Sala Satu

Oleh: Hari Murti, S. Sos. Setidaknya ada tiga persfektif  yang digunakan oleh orang untuk menyebut sesuatu sebagai benar. Pertama, pandangan hukum, yaitu orang menyebut sesuatu itu sebagai benar bila sudah sesuai dengan hukum. Misalnya orang yang berhenti ketika lampu merah menyala disebut sebagai benar. Kedua, dari persfektif  fakta. Maksudnya, orang menyebut sesuatu itu sebagai benar bila sudah sesuai dengan   faktanya. Misalnya, si A memukul si B. Ketika di sidang pengadilan, orang biasanya mengatakan, “Benar, ‘Pak Hakim, si A memukul si B”. Lalu, ketiga,  persfektif  dari pendapat mayoritas. Sesuatu yang salah pun akan dianggap benar bila sudah menjadi kebiasaan mayoritas orang. Misalnya adalah kata salah satu. Contoh, “Salah satu sila dalam pancasila adalah ‘Ketuhanan yang Maha Esa’. Nah, kali ini, kita akan membahas tentang penggunaan kata salah satu yang sudah demikian umum dan biasanya digunakan orang sehingga sudah tidak terasa lagi kesalahannya.

Salah  artinya adalah ‘tidak benar’; ‘tidak betul’; ‘khilaf’; dan ‘keliru’. Lalu, satu  artinya adalah ‘urutan pertama sebelum ke-2’;  ‘bilangan asli terkecil sesudah 0’. Nah, jika kata salah satu digunakan,  artinya kira-kira adalah ‘tidak benar sebagai urutan pertama’. Padahal, setiap kita menggunakan kata salah satu maksudnya adalah ‘satu di antara sekian hal’. Jadi, kalau kita mengatakan salah satu sila dalam Pancasila adalah Ketuhanan yang Maha Esa, maksud yang sesungguhnya bukanlah ‘tidak benar sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama’, tetapi sila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa adalah satu dari lima sila yang ada dalam Pancasila’.

Belakangan, karena kata salah dan satu sudah sedemikian padu-nya, orang menggabungkannya menjadi salahsatu. Kata dari dan pada misalnya, karena sudah sedemikian padu-nya, maka digabung penulisannya menjadi daripada. Dari sisi penulisan, mungkin penggabungan kata salah dan satu menjadi salahsatu sudah cukup benar. Tetapi, dari sisi makna, tampaknya penggunaan kata salahsatu perlu diadaptasikan lagi untuk memenuhi dua tujuan. Pertama, agar tidak perlu berpanjang-panjang menjadi satu di antara sekian hal. Kedua, agar dekat dengan pendengar.

Nah, walaupun mungkin tidak terlalu benar, kita bisa mengadaptasikan kata salah satu atau salahsatu menjadi salasatu. Sebab, makna sebenarnya dari kata salah satu atau salahsatu itu justru bertentangan dengan maksud kita ketika mengucapkannya. Kata salah satu atau salahsatu maknanya sesuai kamus adalah ‘tidak benar bahwa sesuatu itu merupakan satu di antara sekian hal’. Padahal, maksud kita sebenarnya ketika menggunakan kata itu adalah justru sebaliknya, yaitu  bahwa ‘sesuatu itu merupakan satu di antara sekian hal yang berasosiasi dengannya’.

Jadi, untuk menghindari berpanjang-panjang kata hanya untuk benar kata dan tetap dapat dimengerti secara mudah adalah dengan menghilangkan huruf h pada kata salah. Lalu, karena sudah sedemikan padunya, maka penulisannya digabung dengan kata yang mengikutinya selalu, yaitu satu. Jadi, penulisannya adalah salasatu. Jadi, mungkin kita bisa menulisnya menjadi salasatu sila dalam pancasila adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Kata salasatu jelas tidak ada dalam kamus bahasa Indonesia. Tetapi, kita semua sudah tahu bahwa bahasa itu selalu berkembang. Perbendaharaan kata dalam sebuah  bahasa bertambah seringkali lebih karena adanya sebuah kesalahan berbahasa yang cukup mengganggu di tengah lebarnya tangan bahasa untuk menerima kosakata baru yang lebih sesuai. Misalnya adalah kata polisi tidur. Jelas ini kesalahan kita dalam berbahasa. Maka, sudah cukup banyak usul dari berbagai kalangan untuk mencari kata penggantinya dengan kata baru. Misalnya adalah gugulan atau pelaken yang merupakan singkatan dari kata pelambat laju kendaraan.  Kendalanya adalah ia kurang akrab di telinga kita. Artinya, butuh waktu dan usaha yang lumayan untuk mengakrabkannya ke masyakarat. Oleh karena itu, daripada menggunakan kata salah satu atau salahsatu, bagaimana kalau diambil jalan tengah menjadi salasatu? Tulisannya lebih singkat, maknanya tetap, dan bunyinya sudah cukup akrab di telinga kita. ***

Penulis adalah pemerhati bahasa Indonesia bidang jurnalistik, alumnus Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi “Pembangunan” Medan, Jurusan Ilmu Jurnalistik.

()

Baca Juga

Rekomendasi