Analisadaily.com, Jakarta - Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (DPP APTRINDO) menyampaikan kritik tegas terhadap implementasi QR Code MyPertamina dalam pembelian BBM Subsidi Bio Solar yang dinilai menghambat operasional angkutan barang dan mengganggu kelancaran distribusi logistik nasional.
Permasalahan tersebut telah berlangsung berlarut-larut tanpa solusi nyata di lapangan, meski APTRINDO telah melakukan berbagai upaya komunikasi dan audiensi dengan pihak PT Pertamina Patra Niaga.
Sebagai tindak lanjut atas berbagai keluhan pengusaha dan pengemudi truk, DPP APTRINDO menggelar audiensi kedua dengan Manajemen PT Pertamina Patra Niaga (Pusat) pada Senin, 15 Desember 2025, di kantor PT Pertamina Patra Niaga, Wisma Tugu II, Jalan H.R. Rasuna Said Kav. C7–9, Kuningan, Jakarta Selatan.
Audiensi tersebut dihadiri jajaran pengurus DPP APTRINDO serta perwakilan DPD APTRINDO dari DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Kehadiran perwakilan lintas daerah ini mencerminkan tingginya perhatian dan dampak luas yang ditimbulkan oleh kebijakan QR Code MyPertamina terhadap dunia usaha angkutan barang secara nasional.
Ketua Umum APTRINDO, Gemilang Tarigan mengungkapkan, audiensi ini merupakan kelanjutan dari pertemuan sebelumnya pada 17 November 2025 bersama PT Pertamina Patra Niaga Regional Jawa Bagian Barat. Namun hingga audiensi lanjutan tersebut digelar, belum terdapat solusi yang nyata, terukur, dan benar-benar dirasakan di lapangan oleh pelaku usaha angkutan barang.
"DPP APTRINDO mencatat bahwa pemblokiran QR Code MyPertamina secara mendadak dan masif telah menyebabkan ribuan truk tidak dapat mengakses BBM Subsidi Bio Solar. Dampak langsung dari kondisi tersebut antara lain terhentinya operasional kendaraan angkutan barang, kerugian ekonomi bagi pengusaha dan pengemudi, serta terganggunya rantai pasok dan distribusi logistik nasional," ungkap Gemilang Tarigan di Jakarta, Senin (15/12).
Ia mengatakan, situasi semakin diperparah dengan lamanya proses pengajuan ulang QR Code yang terblokir. Dalam banyak kasus, waktu pengurusan mencapai 7 hingga 14 hari, bahkan berlarut-larut tanpa kepastian penyelesaian. Selama periode tersebut, kendaraan praktis tidak dapat beroperasi, sementara biaya operasional tetap berjalan.
"Persoalan QR Code MyPertamina tidak lagi dapat dipandang sebagai kendala teknis semata. Keluhan serupa dilaporkan oleh pengusaha dan pengemudi truk di berbagai wilayah, mulai dari kawasan industri, pelabuhan, hingga jalur distribusi antar daerah," ungkap Tarigan.
Kondisi tersebut menurut Tarigan, menunjukkan bahwa implementasi kebijakan belum sepenuhnya mempertimbangkan realitas operasional dunia angkutan barang yang selama ini menjadi tulang punggung distribusi logistik nasional.
"Kami juga mengkritisi ketidak seimbangan antara skala kebijakan nasional dengan kesiapan sistem layanan pengaduan. Implementasi QR Code MyPertamina hanya ditopang oleh satu saluran pengaduan melalui Call Center 135, tanpa didukung mekanisme layanan darurat di lapangan, helpdesk fisik di wilayah strategis logistik, jalur prioritas bagi angkutan barang, serta kepastian batas waktu penyelesaian pengaduan," paparnya.
Kondisi ini, tambah dia, menimbulkan persepsi kuat di lapangan bahwa ketika sistem bermasalah, seluruh beban dialihkan kepada pengusaha dan pengemudi truk.
"APTRINDO menilai kebijakan ini bertentangan dengan agenda pemerintah dalam menekan biaya logistik nasional serta tidak mendukung target Indonesia Zero Over Dimension Over Loading (ODOL). Gangguan akses BBM Subsidi justru menambah beban biaya, meningkatkan risiko operasional, dan melemahkan keberlangsungan usaha angkutan barang," tambah Tarigan.
Permasalahan QR Code MyPertamina juga dinilai memperberat kondisi dunia usaha angkutan barang yang secara rutin terdampak pembatasan dan pelarangan operasional kendaraan sumbu tiga atau lebih selama masa libur nasional seperti Idul Fitri serta Natal dan Tahun Baru.
Kendaraan yang seharusnya kembali beroperasi pascapembatasan justru masih terhambat pengisian BBM Subsidi, sehingga memperpanjang masa berhenti operasional di luar kebijakan pemerintah yang telah ditetapkan.
Melihat dampak yang semakin luas dan sistemik, DPP APTRINDO meminta Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia untuk memberikan atensi khusus dan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap implementasi QR Code MyPertamina dalam penyaluran Bio Solar.
APTRINDO menegaskan bahwa tanpa langkah korektif yang cepat dan konkret, persoalan ini berpotensi terus mengganggu arus logistik nasional, menaikkan harga barang, serta merugikan masyarakat luas.
DPP APTRINDO menyatakan bahwa apabila hingga awal tahun 2026 belum terdapat solusi nyata dan terukur yang dirasakan langsung di lapangan, maka APTRINDO akan menempuh langkah-langkah lanjutan, termasuk tindakan nyata dan upaya hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Langkah tersebut ditegaskan bukan sebagai bentuk konfrontasi, melainkan sebagai ikhtiar konstitusional untuk memastikan kehadiran negara dalam melindungi dunia usaha produktif, menjaga kelancaran distribusi logistik nasional, serta menjamin keadilan dan kepastian hukum bagi pengusaha dan pengemudi truk di seluruh Indonesia.











