Apa Itu Jasa Lingkungan ?

Oleh: Pardison Yurlius.

Berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, disebutkan bahwa pemanfaatan jasa lingkungan adalah kegiatan untuk memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan kehidupan manusia.

Herman Rosa, seorang pakar imbal jasa lingkungan Amerika Tengah, mendefenisikan imbal jasa lingkungan sebagai kompensasi jasa ekosistem. Herman Rosa kemudian membagi jasa ekosistem ke dalam empat klasifikasi.

Pertama, jasa penyediaan (provisioning services) berupa sumber bahan makanan, obat-obatan alamiah, sumber daya genetik, kayu bakar, serat, air, mineral, dan lain-lain.

Kedua, jasa pengaturan (regulating services), yakni fungsi menjaga kualitas udara, pengaturan iklim, pengaturan air, kontrol erosi, penjernihan air, pengelolaan sampah, kontrol penyakit manusia, kontrol biologi, pengurangan risiko, dan lain-lain.

Ketiga, jasa kultural (cultural services) berupa identitas dan keragaman budaya, nilai-nilai religius dan spiritual, pengetahuan (tradisional dan formal), inspirasi, nilai estetika, hubungan sosial, nilai peninggalan pusaka, rekreasi dan lain-lain.

Keempat, jasa pendukung (supporting services) berupa produksi utama formasi tanah, produksi oksigen, ketahanan tanah, penyerbukan, ketersediaan habitat, siklus gizi, dan lain-lain.

Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan

Lalu, bagaimana menilai dan bagaimana cara pembayaran jasa lingkungan itu?

Hingga saat ini, pembayaran jasa lingkungan sudah dapat diimplementasikan, namun perspektifnya masih beragam. Keberagaman terkait dengan elemen yang terlibat dalam skema pembayaran jasa lingkungan, yaitu air atau daerah aliran sungai, keanekaragaman hayati, landscape beauty dan carbon sequestration. Keberagaman itu berlaku juga dalam hal tingkatan implementasi dan bahkan pengertian mengenai konsepnya sendiri. Hal ini termasuk dalam mendefinisikan siapa sebenarnya provider atau seller, dan siapa buyer jasa lingkungan. Umumnya, provider atau seller merupakan masyarakat hulu (upstream) dan buyer adalah masyarakat hilir (downstream).

Diperlukan adanya negosiasi dalam pelaksnaan pembayaran jasa lingkungan, karena mekanisme ini sebenarnya dapat dikatakan sebagai mekanisme imbal jasa, di mana hendaknya ada kesetaraan secara ekonomi antara jasa yang diberikan oleh provider/seller dengan imbal yang diberikan buyer. Acuan dari sisi teknis diperlukan untuk membentuk opini dan sebagai bahan masukan untuk negosiasi. Artinya, penelitian dengan analisis mendalam sesuai dengan kebutuhan harus dilakukan terlebih dulu sebelum diimplementasikan.

Dalam Katalog Hasil Hutan Non-Kayu (HHNK) Internasional, jasa lingkungan termasuk dalam kategori HHNK yang terdiri dari produk biofisik (air dan karbon) dan produk psikologi (budaya dan keindahan). Ekowisata merupakan bagian dari jenis produk psikologi berupa keindahan. Dalam skema jasa lingkungan, masyarakat yang menjaga keindahan lokasi ekowisata disebut sebagai provider dan masyarakat atau pihak-pihak yang menikmati keindahan alam dapat disebut sebagai buyer atau user keindahan dalam atau lanskap.

Secara umum, pasar jasa lingkungan dapat pula diartikan sebagai kesempatan bagi masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar kawasan konservasi serta kawasan hutan (lokasi ekowisata) untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Selain itu, mekanisme ini juga ditujukan untuk meningkatkan modal sosial dan pengakuan atas hak dan mengakses sumber daya alam atau hutan.

Membentuk Lembaga

Dengan dilaksanakan skema pembayaran jasa lingkungan, maka diperlukan adanya satu yayasan atau lembaga masyarakat yang independen atau intermediaries yang mengelola dana hasil skema pembayaran jasa lingkungan. Lembaga ini harus beranggotakan semua pemangku kepentingan (stakeholder) di daerah tersebut dan dapat diterima oleh semua pihak. Dana hasil skema ini kemudian dikelola dengan persetuan para pemegang kepentingan dan hendaknya memberikan keuntungan bagi masyarakat hulu, hilir, dan menciptakan kelestarian sumber daya alam.

Dalam lima tahun terakhir, inisiatif pengembangan mekanisme pembayaran jasa lingkungan di Indonesia secara sistematis telah dikembangkan oleh instansi pemerintah pusat dan daerah, melalui kerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat nasional dan internasional seperti LP3ES, WWF, RUPES-ICRAF. Berdasarkan laporan Review of The Development Environment Services Market in Indonesia, World Agroforestry Centre, 2003, saat ini ada sekitar 84 lokasi yang dipandang sangat potensial sebagai wilayah pengembangan jasa lingkungan di Indoensia, baik dalam bentuk biodiversity, watershed protection, landscape beuty, maupun carbon sequestration.

Isu tentang pembayaran jasa lingkungan di Indoensia sudah cukup lama dikenal, meskipun dalam bahasa yang agak berbeda. Saat ini, sudah banyak terjadi peralihan pemanfaatan lahan kawasan hutan (bahkan lahan pertanian) untuk keperluan permukiman dan industri. Ini terkait dengan pertambahan jumlah penduduk Indonesia yang tidak terkendali.

Dalam sektor kehutanan, agar manfaat hutan dapat tetap dimanfaatkan dan terjaga bagi generasi selanjutnya, diperlukan pergeseran paradigma dalam pembangunan kehutanan. Saat ini, sering kali hutan hanya dipandang dari sisi fungsi produksi kayu, yang menurut penelitian hanya sebesar 7 persen dari seluruh hasil hutan. Padahal, hasil produksi hutan nonkayu, termasuk jasa lingkungan, mempunyai potensi sangat besar tetapi sampai saat ini belum optimal pemanfaatannya.

Jika dicermati, apa yang dilakukan terkait dengan pembayaran dan imbal jasa lingkungan di negara ini masih bersifat parsial. Diperlukan advokasi yang mengarah pada pengembangan kebijakan yang dapat dijadikan acuan bersama. Berdasarkan kriteria dan indikator pengelolaan hutan yang berkelanjutan, ada beberapa aspek yang dapat dikembangkan terkait dengan pengembangan mekanisme pembayaran jasa lingkungan.

Aspek-aspek ini di antaranya aspek pemanfaatan keanekaragaman hayati, hasil hutan nonkayu, ekoturisme hutan, dan sumber daya air. Berbagai inovasi teknis mekanisme pembayaran dan imbal jasa lingkungan terkait dengan keempat aspek tersebut diharapkan dapat menjadi dasar pengembangan kelembagaan dan hukum kebijakan pembayaran serta imbal jasa lingkungan di Indonesia.

Secara khusus, hingga saat ini, kerangka kebijakan dan regulasi terkait pariwisata dan ekowisata yang ada di Indonesia belum mengakomodasi bentuk pendanaan yang bersumber dari pembayaran dan imbal jasa lingkungan. Mengingat adanya keterbatasan sumber dana konvensional, mekanisme pembiayaan pembangunan dan investasi yang bersifat hijau ini dapat menjadi salah satu alternatif sumber pembiayaan pembangunan di bidang pariwisata atau ekowisata. Namun, pemikiran ini masih memerlukan pembahasan lebih detail.

Implementasi mekanisme pembayaran jasa lingkungan ekowisata di suatu wilayah perlu diintegrasikan dengan perencanaan spasial, disertai dengan adanya kesepakatan lintas sektoral, provinsi dan nasional. Diperlukan pula adanya konsultasi bottom-up dalam penyusunan proses dan besaran kompensasi atau insentif, hingga didapatkan kesesuaian, keseimbangan dan keinginan untuk membayar (willingness to pay) antara provider dan user/buyer.

()

Baca Juga

Rekomendasi