33 Tahun Konflik PIR Tapanuli Selatan: Transmigran Tertipu, Ribuan Hektar Lahan 'Raib', Negara Dianggap Tutup Mata

33 Tahun Konflik PIR Tapanuli Selatan: Transmigran Tertipu, Ribuan Hektar Lahan 'Raib', Negara Dianggap Tutup Mata
Iskandar Sitorus (Analisadaily/Istimewa)

Analisadaily.com, Medan – Kasus sengketa lahan Proyek Perkebunan Inti Rakyat (PIR) di Ujung Batu, Tapanuli Selatan, kini memasuki babak krusial setelah 33 tahun menjadi luka terbuka. Indonesian Audit Watch (IAW) membongkar dugaan kegagalan sistematis dalam skema PIR-Transmigrasi, menuding adanya kelalaian negara dan penyimpangan yang menguntungkan korporasi, sementara ribuan hektar hak transmigran menghilang.

Sekretaris Pendiri IAW, Iskandar Sitorus, pada Senin (1/12/2025), menyebut kasus ini sebagai contoh proyek pemerintah yang berbau busuk. "Janji kebun, penempatan rakyat, dan sertifikat yang dijadikan agunan, berakhir dengan konflik, sengketa, dan lahan yang raib. Yang memanen adalah investor, yang menanggung sengsara adalah transmigran," tegasnya.

Penyimpangan Berjenjang Sejak Awal

Kasus ini bermula dari izin yang diberikan kepada perusahaan pada tahun 1996 melalui Keputusan Menteri Transmigrasi KEP.07/MEN/1996. Perusahaan diamanatkan mengelola total 16.500 Ha dengan skema Inti 3.000 Ha dan Plasma 12.000 Ha untuk 4.000 KK transmigran.

Namun, menurut IAW, kewajiban membangun kebun plasma, membina KUD, dan menempatkan transmigran tidak dijalankan. Alarm bahaya sudah berbunyi sejak 1996 dengan adanya surat peringatan dari Departemen Dalam Negeri terkait penguasaan KUD oleh investor dan penggunaan sertifikat petani sebagai agunan bank.

"Sistem justru mematikan alarmnya," ujar Sitorus.

Plasma Dipangkas, Inti Justru Membengkak

Penyimpangan semakin terang pada tahun 2000-2001 ketika lahan plasma dipangkas dari 3 Ha/KK menjadi 2 Ha/KK. Pemangkasan ini didukung oleh keputusan pejabat daerah.

"Bagaimana mungkin lahan plasma berkurang, tetapi lahan inti perusahaan tetap 3.000 Ha, bahkan dibuka lebih luas?" tanya Sitorus. Ia membeberkan fakta bahwa berdasarkan prinsip 20% HPL, lahan inti seharusnya hanya pm600 Ha, bukan 3.000 Ha.

Fakta Menohok yang Diungkap IAW:

  • Rencana Plasma (12.000 Ha) tidak terealisasi.
  • Realisasi Plasma (3.000 Ha) tidak terwujud.
  • Perusahaan menguasai lahan inti hingga 3.000 Ha (melebihi batas pm600 Ha).
  • 412 Ha tanah tambahan dikuasai perusahaan tanpa dikembalikan ke transmigran.

Selain itu, IAW menemukan adanya manipulasi kepesertaan. Dari 200 KK peserta sah yang memiliki legal standing, hanya 12 KK yang mendapatkan kembali hak lahannya. 188 KK lainnya hingga kini kehilangan hak lahan mereka.

Tuntutan Tegas IAW: Audit, Pembekuan Izin, dan Pidana

IAW menyimpulkan bahwa kasus ini memenuhi unsur penyimpangan administratif dan pidana karena pelanggaran perizinan, agraria (penguasaan lahan berlebih), dan perkoperasian (penggunaan SHM sebagai agunan).

"Mengapa negara tidak bertindak? Karena perizinan tidak pernah dievaluasi," kritiknya, merujuk pada Pasal 2 KEP.07/MEN/1996 yang memandatkan peninjauan ulang izin.

IAW mendesak Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum (APH) untuk:

  1. Audit Komprehensif melibatkan Kementerian ATR/BPN, BPKP, dan APH (Kejati Sumut & Polda Sumut).
  2. Pembekuan Izin dan menetapkan status quo lahan sengketa.
  3. Restitusi Hak kepada 188 KK berdasarkan SHM dan SK Menteri 1996.
  4. Penegakan Hukum melalui jalur perdata (class action) dan pidana (penyelidikan penguasaan lahan ilegal).

"Ini bukan sekadar sengketa administratif. Itu pelanggaran struktural yang berlangsung 33 tahun. Aparat penegak hukum harus masuk dengan perspektif kejahatan korporasi, bukan konflik kebiasaan," tutup Sitorus.

Kasus ini menjadi cermin nasional bahwa regulasi kuat tetapi pengawasan lemah membuat investor dominan dan rakyat menjadi korban.

Baca Juga

Rekomendasi