bukan hanya pada siswa, dari cara sederhana itu ia ingin perubahan juga terjadi pada guru di SMP Negeri 2 Satu Atap Kutabuluh. Ia ingin guru di sana berani untuk bereksperimen, mengubah metode mengajar menjadi panggung kreativitas, menyulam teks menjadi praktik pembelajaran yang menggugah rasa dan menghadirkan pembelajaran yang bukan hanya dipahami, tetapi dirasakan oleh para siswa.
Tantangan
Untuk mengubah suasana kelas menjadi seperti itu kata Elmi bukan lah hal yang mudah. Ketika datang pertama kali pada Januari 2022 lalu, Elmi bercerita bahwa kondisi sekolahnya sangat jauh dari layak. Atap bocor, lantai rusak, kursi dan meja tidak memadai. Mereka hanya duduk diam mendengarkan guru bicara. “Saya tanya, bawa buku paket anakku? Mereka bilang tidak ada,” tutur Elmi.
Dalam supervisinya, ia melihat siswa bahkan sering tertidur saat pelajaran berlangsung. Pembelajaran hanya mencatat dan merangkum. Tidak ada aktivitas, tidak ada diskusi, tidak ada tanya jawab.
Tantangan lainnya adalah bahwa setiap hari, ia harus menempuh perjalanan 2 sampai 3 jam untuk bisa sampai ke sekolah. Seperti diketahui bahwa SMP Negeri 2 Satu Atap Kutabuluh, Kabupaten Karo jaraknya sangat jauh dari kota Kabanjahe, bisa ditempuh lebih kurang 47 km. Medannya juga bukan mudah. Elmi harus menikmati jalan yang rusak parah, berlubang, berbatu besar dan berubah menjadi lumpur licin jika hujan turun.
Setiap hari kondisi itu ia rasakan dengan sepeda motor maticnya. Elmi masih mengingat sebuah kejadian yang hampir merenggut nyawanya. Pada Hari Guru tahun 2023, ia mengendarai motor maticnya dengan terburu-buru demi mengejar upacara. Di sebuah tikungan tanah basah, ban motornya tergelincir, dan Elmi jatuh keras ke bebatuan.
“Semua bengkak,” kenangnya pelan. Akibatnya ia harus istirahat tiga minggu di rumah. Namun setelah pulih, ia kembali mengajar tanpa ragu. Sebagai single parent, Elmi mengaku perjalanan berat itu tidak pernah membuatnya ingin menyerah. Ia masih ingin menyalakan literasi di Desa Ujung Deleng. “Saya anggap perjalanan ini healing. Pemandangan menuju sekolah ini indah sekali, hilang capeknya,” ujarnya sambil tersenyum.
Bukan hanya Elmi yang merasakan itu, seorang guru SMP Negeri 2 Satu Atap Kutabuluh lainnya juga merasakan medan yang sulit tersebut. Guru bernama Immanuel sudah empat kali ganti sepeda motor karena kondisi medan ke sekolah tersebut yang tak bersahabat. 2005 sekolah itu baru masuk listrik, dan sekarang juga kondisinya jarang ada signal dan sering padam listrik. Seorang guru PPPK berusia muda yang baru saja keterima di sekolah itu 2024 lalu, harus mundur karena kondisi medan sekolahnya yang seperti itu.
Tantangan selanjutnya adalah bahwa guru-guru di sekolah tersebut awalnya sempat meragukan apa yang ia lakukan. Mereka tak yakin bahwa dengan cara yang dilakukannya bisa meningkatkan literasi siswa.
Dari Rapor Merah Jadi Kuning
Satu tahun ia berada di sekolah tersebut, Elmi berhasil membuat suasana kelas berubah. Guru-guru mulai beradaptasi dan mencontoh apa yang dilakukannya. Rapor pendidikan sekolah yang merah untuk literasi dan numerasi kini naik menjadi kuning pada 2023–2024. Perbaikan itu membuat sekolah memperoleh BOS Kinerja sebesar Rp35 juta rupiah tahun 2024, yang digunakan untuk meningkatkan kapasitas sekolah seperti meningkatkan kompetensi guru lainnya di sekolah tersebut.
Bukan hanya itu, sekolah dasar yang berdampingan dengan SMP tersebut kini juga ikut meniru metode pembelajaran aktif yang dilakukan Elmi.
Masuk ke sekolah terpencil seperti Ujung Deleng bukanlah hukuman baginya, tetapi panggilan jiwa. “Di tempat seperti ini kita temukan berlian. Bukan hanya batu-batu di lumpur. Anak-anak ini bisa maju kalau diberi kesempatan,” tuturnya.
Bagi Emi, literasi bukan hanya soal membaca, menulis, atau berhitung. “Literasi itu menyampaikan pesan dan membangun karakter,” katanya tegas. Ia ingin siswa di desa ini percaya bahwa mimpi besar tidak hanya milik anak kota.
Bukan hanya literasi yang meningkat, dari apa yang dilakukannya prestasi pun lahir. Tahun 2024, Perdes, seorang siswa kelas 8, berhasil meraih juara Olimpiade Sains Nasional (OSN) Matematika tingkat Kabupaten Karo. Mereka juga menjuarai lomba Kampung Entrepreneur dengan produk gula batang jagung, bersama melibatkan orang tua dalam proses produksi. Desa Ujung Deleng yang dulu asing, kini lebih dikenal di Kabupaten Karo berkat prestasi anak-anaknya. Ia yakin bahwa satu guru bisa mengubah masa depan sebuah desa.
Sekolah yang dulu tertinggal kini menjadi inspirasi bagi sekolah lain. Anak-anak desa yang dulu tak percaya diri kini berdiri di panggung kompetisi. Dan semua itu dimulai dari sebuah permainan sederhana dari seorang guru yang tak pernah menyerah.
Yana Anggraini Ginting, salah satu guru di sekolah tersebut membenarkan bahwa 2019 saat ia masuk ke sekolah tersebut rapor mereka berwarna merah untuk literasi numerasi. Dan sekarang warna merah itu sudah berubah menjadi kuning.
“Memang gim tadi membuat siswa semangat belajar. Dan sekarang sebagai guru, kami di sini juga membuat praktik-praktik belajar yang menarik agar para siswa agar mereka tidak bosan,” ujar Yana.
Ia juga melahirkan cara-cara mengajar yang lebih kreatif agar literasi siswa semakin bertambah. Begitu juga dengan Tumpal, seorang guru muda yang baru mengajar ke sekolah tersebut. Tumpal adalah guru mata pelajaran TIK. Selain mengajak siswa bermain gim, ia juga mengajak anak-anak desa itu untuk juga belajar robotik dengan cara yang menarik.
Dari berbagai cara yang dilakukan guru-guru tersebut, membuat Siahaan, ayah dari siswa yang bernama Perdes bangga karena perubahan terjadi pada anaknya. Ia berterima kasih kepada guru-guru di SMP N 2 Satu Atap yang berhasil membuat anaknya lebih berprestasi. “Dulu main-main saja kerjanya. Sekarang di rumah tidak disuruh belajar, sudah buka buku sendiri. Bahkan juara olimpiade juga dia di kota sana,” kata Siahan.
Hal yang sama dikatakan Perdes, siswa kelas 8 di sekolah tersebut. Ia menyebutkan bahwa belajar lewat main gim tebak kata dalam buku membuat mereka semangat belajar. “Terima kasih buk, belajar kami memang menyenangkan. Saya dipaksa membaca dengan cara yang menarik,” kata Perdes.
Peningkatan literasi
Regional Lead Tanoto Foundation, Medi Yusva mengatakan bahwa literasi menjadi hak asasi manusia yang juga merupakan landasan bagi masyarakat untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai, sikap, serta perilaku yang lebih luas, literasi memiliki peran untuk menumbuhkan penghormatan terhadap kesetaraan.
Tanoto Foundation sebagai organisasi Filantropi yang berinvestasi pada peningkatan kemampuan literasi dan numerasi siswa di Indonesia melalui program Pengembangan Inovasi untuk Kualitas Pembelajaran (PINTAR) yang diluncurkan pada tahun 2018. Program ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan literasi dan numerasi dasar siswa melalui 3 pilar, yakni peningkatan kualitas sekolah, penguatan sistem dan kebijakan pendidikan, serta pengembangan pendidikan profesi guru..
Di Kabupaten Karo kata Medi, peningkatan kualitas pendidikan juga terus menunjukkan hasil positif melalui Program PINTAR Tanoto Foundation. Hingga saat ini, sebanyak 77 guru telah menjadi fasilitator daerah (Fasda) di Sumut, dengan sebaran: Asahan 20 guru, Batubara 22 guru, Karo 16 guru, serta Pematangsiantar 19 guru. “Dan Buk Elmi merupakan salah satu fasda kita yang ada di Kabupaten Karo,” katanya.
Selain itu, sejak tahun 2018 hingga 2022, sebanyak 1.600 guru di kabupaten mitra Sumut telah menerima pelatihan, dan 350 di antaranya berasal dari Kabupaten Karo. Setelah para guru menerima pelatihan, perkembangan literasi di Kabupaten Karo menunjukkan peningkatan signifikan berdasarkan Rapor Pendidikan Nasional. “Pencapaian ini menunjukkan bahwa pelatihan guru memiliki dampak nyata terhadap kualitas pembelajaran dan kemampuan literasi siswa,” ujarnya.
Saat ini Tanoto Foundation sendiri telah bermitra dengan 24 sekolah di Kabupaten Karo, terdiri dari 16 SD dan 8 SMP.
“Terkait keterlibatan Fasda, tidak semua guru Fasda berasal dari sekolah mitra. Namun, para Fasda mampu menjadi role model pembelajaran di satuan pendidikan masing-masing, bahkan berbagi praktik baik ke sekolah lain melalui proses imbas dan implementasi hasil pelatihan,” katanya.
Tanoto Foundation terus berkolaborasi dengan Dinas Pendidikan serta pemangku kepentingan lokal, baik melalui pelatihan, pendampingan sekolah, maupun penguatan Fasda melalui keterlibatan dalam project grant dan pelatihan tingkat provinsi dan nasional.
Program literasi yang dikembangkan termasuk pembelajaran yang menyenangkan. Salah satunya melalui penggunaan gim edukatif sebagai media untuk meningkatkan minat baca dan kemampuan numerasi di sekolah dasar. “Melalui permainan, siswa dapat belajar secara ringan namun bermakna dan kontekstual, seperti yang saat ini sedang dikembangkan oleh Ibu Elmi, salah satu guru inspiratif di Karo,” ucapnya.
Dengan dukungan berkelanjutan, diharapkan para Fasda dan sekolah mitra terus menjadi local champion pendidikan, sehingga peningkatan kualitas literasi di Sumut semakin kuat dan berdampak luas.
Penulis: Nirwansyah Sukartara
Editor: Bambang Riyanto