Analisadaily.com, Jakarta – Dalam Paripurna ke-5 Masa Sidang II Tahun Sidang 2025-2026 yang digelar pada Rabu, 10 Desember 2025, Anggota DPD RI, Pdt. Penrad Siagian, menyampaikan laporan kritis dan sejumlah desakan terkait penanganan bencana yang melanda tiga provinsi di Pulau Sumatra, yaitu Sumatra Utara (Sumut) , Aceh, dan Sumatra Barat (Sumbar).
Penrad menyampaikan bahwa setelah lebih dari dua minggu pasca-bencana, penanganan di lapangan masih dinilai "sangat lambat, sporadik, dan tidak terkoordinasi".
"Saya perlu melaporkan dalam Paripurna yang terhormat ini bahwasanya penanganan terhadap kedaruratan yang terjadi ini, saya melihat di lapangan secara langsung masih sangat lambat, sporadik, dan tidak terkoordinasi," kata Penrad dalam keterangannya, Jumat (12/12/2025).
Ia menekankan bahwa hingga mendekati minggu ketiga, masih banyak daerah dan desa terisolasi akibat jalan yang putus.
"Sebenarnya kita punya banyak sumber daya, alat-alat berat, helikopter dll. Itu seharusnya bisa dipakai untuk memperbaiki jalan-jalan yang masih putus," katanya.
Menurut Senator asal Sumut ini, akar lambatnya penanganan terletak pada belum ditetapkannya status bencana nasional oleh Presiden RI Prabowo Subianto.
Ia menegaskan bahwa semua indikator dalam UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana telah terpenuhi, mulai dari jumlah korban, kerusakan infrastruktur, luas wilayah terdampak lintas provinsi, hingga kapasitas fiskal daerah yang terbatas.
"Bayangkan, kabupaten/kota yang terdampak hanya punya dana sedikit di akhir tahun ini. Bagaimana mereka bisa menangani!" ujarnya.
Ia juga menyoroti kesenjangan pendanaan, di mana BNPB hanya mendapatkan pendanaan sebanyak Rp 491 miliar dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026.
Sementara, sambungnya, perkiraan kerusakan fisik di tiga provinsi terdampak bencana, menurut lembaga seperti Celios, bisa mencapai Rp 75 triliun.
"Itu masih kerusakan fisik atau infrastruktur, belum lagi dinamika ekonomi jangka benah dari masyarakat terdampak yang kita tahu mencapai ratusan ribu hektare pertanian. Siapa yang menanggung itu," tuturnya.
Tanpa status bencana nasional yang membuka akses pada sumber pendanaan khusus, Penrad pesimistis proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana akan berjalan baik.
"Saya sangat mengharapkan DPD RI sebagai sebuah institusi mendesak dan mendorong pemerintah melalui presiden menetapkan ini menjadi status bencana nasional. Sehingga proses rekonstruksi rehabilitasi ke depan bisa dilakukan secara menyeluruh," tegasnya.
Lebih lanjut, Penrad menolak narasi yang hanya menyalahkan Siklon Tropis. Ia menyatakan bahwa bencana ini harus dilihat sebagai "bencana akibat kebijakan yang salah" di sektor kehutanan, perkebunan, pertambangan, dan perizinan.
"Saya melihat ada penggiringan bahwasanya ini akibat Siklon Tropis yang memicu ini semua. Saya ingin mengatakan kalau ini terjadi (Siklon Tropis) atau masuk ke Indonesia 50 tahun yang lalu, saya tidak akan membayangkan kerusakan dan dampaknya itu seperti sekarang karena sekitar 50 tahun yang lalu, hutan-hutan masih cukup terjaga dan masih cukup besar," ujarnya.
"Karena itu, ini harus dilihat sebagai bencana akibat sebuah kebijakan...bencana yang sedang dihadapi Sumut, Aceh, dan Sumbar adalah akibat kebijakan yang salah. Karena itu saya mendesak melalui sidang yang terhormat ini agar DPD RI mengambil inisiasi untuk mengevaluasi berbagai regulasi-regulasi terkait hal itu," sambungnya.
Berdasarkan pengamatannya selama hampir dua minggu di lapangan, ia melaporkan bahwa aktivitas korporasi di sektor-sektor tersebut masih berjalan, bahkan saat bencana berlangsung.
Ia menyebut bahwa truk-truk pengangkut kayu masih melintas di daerah bencana. Penrad juga menyinggung akar penyebab bencana yang terjadi di Sumut, yang erat kaitannya dengan aktivitas pembabatan hutan oleh korporasi-korporasi di daerah hulu sehingga merusak aliran sungai.
"Saya berharap DPD RI sesegera mungkin dalam tempo sesingkat-singkatnya menginisiasi untuk menyampaikan segera agar operasi-operasi korporasi sektor-sektor tadi itu yang terbukti merusak ekologi dan menimbulkan konflik berkepanjangan dihentikan sampai dilakukan evaluasi menyeluruh"
"Minimal di Sumut itu ada 18 korporasi yang bergerak di bidang perkebunan, hutan, tambang dll termasuk PT. TPL agar segera ditutup karena sektor ini ada di hulu-yang merusak aliran sungai," ucap Penrad Siagian. [] (NAI/NAI)











