Agus Dianti, guru kelas I B UPT SDN 30 Pasar Lapan, Kabupaten Batu Bara, guru imbas Fasda Batu Bara berpose bersama murid-muridnya. Ia menggunakan media pembelajaran sederhana. (Analisadaily/istimewa)
Analisadaily.com, Medan - Di usia 23 tahun, Agus Dianti atau akrab disapa Bu Antie bagi murid-muridnya, memilih berdiri di depan kelas I B UPT SDN 30 Pasar Lapan, Kabupaten Batu Bara. Bukan di kota besar, bukan pula di sekolah favorit. Di ruang kelas sederhana itulah ia belajar menjadi guru, sambil tetap menjadi mahasiswa.
Setiap pagi, Bu Antie membawa lebih dari sekadar buku pelajaran. Ia membawa keyakinan bahwa anak-anak harus merasa senang terlebih dahulu sebelum mengenal huruf dan angka. Keyakinan itu kemudian menemukan jalannya ketika ia berkolaborasi dengan Hotma Wulansari Sitohang, fasilitator daerah Tanoto Foundation Batu Bara.
“Ayo, kita bikin media pembelajaran,” ajak Bu Wulan suatu hari, kenang Antie saat bercerita kepada Analisa, Kamis (18/12).
Sebagai guru imbas Fasda, ajakan sederhana itu disambut cepat oleh Antie. Baginya, ide-ide baru adalah ruang belajar. Ia tak canggung mencari inspirasi dari TikTok, lalu mengolahnya menjadi media pembelajaran yang dekat dengan dunia anak.
Lahirlah Semu Kojab (Sendok Ilmu Kota Ajaib). Sendok plastik, papan telur, dan gabus berubah menjadi alat bantu belajar bagian tumbuhan. Anak-anak menulis kata “daun”, “akar”, “batang”, dan “buah” di atas sendok, lalu menancapkannya satu per satu. Belajar tak lagi terasa seperti kewajiban, melainkan permainan.
“Kadang ada anak yang belum kenal huruf. Dengan cara ini mereka pelan-pelan berani mencoba,” kata Bu Antie.
Sebagai guru baru, ia sadar tak semua hal bisa dilakukan sendiri. Kolaborasi membuatnya berani bereksperimen. Media yang dibuat bersama bisa digunakan bergantian, disempurnakan bersama, dan dievaluasi bersama. Dari situ, Bu Antie merasa ilmunya terus bertambah.
Di kelasnya sendiri, ia juga menciptakan Roda Huruf; media literasi sederhana yang mengajak anak memutar konsonan dan vokal hingga membentuk kata. Anak-anak berebut giliran. Suara mereka riuh, tetapi penuh kegembiraan.
“Aku belum maju, Bu!”
“Besok aku ya!”
Reaksi itu menjadi penguat bagi Bu Antie. Ia tahu, minat belajar sedang tumbuh.
Di luar kelas, Bu Antie menjalani peran lain: mahasiswa penyetaraan S1. Kuliah, mengajar, dan menata masa depan berjalan bersamaan. Banyak yang bertanya, mengapa harus mengulang? Mengapa memilih mengajar di daerah?
Ia hanya tersenyum.
“Ini jalan saya,” ujarnya singkat.
Sebagai bagian dari generasi Z, Bu Antie tak melihat teknologi sebagai ancaman. Justru dari sanalah ia belajar beradaptasi. Media pembelajaran tak harus mahal, yang penting relevan dan menyenangkan. Anak-anak tak perlu duduk diam terlalu lama; mereka perlu bergerak, memegang, dan mencoba.
Harapan Bu Antie pun sederhana: sekolah menjadi tempat yang dirindukan.
“Supaya anak-anak tidak takut ke sekolah. Tidak takut belajar.”
Dari kelas kecil di Pasar Lapan, Bu Antie menanamkan sesuatu yang lebih besar dari sekadar huruf dan kata. Ia menanamkan rasa percaya diri, bahwa belajar bisa dimulai dari apa saja, bahkan dari sebuah sendok plastik.
(DEL)