Hotma Wulansari Sitohang, guru kelas I yang akrab dipanggil Bu Wulan, juga merupakan Fasilitator Daerah (Fasda) Tanoto Foundation. (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Batu Bara - Di kelas I UPT SDN 30 Pasar Lapan, suara riang murid-murid pagi itu terdengar berbeda. Mereka bukan hanya membuka buku atau menyalin angka di papan tulis. Di hadapan mereka, terbentang sebuah “jalan raya” kecil dari kardus, lengkap dengan angka-angka dan sebuah mobil mainan yang bisa bergerak maju dan mundur.
“Sepuluh ekor atau gak ayamnya?”
Kelas pun riuh. Namun suasana berubah ketika Bu Wulan mengajukan soal lain.
“Kalau ayamnya ada 20, lalu mati 6… tinggal berapa?”
Sebagian murid terdiam. Jari-jari mereka sudah tak cukup lagi untuk menghitung bilangan puluhan. Inilah saatnya media pembelajaran bekerja.
“Fari, Afifah, Rafa… coba maju ya,” panggil Bu Wulan. Ketiganya mendekati “jalan raya” matematika itu. Mobil kecil mulai mereka pegang, siap diarahkan.
“Ingat ya, kalau penjumlahan mobilnya maju. Kalau pengurangan, mobilnya mundur,” ujar Bu Wulan.
“19 + 5 berapa?”
Afifah memosisikan mobil di angka 19. Rafa membisikkan, “Maju… maju… lima langkah…”
“Udah… udah berhenti! Sudah lewat lima angka itu!” seru mereka hampir bersamaan.
“Dua puluh empat, Bu!” Sorak-sorai kecil pun terdengar. Untuk soal berikutnya—20 – 6—Zaky mengangkat tangan cepat-cepat. “Kalau dikurang mundur kan, Bu?” katanya yakin. Murid lain mengangguk, dan mereka bersama-sama menggerakkan mobil hingga berhenti di angka 14. Yang membuat hati Bu Wulan hangat adalah ketika murid ABK di kelasnya turut ikut memegang mobil dan menghitung bersama. Senyum lebarnya membuat semua orang melihat bahwa konsep matematika tidak hanya dipahami, tetapi dirayakan. Setelah simulasi selesai, murid-murid mengerjakan soal. Yang masih bingung dipersilakan kembali menggunakan media. Kali ini, pemahaman terasa lebih utuh. Hasilnya pun terlihat. “Weeeeee… aku ponten seratus!” teriak Rafa dengan bangga.
Melalui media sederhana ini, Bu Wulan merasa bisa meluruskan miskonsepsi tentang “keadilan” dalam pembelajaran. “Pembelajaran adil itu bukan sama rata. Tapi sesuai kebutuhan masing-masing murid,” ujarnya. Diferensiasi proses, konten, dan produk menjadi kunci agar setiap anak mendapatkan kesempatan belajar optimal. Ia juga menyadari satu hal: ketika murid diberi ruang untuk mengalami dan menemukan sendiri konsep matematika, pemahaman mereka jauh lebih mendalam. “Guru hanya perlu menyiapkan jembatan. Muridlah yang melintasinya,” katanya. Media dari bahan bekas itu bukan hanya mengajarkan penjumlahan atau pengurangan. Ia mengajari murid untuk berani, mengajari guru untuk kreatif, dan mengajari semua orang bahwa pembelajaran tak harus mahal. Cukup dengan imajinasi, ketulusan, dan cinta mengajar. “Jadilah guru yang berhati guru,” pesan Bu Wulan. “Karena kalau hati kita bukan hati seorang guru, ketika anak salah atau belum mengerti, yang muncul hanya kemarahan. Padahal tugas kita adalah membimbing, bukan menghukum," tambahnya. Sebuah pelajaran sederhana, namun bermakna—baik bagi murid, maupun bagi siapa saja yang percaya bahwa belajar adalah perjalanan panjang yang harus dilalui dengan gembira.(DEL)











