Korporasi dan Tanggung Jawab Pidana: Ujian Penyidikan Dugaan Korupsi Tanah Eks-HGU PTPN di Kejatisu

Korporasi dan Tanggung Jawab Pidana: Ujian Penyidikan Dugaan Korupsi Tanah Eks-HGU PTPN di Kejatisu
Iskandar Sitorus (Analisadaily/Istimewa)

Analisadaily.com, Medan - Setiap perkara korupsi besar selalu mencapai satu titik krusial, yakni bukan saat tersangka pertama ditetapkan, melainkan ketika penyidik harus menentukan seberapa jauh penyidikan akan dibawa.

Menurut Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch(IAW), saat ini, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) berada pada fase tersebut. Perkara dugaan korupsi tanah eks-Hak Guna Usaha (HGU) PTPN saat ini masih tahap penyidikan. Sejumlah individu telah ditetapkan sebagai tersangka. Aset bernilai ratusan miliar rupiah telah disita berdasarkan penetapan pengadilan. Proses hukum sedang berjalan.

"Dalam perkembangan penyidikan itu, muncul pernyataan resmi bahwa salah satu korporasi terafiliasi Ciputraland disebut berposisi "sebagai investor". Pernyataan ini tentu tidak dapat dipahami sebagai sesuatu pembebasan hukum, namun tetap memunculkan pertanyaan yuridis yang sah dan relevan, yakni sejauh mana pertanggungjawaban pidana korporasi tersebut diuji dalam penyidikan perkara ini," katanya, Jumat (26/12).

Dikatakan, objek penyidikan dalam perkara ini adalah tanah eks-HGU PTPN, yang menurut Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 dikategorikan sebagai Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA). Secara normatif, tanah eks-HGU bukan komoditas bebas tapi merupakan aset negara yang memiliki fungsi sosial dan tujuan pemerataan.

Dalam berbagai Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dari tahun ke tahun, ujar Iskandar, pengelolaan tanah PTPN kerap berulang kali dicatat sebagai area berisiko tinggi, terutama terkait penguasaan oleh pihak ketiga tanpa dasar hukum memadai, perubahan peruntukan lahan, dan potensi kerugian keuangan negara. Karena itu, setiap transaksi atau pemanfaatan atas tanah eks-HGU secara hukum selalu berada dalam pengawasan ketat regulasi.

Fakta penyidikan yang terungkap ke publik

Dia menyebut, berdasarkan informasi penyidikan yang dapat diakses publik, diketahui perkara masih berada dalam tahap penyidikan, belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Nilai Rp263 miliar yang beredar di ruang publik merupakan dugaan kerugian negara berdasarkan penghitungan awal penyidik, belum angka final yudisial! Penyidikan mengindikasikan adanya perubahan fungsi lahan dari yang seharusnya untuk kepentingan reforma agraria menjadi pengembangan komersial. Proses penerbitan dan pemanfaatan hak atas tanah tersebut diduga mengandung kelemahan hukum, yang kini sedang diuji oleh aparat Kejati Sumut. Semua poin tersebut merupakan fakta proses hukum, bukan kesimpulan akhir.

Iskandar mengatakan, hukum positif Indonesia telah menyediakan instrumen yang jelas. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 mengatur bahwa korporasi dapat dimintai pertanggung jawaban pidana, termasuk apabila: memperoleh manfaat dari tindak pidana, membiarkan terjadinya tindak pidana, atau lalai melakukan uji kepatuhan hukum (legal due diligence)!

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga tidak mensyaratkan bahwa pertanggungjawaban pidana hanya dapat dibebankan pada individu. Penerima manfaat dari dugaan tindak pidana tetap berada dalam ruang uji hukum. "Dengan demikian, belum ditetapkannya suatu korporasi sebagai tersangka bukanlah kesimpulan hukum, melainkan bagian dari diskresi dan strategi penyidikan yang masih berlangsung," tegasnya.

Belajar dari praktik Kejaksaan Agung

Dia menyebut, beberapa tahun terakhir, Kejaksaan Agung menunjukkan perkembangan pendekatan dalam perkara korupsi yang melibatkan sektor sumber daya alam dan perizinan. Penyidikan tidak hanya menilai ada atau tidaknya mens rea individu, tetapi juga kualitas due diligence korporasi, struktur pengambilan keputusan bisnis dan manfaat ekonomi yang diterima.

Prinsip-prinsip seperti constructive knowledge, willful blindness, dan corporate criminal liability telah digunakan sebagai alat analisis hukum, bukan sebagai asumsi kesalahan. Pendekatan ini tidak menabrak asas praduga tak bersalah, karena tetap diuji dalam proses pembuktian di pengadilan.

Dalam konteks tersebut, imbuhnya, muncul pertanyaan akademik dan yuridis yang wajar: Apakah pendekatan serupa juga relevan untuk diuji dalam penyidikan di Sumatera Utara? Tentu harus! Mengapa? Karena penyidik Kejati Sumut adalah bagian dari Kejagung yang setara kemampuannya, kecuali jikalau terjadi penyimpangan!

Dikatakannya, menyebut suatu pihak sebagai investor adalah istilah bisnis. Namun dalam hukum pidana, yang diuji bukan label, melainkan proses, pengetahuan, dan manfaat. Pertanyaan yang relevan bagi penyidikan bukanlah siapa yang berniat jahat, melainkan sejauh mana uji legalitas dilakukan, apa yang diketahui atau seharusnya diketahui terkait status hukum tanah dan bagaimana mekanisme pengambilan keputusan korporasi berlangsung. Pertanyaan-pertanyaan ini bukan tuduhan, melainkan bagian dari uji kehati-hatian hukum yang sah dalam penyidikan tindak pidana korporasi.

Ujian kredibilitas penegakan hukum oleh Kejati Sumut

Penyidikan dugaan korupsi tanah eks-HGU PTPN di Sumatera Utara adalah ujian penting bagi konsistensi penegakan hukum. Publik tidak menuntut kesimpulan dini! Yang diharapkan adalah proses hukum menyeluruh, transparan, dan akuntabel, dengan tetap menghormati asas praduga tak bersalah.

"Kemudian, keberanian untuk menguji seluruh aspek, termasuk aspek korporasi, akan memperkuat legitimasi hasil penyidikan, apa pun kesimpulan akhirnya. Karena pada akhirnya, hukum tidak hanya berbicara tentang siapa yang dipersalahkan, tetapi tentang apakah negara sungguh-sungguh menjaga aset publiknya melalui proses hukum yang utuh dan adil," pungkasnya.

(HEN/RZD)

Baca Juga

Rekomendasi