Peramu Rumput

Oleh: Elprida Br.Ginting. Matahari masih malu-malu menam­pak­kan sinarnya namun Rudang sudah sibuk di dapur meniup bara api yang akan me­matangkan masakannya. Kali ini asap tidak menggepul terlalu banyak, membuk­tikan kayu yang ia pakai sudah kering betul. Ru­dang masih menggunakan kayu untuk mema­sak bukan tidak ada alasan. Dahulu ia sudah memakai kompor minyak, hanya ketika ingin memasak air minum ia menggunakan kayu bakar. Belakangan harga minyak tanah melonjak, solusi yang diberikan pemerintah untuk beralih memakai gas, ia rasa belum tepat untuk dirinya. Kompor gas dan tabung gas yang pemerintah berikan kepadanya secara cuma-cuma hanya teronggok saja di sudut dapurnya. Pernah memang ia mema­kai­nya, selain karena dahulu pasokan gas ke kampungnya masih cukup, kala itu masih ada suaminya yang membantunya melupa­kan rasa cemas saat memasang tabung gas atau saat ia menyalakan apinya. Itu pun kalau saat suaminya tidak berkelana ke kam­pung lain. Suaminya berjualan kesaya-kesaya (jamu tradisional karo) dan juga sebagai tukang kusuk (pijat karo) dari kampung ke kampung bahkan hingga ke luar daerah.

“Mak, jadi kam kerja tahun ke kampung mama?”, tanya Lisa sambil menurunkan ember yang penuh air dari kepalanya. Ia ba­ru pulang dari pancuran-kamar mandi umum satu-satunya yang ada di kampung mereka.

“Jadilah, maka nanti siang sepulang dari sekolah, kam tak usah ke ladang, tunggu saja mamak di rumah biar kita buat kesaya pesanan mamamu!”.

Saat ini adalah bulan Oktober, pada bulan ini kampung adiknya mengadakan kerja tahun-perayaan syukuran atas hasil panen dan kegembiraan yang dirayakan dengan menyajikan banyak makanan khas. Karena salah satu andalan kampung adiknya itu adalah kuda, maka olahan daging kuda adalah menu utama pada perayaan itu, menu yang tak ketinggalan adalah pagit-pagit atau sup ijo, olahan usus kerbau yang dimasak bersa­ma daun ubi. Perayaan ini masih belum leng­kap kalau tidak ada kudapan cimpa sejenis lepat yang dibungkus daun singkut, lemang dan tapai ketan pulut yang dibungkus sederhana dengan daun talas atau daun pisang, belum lagi berbagai rebusan sayuran dan buah jeruk yang mereka panen dari ladangnya sendiri. Rudang sudah tak sabar ingin menikmati itu semua, bahkan ia beren­cana nantinya ikut melandek-menari bersama di jambur (tempat acara adat kam­pung-kam­pung suku karo) kampung adik laki-lakinya itu.

Tetapi sebelum pergi ke kampung adiknya itu, ada baiknya ia membuat kesaya pesanan adiknya itu, lagipula ia merasa tak enak hati apabila tak membawa apa-apa nantinya. Adiknya memang paling suka dengan kesaya buatanya. Kesaya adalah jamu tradisional karo yang terbuat dari berbagai tumbuhan herbal bahkan di dalamnya juga terdapat tanaman yang sebahagian orang menggapnya rumput atau gulma di ladang. Kesaya ber­khasiat untuk mengobati bermacam penyakit mulai dari kencing batu, diabetes, hipertensi dan lain sebagainya. Bukan untuk mengobati saja, kesaya juga dapat menambah nafsu makan anak dan menyehatkan orang-orang yang mengosumsinya. Semuanya tergantung takaran ramuan yang ia buat. Kesaya yang ia buat tentunya ia kerjakan secara tradisional, dari membeli bahan herbal yang tersebar di pasar sampai masuk hutan dan menjelajahi ladang-sawah untuk mencari bahan-bahan kesaya lainya.

“Mak, sepertinya minggu depan, aku tak bisa ikut ke kampung mama.” Ujar Lisa per­lahan sambil mengunyah sarapannya. “kami akan rapat bersama dengan ketua yayasan dan tak mungkin aku tak hadir.” Lanjut Lisa. Lisa adalah anak perempuan Rudang yang paling kecil. Lisa yang berkesempatan melanjut ke perguruan tinggi setelah selesai mengambil gelar sarjananya, ia bekerja sebagai guru. Awalnya Lisa bekerja sebagai guru Komputer di SMA yang ada di kampungnya, namun tiba-tiba ia ditawarkan menjadi seorang kepala sekolah Taman Kanak-kanak, oleh ketua yayasan. Menjadi seorang kepala sekolah di TK tersebut bukanlah perkara mudah. Mereka hanya memiliki 20 orang siswa, 2 ruangan kelas, 1 ruangan guru yang digabung dengan ruangan kepala sekola dan 1 guru. Awalnya TK tersebut memiliki 2 orang guru. Satu guru merangkapa menjadi bendahara sekolah. Namun mengingat penghasilan sebagai guru di TK tersebut tidak mencukupi guru tersebut pindah ke sekolah lain. Alhasil tugas Lisa menjadi kepala sekolah juga merangkap menjadi bendahara sekolah sekaligus guru yang mengajar di dalam ruangan. Bukan hanya itu bahkan terkadang Lisa dan rekan guru lainya merangkap menjadi tukang bersih-bersih di sekolah itu. Hal ini dikarenakan tukang bersih-bersih di TK tersebut hanya datang sesekali. Kalau ditanya gaji, tentu gaji yang Lisa dapatkan tidak sebanding dengan pekerjaan yang ia lakukan. Namun ada sesuatu di jiwanya yang selalu menguatkannya, ia bahagia melihat anak didiknya tertawa, menangis manja, wajah bingung anak didiknya bahkan saat anak didiknya mengadu ingin ditemanin buang air.

Tekadnya sudah bulat untuk memajukan TK tersebut. Dahulu saat menjadi guru di SMA ia merasa seperti ada panggilan lain di jiwanya. Tiba-tiba di malam sebelum ba­paknya berangkat ke kampung sebelah, me­ngajaknya menemui ketua yayasan tersebut. Di rumah ketua yayasan itu dihadapan bapaknya entah mengapa ia dengan cepat menyetujui tawaran ketua yayasan tersebut walau sudah banyak penjelasan yang kedengaran tidak menguntungkan yang nantinya ia dapatkan. Sekarang ia sudah 3 tahun menjadi kepala sekolah, tak ada yang lebih berat baginya selain memikirkan bagaimana menarik para orang tua untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke TK yang ia pimpin. Terkadang dia mengikut­sertakan anak didiknya ke berbagai acara di tingkat kecamatan bahkan ke tingkat kota. Kasih sayang dan bimbingan seriusnya terhadap anak didiknya membuat TK mereka berhasil menjuarai bergai perlombaan. Hal inilah yang membuat TK yang ia pimpin masih bertahan, bahkan siswanya bertambah menjadi 30 orang.

Rudang sudah mempersiapkan berbagai peralatan yang nantinya ia akan bawa ke hutan dekat sawahnya untuk mencari bebe­rapa daun obat sebagai bahan kesaya-nya. Semua peralatan dan bekal makan siang yang telah ia siapkan dimasukkan kedalam sebuah keranjang. Dengan hati-hati ia mendudukkan keranjang di atas kepalanya yang terlebih dahulu sudah di balut dengan kain sarung. Balutan kain sarung di atas kepalanya sangat khas, balutan itu selain bertujuan sebagai bantalan keranjang yang ia bawa juga sebagai pelindung kepalanya dari terik matahari dan rintik hujan. Umurnya yang sudah setengah abad tidak membuatnya bergerak dengan lamban. Bahkan ia bergerak dengan sigap, keranjang di atas kepalanya pun tak jatuh walau ia berjalan cepat naik-turun jalan yang ia lalui. Di tengah perjalanan ia berhenti sejenak, bukan dikarenakan dia merasa letih atau haus, tetapi ia ingin menikmati keindahan bunga-bunga liar di sekitarnya.

Jalanan yang ia lalui sebenarnya jalan setapak yang di kiri kanannya terdapat ladang-ladang penduduk maupun pohon-pohon dan semak belukar yang dibiarkan asri, hanya sesekali para warga merapikan semak belukar atau pohon-pohon yang mengganggu aktivitas mereka. Di sekitar semak belukar tersebut terkadang banyak bunga liar yang cukup menambah pesona keasrian tempat itu. warnanya pun beragam merah, kuning, putih hingga bewarna unggu bahkan terkadang terlihat kupu-kupu berterbangan di atasnya. Rudang memetik kelopak bunga yang bewarna putih, ia tersenyum melihat keindahan bunga tersebut. Ia teringat dengan kisah pemberian namanya, mamaknya dahulu pernah berce­rita Rudang Mentar Br Barus ada­lah pemberian dari bapaknya. Ba­paknya memberi nama tersebut ka­rena di malam kelahiran Ru­dang, di dalam ember yang berisi air nira untuk membuat gula merah entah mengapa dipenuhi beberapa kelopak bunga bewarna putih. Rudang yang berarti bunga dan Men­tar yang berarti putih akhir­nya menjadi pilihan nama yang ba­paknya berikan.

Tak terasa Rudang melewati aliran air kecil yang masih sangat jernih. Ia berhenti seketika, kali ini pandangannya menelusuri din­ding tanah yang ada di sekitar ali­ran air tersebut. Ia menerka-ner­­ka manakala ia menemukan daun herbal yang ia cari. Dengan teliti ia mencari sendep-sendep-tanaman herbal yang sekilas se­perti rumput dan beruas-ruas. Ba­nyak orang yang tidak mengetahui kalau tanaman ini dapat diman­fa­atkan sebagai bahan pembuat obat atau kesaya. Bagi mereka tanaman tersebut hanya rumput biasa, diinjak atau bahkan dianggap sebagai gulma. pan Namun bagi Rudang dan beberapa pembuat kesaya lainnya tanaman ini adalah kehidupannya dan kehidupan orang lain. Setelah menemukan apa yang ia cari, ia pun melan­jutkan perjalanannya. Belum se­puluh langkah, ia kembali berhenti kali ini ia melihat aliran darah me­­ngucur dari balik celana pan­jangnya. Ternyata ada pacet yang menempel di betis sebelah kanan­nya. Dengan sigap ia menarik pa­cet tersebut dari betisnya dan luka dibetisnya segera dia obati dengan lumatan beberapa daun yang ia lumat sendiri di dalam mu­lutnya. Pacet merupakan seje­nis lintah yang biasanya menempel di badan hewan atau manusia yang melin­tasi daerah yang lembab di sekitar hutan maupun area persawahan. Pacet biasanya mengisap darah mahluk hidup tempat ia menempel dan kalau sudah merasa kenyang ia akan lepas dari kulit dengan sendirinya, namun bekas luka yang pacet tinggalkan akan terasa gatal dan perih. Rudang yang semenjak kecil sudah mengenal pacet, tidak takut lagi dengan bi­natang ini. Bahkan sewaktu kecil ia dan teman-temanya terkadang menjadikan pacet menjadi per­mainan. Dahulu mereka sering mem­permainkan pacet dengan ranting-ranting kecil dan kalau sudah puas biasanya mereka me­mukul pacet tersebut dengan batu hinga mati.

Setelah agak jauh berjalan ia berhenti lagi. Kali ini Rudang memperhatikan ladang disebelah kananya. Yang ia cari ialah Bulung Iket-iket Manuk sejenis tumbuhan yang mirip dengan daun kacang tanah, tumbuh menjalar dan bia­sanya tumbuh di ladang dan ter­kadang dianggap sebagai gulma. namun kali ini dia agak kecewa, hal ini dikarenakan ladang tersebut sudah dibersihkan artinya tanam­an yang ia cari itu pasti sudah mus­nah karena dianggap gulma oleh pemilik ladang. Hal ini harus membuatnya berjalan lebih jauh lagi. ia harus segera mendapatkan daun-daun herbal tersebut sebe­lum sore hari. Tak terasa ia telah sampai di ladang dekat sawahnya, disana ia bergegas mencari apa yang ia butuhkan. Matahari yang sudah tepat di atas ubun-ubun ke­pala memaksa ia untuk beristirahat sejenak di gubuk yang berdiri di area sawahnya. Sebelum ia beri­s­tirahat terlebih dahulu ia pergi ke sungai yang hanya sekitar satu meter dari area sawahnya. Disana ia membersihkan diri dan mengisi tempat air minumya denga air yang mengalir dari mata air dekat sungai tersebut. Di gubuk dengan lahap ia menikmati bekal makan siangnya, sesekali ia melihat se­kitarnya. Ia masih ingat ketika su­aminya masih hidup. Pekerjaan yang ia lakukan saat ini adalah pekerjaan suaminya dan dengan berdebar-debar ia mengingat su­aminya, tak terasa air menetes da­ri kedua pelupuk matanya. Te­rasa sakit setiap kali mengingat­nya.

Saat matahari masih malu-ma­lu menampakkan sinarnya tubuh suaminya berpacu melewati se­mak dan anak-anak air di dalam hutan demi mencari rumput-rum­put ajaib untuk bahan ramuan obat­nya/kesaya. Sesekali kicau burung dan gemericik air terde­ngar mengeringi langkah kakinya yang gusar di antara jengkalan-jengkalan pacat yang ingin seke­dar mencicipi darahnya. Perjuang­an untuk mendapatkan rumput-rumput yang sering tidak di perdulikan orang atau bahkan di pijak-pijak belum usai. Terkadang tubuh suaminya harus bermandi peluh bahkan terkadang dia harus beratap awan gelap seraya berusa­ha menembus tirai air untuk men­dapatkan rumput-rumput yang te­pat untuk bahan ramuan jamunya. Tak jarang pula ia tak berhasil me­nemukan rumput-rumput ajaib itu.

 “Hah… barangkali peri hutan lupa menabur benih tadi malam!”, itulah kata-kata yang menguatkan hati suaminya supaya tetap ber­harap agar esok menjadi lebih baik.

Mengerti bahwa tidak dapat mengharapkan apa yang disediakan hutan, suaminya juga berusaha menanami tanaman herbal ter­sebut secara tradisional. Suaminya yakin bahwa apa yang dilakukanya bukan sekedar pemanfaatan tumbuhan obat secara komoditi komersial saja, tetapi tak lain memanfaatkan apa yang disediakan hutan dengan tetap mempertimbangkan populitas tanaman obat tersebut. Secara tidak langsung penanaman kembali tanaman obat tersebut sangat memban­tu kelestarian tanaman obat tersebut. Bukan hanya itu saja, berusa­ha melestarikan obat-obatan tradisonal berdampak bagi pengobatan modern dan membantu menemukan pengobatan yang baik dan tepat bagi permasalahan pengobatan modern masa kini. Itulah pandangan suaminya yang sangat membanggakan.

Sudah lebih kurang sepuluh tahun suaminya meramu rumput-rumput ajaib tersebut menjadi kesaya yang berkhasiat, tetapi ia tak pernah mengeluh atau ingin me­nggeluti pekerjaan lain. Ia yakin apa yang ia jalani saat ini merupakan nikmat yang telah di gariskan Tuhan dalam jalan kehidupannya.. Apabila rumput atau bahan obat yang ia cari, ia dapatkan, ia segera pulang ke rumah untuk meramunya menjadi obat yang di bantu oleh Rudang-istrinya dan anak-anaknya. Perjalanan rumput tadi masih berlanjut pada setiap daerah-daerah yang suaminya datangi. Ya… setelah berpacu dengan alam sekarang suaminya harus berpacu dengan waktu agar segera tiba di rumah pasien yang mengharapkan kedatangannya. Memang karena kemanjuran jamu-jamu yang suaminya buat ia sering kali mendapat telepon untuk pergi ke rumah pasiennya. Hal yang membanggakan mengingat suaminya sangat bertanggung jawab terhadap kesembuhan pasiennya, selama pasien ter­sebut belum sembuh suaminya tetap berusaha mengobatinya, suaminya juga tak sekedar menginginkan uang dari pasiennnya, kalau suaminya sudah merasa tidak sanggup lagi mengobati pasiennya, ia akan menyarankan pasiennya ke rumah sakit. Begitulah suaminya bukan ingin meraup keuntungan semata tapi tetap mengutamakan kesembuhan pasiennya.

Sekarang sepeninggal suaminya, Rudang dan anak-anaknyalah yang melanjutkan usaha suaminya itu. Rudang masih ingat kepergian suaminya yang sangat mengejutkan ia dan anak-anaknya. Suaminya meninggal setelah kecelakaan motor yang dialaminya. Padahal saat itu anak lelakinya sedang berada di tingkat akhir di perkuliahannya dan dijadwalkan akan wisuda tahun depan. Betapa hancurnya hati Rudang saat itu, ia yang bahkan tak tamat Sekolah Dasar terbiasa bergantung dengan suaminya. Ia juga jarang bergaul tidak seperti suaminya yang pandai bersosialisasi dengan masyarakat. Ia masih ingat pada saat itu banyak desas-desus yang mengatakan keluarga mereka akan hancur. Bahkan mereka juga yakin kalau anak lelakinya tidak dapat melanjutkan studinya, bahkan anak perem­puan­­nya, Lisa pun dianggap tak kan mampu membantu keluarga. Rudang saat itu hanya terdiam sa­ja. Ia tak mampu berkata apa-apa. Tak jarang ia pergi ke ladang atau ke sawah untuk menumpahkan keluh kesahnya. Selama ini keluarga mereka memang sering mendapat cemoohan dari orang lain, hal ini dikarenakan dia menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi.

Orang-orang merasa keputusan Rudang dengan suaminya un­tuk menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi adalah hal yang sia-sia. Ia masih ingat ketika suaminya beresikeras menyeko­lahkan Lisa keperguruan tinggi, walau dana yang mereka miliki terbilang mengkhawatirkan. Keyakinan suaminya menyekolahkan Lisa bukan tanpa alasan. Selain Lisa memiliki keinginan yang sama, tekad dan cita-cita Lisa membulatkan tekadnya. Lisa selain anak yang cerdas, Ia juga a­nak yang mandiri terbukti tak hanya sekedar menjadi mahasiswa ia juga bekerja paruh waktu di tem­pat fotocopy dan rental computer dekat kosnya. Suaminya bah­kan sering gali lubang-tutup lubang untuk membiayai kuliah Lisa. Kerja keras Lisa dan penghasilan suaminya menjual kesaya mampu membuat Lisa memproleh gelar sarjana pendidikan. Ia masih bias membayangka betapa haru-nya saat itu, Lisa adalah anak yang pertama kali memproleh gelar sarjana di keluarga besar mereka. Gelar yang tak hanya mem­bang­gakan namun juga mengangkat martabat mereka. Dalam sekejap oran-orang kampung mem­bicarakan anak tukang kesaya dan Kusuk mampu memproleh gelar sarjana yang bahkan tidak didapatkan seorang anak kepala desa. Semenjak hari itu, warga kam­pung mulai bersemangat me­nyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi negeri.

Setelah selesai menyuci rumput-rumput atau daun herbal yang ia kumpulkan di sungai. Rudang menyusunnya dalam keranjang dengan hati-hati ia meletakkan kembali keranjangnya di atas kepalanya. Kali ini laju jalannya harus cepat. Ia tak ingin anaknya terlalu lama menunggunya. Ia sudah berjanji malam ini ia harus sudah selesai meramu kesaya. Ia sudah bisa membayangkan bagai­mana proses pembuatan/meramu kesaya itu memerlukan waktu dan tenaga yang ekstra. Hal ini dika­renakan pembuatan kesaya masih dilakukan secara tradisional. Saat kita melihat jamu-jamu (kesaya) tersebut telah ia kemas dalam botol-botol minuman bekas, orang-orang mungkin tidak tahu ba­gaimana perjuangan meramunya tidak kalah sulitnya. Pertama sekali setelah yakin bahan-bahan kesaya bersih, ia membuat takaran yang tepat untuk setiap bahannya. Setelah itu, bahan-bahan dimasukkan ke dalam lumping untuk ditumbuk. Proses menumbuk bahan-bahan tersebut pastinya sangat memerlukan tenaga ekstra. Setelah bahan-bahan tersebut ditumbuk secara kasar, hasilnya se­gera digiling kembali hingga limat dengan menggunakan gilingan batu. Setelah semuanya lumat, ba­han-bahan tersebut di aduk-aduk di dalam sebuah wadah dan didiamkan hingga semalaman.

“Mak, kenapa lama sekali, ini sudah pukul lima sore loh, apa ta­di ada yang menganggu mamak?, tanya Lisa penuh heran.

Ya..biasanya kalau hanya mencari bahan kesaya pukul tiga sore mamaknya pasti sudah sampai di rumah. Semenjak bapaknya meninggal, Lisa sangat khawatir melihat mamaknya kalau pulang dari sawah atau ladang. Dari tatapan mata mamaknya tersirat kesedihan. Lisa yakin ladang dan sawah pasti mengingatkan mamaknya dengan bapaknya. Sawah dan ladang adalah rumah kedua bagi mereka. Selain sebagai pembuat kesaya keluarga mereka juga adalah petani. Bahkan tak jarang sebagian proses membuat kesaya dilakukan di gubuk sawah mereka.

“Lisa!” tiba-tiba mamaknya me­mangilnya dengan nada lem­­but. Lisa segera menghampiri ma­maknya dan segera meninggalkan sapu lidi di tangannya untuk bergabung duduk di beranda rumah dengan mamaknya. “Apa, kam bahagia?” tanya mamaknya dengan lirih. Lisa terdiam sejenaknya, ia sedang menerka-nerka apa yang dipikirkan mamaknya. Mamaknya merupakan wanita yang sangat pendiam. Dari dulu ia jarang tertawa, hanya ketika ada bapaknya, mamaknya dapat tertawa dengan keras. Kata bapaknya, mamak­nya adalah anak pertama dari dua belas bersaudara. Sewaktu berumur tujuh tahun mamaknya harus merasakan hidup dengan ibu tiri. Hal ini dikarenakan waktu berumur enam tahun ibunya telah meninggal dunia. Bapaknya yang hanya seorang pembuat gula aren hanya mampu menyekolahkan mamaknya hingga kelas tiga Sekolah Dasar. Keluguan dan kemandirian mamaknya adalah daya tarik tesendiri bagi bapaknya. Lisa masih ingat saat bapaknya bercerita keluguan mamaknya yang berteriak kegirangan untuk pertama kalinya saat bapaknya membonceng mamaknya dengan sepeda. Waktu itu bapaknya mengayuh sepeda dengan kencang hingga pada saat jalanan menurun kecepatan sepeda tersebut di atas rata-rata, bukanya ketakutan, mamaknya ma­lah berteriak kegirangan.

“Bagaimana, Lisa?”, Rudang kembali bertanya pada anaknya itu.

“Mak, bagaimana mungkin aku tidak bahagia saat mamak ada disampingku. Saat aku yakin bapak juga melihat kita dari atas. Aku tahu mamak saat ini pasti merindukan bapak, mamak rindu bersenda gurau dengan bapak, menyiapkan makanan buat bapak, bahkan mamak rindu menanti dengan cemas bapak yang pergi ke kampung lain. Tetapi mamak harus tahu ada aku juga disini, aku adalah buah dari senda gurau mamak dan bapak, buah kerinduan mamak saat menanti kepulangan bapak, aku adalah…..

“Buah kebahagiaan kami!” lanjut Rudang meneruskan kata-kata anak perempuanya itu. dipeluknya anaknya itu dengan erat. Ada aliran yang begitu cepat merayapi tubuhnya, hingga membuatnya me­nangis. Selama ini ia merasa sa­kit, sakit yang ia sendiri tahu apa penyebabnya, apa obatnya, bahkan ia tak tahu sakit apa yang ia rasakan. Namun yang pasti ia tahu sakit itu telah hilang dengan kesaya yang ditinggalkan suaminya untuknya. Ya..anak-anaknya. (KONTAN)

()

Baca Juga

Rekomendasi