Liputan Seni di Era Tahun 1970-an

Oleh: Azmi TS. SENI LUKIS diera tahun 70-an, hingga 80-an di Sumatera Utara tak hanya marak. Diiringi dengan berita seni, ramai dibicarakan. Para penulis ada yang dari sastrawan, jurnalis dan seniman itu sendiri rajin membahas pelukis lain yang berpameran. Ulasannya juga beragam ada yang sengaja memberitakan karya lukisan, tapi banyak juga tentang hal yang bukan liputan (laporan). Dalam catatan ternyata berita seni tahun 1970-1980-an sangat beragam latar penulisnya.

Misalnya ada penulis berlatar pelukis, pematung dan sastrawan yang memang antusias meliputnya. Karena terbatasnya seniman yang rajin menulis pada era itu, tercatatlah nama yang akrab ditemukan antara lain Syamsul Bahri, Azis S.B dan Amran Ekoprawoto. Adapun latar belakang ketiga penulis tersebut berbeda-beda. Syamsul Bahri (pelukis + redaktur seni), Azis S.B (pelukis + penerjemah) dan Amran Ekoprawoto (pematung + pendidik).

Berita senipun jadi banyak ragamnya. Syamsul Bahri lebih sering memberitakan dari sudut pandang seniman. Selanjutnya Azis SB lebih banyak menulis di selingi bahasan tentang artikel seni terjemahan. Kalau Amran Ekoprawoto lebih sering menulis kajian senirupa dari sisi pendidikan. Banyak juga hasil liputan ketiga penulis itu tentang aktivitas seniman di Medan seperti pameran, melukis bersama ditulis Azis S.B (pelukis).

Dari kalangan kampus (IKIP Medan) juga tak mau kalah menulis di media massa. Ada Mordiyan Ginting, J. Manurung, Vandey Lubis, F.X Soekaryono dan S. C. Bangun. Semua liputan seni mereka umumnya bagus dan sangat menarik dibahas. Kalangan sastrawan ada Herman Ks, Zainuddin Tamir Koto, Burhan Piliang, A. H. Lubis, S. Samudera, Narmin Suti, Timbul Siregar, A. A. Bungga, As Atmadi dan lain-lain. 

Munculnya para sastrawan ini menjadi cacatan tersendiri, sehingga marak publikasi seniman tersebar luas. Ulasan senirupa mencapai puncaknya ketika pelukis Syamsul Bahri, Azis S.B dan Amran Ekoprawoto ikut juga menulis pada harian Analisa dan Waspada. Ketika ada aksi seni pastilah di sana ramai para jurnalis yang kebanyakan berlatar sastrawan dan budayawan nimbrung mengkritik.

Banyak tulisan mereka tentang liputan seni itu dibuat singkat tapi padat, lalu pada ulasan berikutnya ditimpali pendapat lain, sehingga ada juga berpolemik. Senilukis pada era tahun 70-an dan 1980-an juga banyak bermunculan juru gambar yang hebat dalam ‘komikus’ dan ‘karikatur’. Taguan Hardjo, Zam Nuldyn dan Bahzar, paling sering mengisi komik dan karikatur. Koran yang paling konsisten memuat komik, karikatur dan berita seni adalah Waspada, Analisa, ses ekali Angkatan Bersenjata dan Mimbar Umum muncul tulisan itu. 

Azis S.B alias Azis Sutan Buyung tak hanya dikenal lewat lukisan batiknya, juga dikenal lewat artikel seni yang rutin terbit di koran di Sumut. Dia juga sangat banyak menerjemahkan artikel dari buku saku tentang kubisme, impresionis, hingga seni modern.

Sekiranya saat ini ada sosok yang seperti Azis S.B mungkin saja atmosfer senirupa jadi semarak lagi. Sumut sebetulnya butuh motivator yang bisa merangkul semua lapisan seniman dan lintas budaya.

Boleh jadi saat ini Sumut kekurangan kritikus dan juga seniman yang tahan kritikan. Kritikus bukan hanya pintar menyela, tapi harus bisa mengolah berita jadi penyeimbang suasana. Peran itu pernah ada pada perupa Syamsul Bahri, Azis S.B dan Amran Ekoprawoto. Dia jago menghadirkan suasana dalam setiap liputan seni yang ditulisnya. Mereka ini pantas dijuluki ‘tiga serangkai’ di bidang lukisan dan penulis seni era 1970-an.

Gaya melukisnya dan sketsa mereka bertiga memang tak jauh beda dengan warna-warna pastel nan lembut dan bersahaja. Begitu pula gaya bicaranya yang lugas, tempramental dan berpegang teguh pada prinsip yang diyakninya itu benar.

Mereka juga tak segan beradu argumen pada saat acara diskusi seni, baik yang formal maupun non formal. Pada masa itu belum banyak para pelukis yang mau atau aktif menuliskan buah pikirannya tentang perkembangan senirupa di Medan. 

Sayang, memang tak banyak ditemukan hasil tulisan dalam bentuk dokumentasi (foto), kliping koran dan arsipnya. Kesulitan para penikmat senirupa untuk membaca atau menelisik karya-karya yang pernah diciptakan atau sudah dimiliki kolektor tak terdeteksi lagi. Sudah sangat jarang pula pelukis mau membuat buku tentang biografinya sendiri atau buku tentang karya seninya.

Seniman lukis lebih banyak dibicarakan, tapi minim pendokumentasian dalam bentuk buku atau arsip. Sayangnya kondisi saat itu tak banyak dokumentasinya. Inilah satu kelemahan seniman era 1970-an yang tak boleh terulang lagi di era setelahnya.

Sekedar mengenang kisah seniman di Sumatera Utara pada era 70 hingga 80 akhir,  beberapa koleksi foto Amran Ekoprawoto masih bisa kita nikmati.

Dari bukulah generasi penerus belajar tentang seniman yang punya dedikasi tertinggi untuk bisa jadi tauladani. Seni lukis di era 1970 hingga 1980 an cukup banyak membawa perkembangan pada tingkat personal juga pada organisasi seperti SIMPASSRI.

Kegiatan seni mulai dari temu seniman, diskusi hingga perhelatan pameran digelar. Kini keberadaan SIMPASSRI sudah jarang terdengar ditambah kondisi gedungnya menunggu alih fungsi atau runtuh saja.

()

Baca Juga

Rekomendasi