T Agus Khaidir. Tukang Becak Bertato “Jika kau datang ke kota kami jangan lupa naik becak istimewa. Kau bisa mencarinya di seputaran Stadion Teladan, Kolam Raja atau Pajak Ikan Lama. Pajak, jangan pula kau salah mengerti, adalah serupa pasar di kota-kota lain. Kami memang punya banyak sebutan berbeda. Jika kami bilang kereta, itu artinya sepeda motor. Janganlah terperanjat sekiranya kau mendapati orang dari kota kami masuk ke kedai lalu memesan mandi, sebab itu akronim dari manis dingin, minuman yang sehari-hari mungkin kau kenal sebagai es teh manis.”
Begitulah cara Rahmat Yanis memberikan gambaran sekilas perihal kota yang sangat dia cintai. Sekarang aku berada di sini dalam rencana kunjungan lima hari. Sebenarnya ada banyak penjelasan lain yang dia sampaikan, tapi kupikir akan kudahulukan becak istimewa ini. Becak yang penariknya, menurut Rahmat Yanis, merajah nyaris sekujur tubuhnya dengan tato.
Aku menemukannya jelang tengah malam, meringkuk setengah mengantuk. Becaknya diparkir di bawah jembatan penyeberangan di depan Kantor Pos Besar Lapangan Merdeka.
“Berapa harus saya bayar untuk keliling kota?”
Tukang becak itu tersenyum lebar. Bayang kantuk seketika hilang dari wajahnya.
“Jika Anda bersedia mendengar ceritaku, Anda tak perlu membayar,” katanya.
Begitulah kudengar dia bercerita. Tentang masa kecilnya, masa remaja, tatkala dia asyik-masyuk memadu kasih cinta, juga masa-masa ketika dia menjadi pahlawan olahraga.
“Entah berapa keping emas kuhasilkan dari kayuhan kaki ini. Atas itu semua aku cuma dapat janji-janji. Konyolnya, aku tetap saja percaya meski anak dan istriku sudah berkali-kali mengingatkan betapa segenap janji itu cuma bualan.” Jelang subuh becak menepi di tempat yang sama.
“Terima kasih sudah mendengar ceritaku. Sekiranya Anda datang lebih sore, mungkin aku tak perlu panjang lebar bercerita karena Anda cukup menyimak lewat tato di badanku ini. Seluruh perjalanan hidupku ada di sini.”
Dia menolak uang yang kutawarkan dan berlalu setelah menjabat tanganku. Seorang tukang becak lain menegurku, bertanya perihal cerita yang disampaikan tukang becak bertato.
“Cerita yang sangat menyentuh,” kataku. Tukang becak itu tertawa.
“Begitulah, wahai orang asing,” ujarnya.
“Cerita-ceritanya memang selalu luar biasa. Cobalah temui dia sekali lagi, kujamin Anda akan mendengarkan cerita lain yang tak kalah hebatnya. Lebih menakjubkan, supaya Anda tahu, tato di badannya ikut berubah sesuai cerita yang dia sampaikan.”
Nibung Raya Express
Tiap kali melihat perempuan bergincu ungu, ingatanku segera melayang pada Mira Marcela. Aku tak pernah tahu apakah perempuan ini benar ada atau hanya karakter rekaan Rahmat Yanis yang dicomot sekenanya dari film Wong Karwai entah yang mana. Mira Marcela, pramugari dan dari begitu banyak lelaki pilihan dia jatuhkan pada Zainuddin, polisi lalu lintas yang tak pernah memiliki keberanian untuk sekadar memanipulasi surat tilang.
Dalam cerita Rahmat Yanis, sesungguhnya ada pramugari lain yang singgah dalam hidup Zainuddin. Namanya Lena Marlena. Dia juga suka memoles bibir dengan gincu ungu. Dia pergi meninggalkan Zainuddin tanpa alasan. Pagi setelah mereka bercinta habis-habisan dan konon sejak itu Zainuddin bersumpah tak lagi menjadikan seorang pramugari sebagai kekasih.
Sumpah ini, kata Rahmat Yanis, sepertinya akan mudah terwujud. Seberapa besarlah persentase peluang seorang polisi lalu lintas dapat bertemu dan berkasih-kasihan dengan pramugari dibanding dengan sales produk kuali anti lengket. Atau pegawai negeri, atau sesama polisi?
Tak ada yang dapat mengukur kerja Tuhan. Dia bertemu Mira Marcela di satu kafe dangdut. Zainuddin penggila dangdut. Ternyata, bagi Mira Marcela, pramugari cuma cita-cita alternatif. Da jalani setengah hati, sebagai pelarian kekecewaan pasca terdepak dari kontes pencarian bakat pedangdut yang diselenggarakan satu stasiun televisi swasta.
Ingatanku pada cerita Rahmat Yanis mencuat. Setelah secara nyaris kebetulan melihat adegan yang manis antara seorang polisi lalulintas dan perempuan berpenampilan seperti pedangdut di bar kecil di salah satu sudut Nibung Raya. Polisi itu masih mengenakan rompinya yang bisa menyala dalam gelap. Si perempuan yang mungkin pedangdut, memoles bibirnya dengan gincu ungu. Di bawah temaram lampu bar yang berkerlap-kerlip, bibir itu tampak basah dan mengkilap oleh minuman dari botol yang mereka seruput bergantian.
Adegan manis tak berlangsung lama. Seorang perempuan lain datang dan memaki-maki keduanya. Perempuan itu kemudian membuka tasnya. Mengambil gunting, lalu cepat menghujamkannya ke dada perempuan bergincu ungu. Polisi lalulintas yang coba merebut gunting kalah gesit. Perempuan itu berkelit sembari menikamkan gunting ke tengkuk polisi lalulintas dan langsung membuatnya tersungkur.
Peristiwa ini berlangsung cepat. Tak diduga, setelah meneriakkan caci-maki sembari menangis meraung, perempuan itu menikamkan gunting ke dada sendiri.
Rumah yang Terbakar
Aku menginap di satu hotel kecil tak jauh dari Masjid Raya Al Mashun. Masjid yang indah, tapi hotel yang buruk, terutama dalam pelayanan dan fasilitas. Hari ini, hingga pukul 12 siang aku tak mandi karena pasokan air mampat dan mesin pompa hotel rusak. Aku mencoba maklum karena menginap di sini adalah pilihanku.
Rahmat Yanis mengatakan, seperti kota-kota wisata lainnya, selain hotel berbintang, di kota ini juga bertebaran hotel-hotel kelas kaki lima. Mereka mematok banderol paket hemat dan cocok untuk pendatang berkantong cekak. Jelang petang pecah kehebohan. Dua rumah tak jauh dari hotel terbakar. Asal api belum jelas, namun dugaan sementara polisi, dari hubungan arus pendek. Sebelum kebakaran, di kawasan ini aliran listrik padam selama empat jam. Pasca heboh reda, kudengar dua pemilik rumah bercakap-cakap.
“Selain gemar berdusta, orang-orang di perusahaan listrik ini, ternyata sekarang sudah pula terjangkit penyakit lupa. Mereka lupa jadwal mati lampu itu tiga kali satu hari, bukan empat kali,” kata yang satu.
“Perusahaan listrik ini membuka peluang orang untuk masuk surga. Isi surga, kata ustaz, antara lain adalah orang-orang yang bersabar. Nah, kita selama ini telah bersabar untuk tidak mengamuk dan membakar kantor-kantor mereka,” kata yang lain. Lantas, keduanya tertawa bersama-sama.
Pakter Tuak Kebun Bunga
Bukan kafe yang harum aroma racikan biji kopi pilihan. Bukan bar dengan harum buih bir tempat orang-orang yang sudah setengah mabuk tak sungkan saling memagut bibir. Ini gelas ketiga bagiku dan entah berapa teko bagi sejumlah lelaki di meja lain. Mereka telah mabuk agaknya. Tak ada racau. Tak ada amuk. Justru rambas gitar terdengar kian sangar mengiringi lengking-lengking suara yang juga makin gahar.
“Kota kami banyak melahirkan musisi hebat. Ada yang tak kalah mengesankan. Jika kau datang ke kota kami, singgahlah ke pakter tuak dan akan kau dengar lantun nyanyian yang disuarakan sangat padu. Tanpa kesepakatan apalagi latihan. Makin banyak tuak ditenggak, makin hebat keserasian dan keselarasan suara-suara itu,” kata Rahmat Yanis.
Penjelasan menarik. Bukan kalimat ini yang menyeret langkahku kemari. Melainkan paparan lain tentang PSMS. Klub ini, menurut Rahmat Yanis, pernah menorehkan berbagai pencapaian gemilang. Selain gelar-gelar juara, pada 24 Februari 1985, pertandingan PSMS kontra Persib Bandung di final kompetisi perserikatan mampu mengalirkan 150 ribu penonton ke Senayan. Ini merupakan salah satu pertandingan dengan jumlah penonton terbanyak sepanjang sejarah sepakbola. Hanya kalah dari laga Brasil versus Uruguay di Estadio do Maracana, Rio de Jeniero, 16 Juli 1950, yang disaksikan 199.854 pasang mata.
Pakter tuak ini persis berada di balik tembok sisi utara Kebun Bunga, markas PSMS. Tempat di mana mereka menggelar latihan dan pertandingan-pertandingan persahabatan. Hari ini tidak ada latihan atau pertandingan. Hanya seorang lelaki tua berkulit legam sendirian menyiangi rumput liar di pinggir lapangan. Dia hanya tersenyum saat namanya kutanyakan.
“Siapa saya tidak penting, wahai orang asing. Saya bukan orang penting meskipun saya sudah berada di sini saat seluruh pemain dan pengurus PSMS sekarang belum lahir,” katanya. Usianya 76, dan dia kembali memamerkan senyum saat kutanyakan sampai kapan akan bertahan.
“Bagi saya ini semua bukan hanya soal sepakbola. Bukan pula menyangkut pengabdian atau kesetiaan. Saya cuma lelaki India tua sebatang kara. Saya tak mengerti hal-hal gagah seperti itu. Sekarang coba Anda dengar baik-baik. Simak dan resapi lagu-lagu itu. Iya, bertahun-tahun, bukan cuma Jack Marpaung atau mendiang Charles Simbolon dan Nahum Situmorang yang melegenda. Pernahkah Anda mendengar syair-syair lagu Pance Pondaag dan Rhoma Irama dilantunkan dalam logat batak? Ah, sekarang Anda tentu sudah bisa lebih paham betapa ini adalah semata tentang kebahagiaan. Lissoi...!”
Belinun Jaya, Kebun Binatang Kampung Baru, Taman Ria
Aku baru saja mengirimkan satu pesan pendek kepada Rahmat Yanis.
“Cuma kudapati gedung kumuh separuh terbakar dan jadi tempat para pedagang menitip keranjang sayur. Gerai toko serba ada dengan pelataran parkir penuh sesak oleh kendaraan dalam formasi serba amburadul dan pusat perbelanjaan mewah yang mengandalkan ritel dari Perancis. Perihal pemadaman listrik yang terjadwal itu dan pasokan air bersih yang mampat selama berjam-jam saban hari juga cukup membuatku terkaget-kaget. Bung, sebenarnya sudah berapa lama Anda tidak pulang ke Medan?”
18 Januari-24 Februari 2014