Oleh: Fransisca Ayu Kumalasari SH MKn.
Kebijakan pemerintah menghapus syarat kemampuan bahasa Indonesia bagi Tenaga Kerja Asing (TKA) yang ingin bekerja di Indonesia menuai kontroversi di masyarakat. Ketentuan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 16 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penggunaan TKA yang menggantikan Permenakertrans Nomor 12 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penggunaan TKA. Dengan berlakunya peraturan tersebut, tenaga kerja asing kini dapat bekerja di Indonesia tanpa harus memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang baik. Bagi pemerintah, kebijakan ini semata-mata untuk mempermudah investor menanamkan modalnya di Indonesia agar tercipta percepatan pertumbuhan ekonomi.
Namun apa pun itu kita tetap menyayangkan, kenapa di saat bangsa ini sedang hangat-hangatnya membangkitkan roh nasionalismenya lewat kecintaan terhadap produk jati diri bangsanya sendiri antara lain lewat penggunaan bahasa, aturan tersebut justru terkesan menghadangnya. Ketika bangsa lain begitu seriusnya menginternalisasi kebanggaan berbahasa ibunya bagi setiap warga negaranya, kita malah memberikan dispensasi bagi warga asing untuk bekerja di dalam negeri tanpa lebih dahulu menguasai bahasa Indonesia, yang sejatinya kita hormati dan junjung tinggi. Seolah-olah kita ingin meneguhkan secara langsung bahwa bahasa Indonesia bukan lagi bagian dari elemen percaturan sosial, ekonomi politik global yang selama ini memang lebih mendewakan bahasa internasional seperti bahasa Inggris.
Jika tenaga kerja atau mahasiswa kita harus belajar intensif bahasa Inggris, Jepang, Korea, bahkan harus menempuh tingkat keahlian tertentu agar bisa bekerja dan belajar di luar negeri, mengapa kepada warga negara asing yang datang ke negeri kita dengan misi sama tidak kita perlakukan demikian. Bukan semata supaya adil, namun lebih darinya supaya bahasa Indonesia tetap dilestarikan untuk memiliki posisi tawar tinggi di dalam kancah pergaulan global yang kian tanpa batas.
Bahasa Modern
Padahal menurut Unesco, bahasa Indonesia tergolong sebagai bahasa modern karena memiliki nilai elaboratif yang mampu membahas hal-hal yang sifatnya abstrak. Karenanya tidak sedikit tokoh-tokoh intelektual asal luar negeri yang harus rela belajar intensif berbahasa Indonesia yang baik tidak saja untuk meningkatkan kapasitas intelektual dan kemampuan menyelami aneka realitas dan pengetahuan masyarakat Indonesia, tapi juga karena mereka sadar, bahwa dengan berbahasa Indonesia yang benar, mereka telah ikut merajut tali persaudaraan antar-bangsa sebagai bagian dari umat dunia yang menjunjung dignitas (kemuliaan). Mereka yang dicap indonesianis itu bahkan lebih tahu memosisikan bahasa Indonesia sebagai bahasa terhormat dan media interaksi yang konstruktif.
Mereka bahkan lebih nasionalis ketimbang elite-elite bangsa kita baik di level eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, yang gemar menginggriskan bahasa Indonesia dalam berbagai pernyataan resmi maupun informal. Mereka yang seharusnya memberikan contoh penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar saat ini justru lebih suka memproduksi bahasa asing di dalam bahasa Indonesia yang dikonsumsinya. Seolah-olah jika tanpa imbuhan bahasa asing dalam kata-katanya, prestisenya sebagai elite akan menurun di mata masyarakat. Padahal berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2010 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Pidato Resmi Presiden dan/atau Wakil Presiden serta Pejabat Negara Lainnya jelas-jelas mengharuskan untuk menggunakan bahasa Indonesia di dalam atau di luar negeri.
Kecenderungan yang latah mengadopsi istilah-istilah asing akan semakin melayukan kebanggaan anak-anak bangsa kita untuk menerima bahasa Indonesia sebagai bagian dari kepribadian yang merdeka. Pada pelaksanaan ujian nasional SMP/SMA, kegagalan ujian bahasa Indonesia bahkan pernah mencapai 30 persen, dan sebaliknya, kegagalan di ujian bahasa Inggris hanya berkisar 5 persen. Hasil penelitian Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa soal sikap positif masyarakat terhadap bahasa Indonesia juga tak kalah memprihatinkan. Penelitian di kalangan anak-anak muda, indeks sikap positif terhadap bahasa Indonesia hanya 1,4 dari skala 5. Ini mestinya menjadi sinyal penting bagi pemerintah bahwa eksistensi bahasa Indonesia sedang terancam digerus bahasa asing.
Dengan berbagai kemajuan produk-produk teknologi yang menggunakan unsur serapan asing sangat kental, sulit bagi generasi muda bangsa ini untuk terhindar dari jebakan asingisasi Bahasa Indonesia. Lihat saja acara-acara televisi yang format dan namanya sangat kebarat-baratan bahkan terkesan dipaksakan, untuk sekadar mencari sensasi dan menaikkan rating. Lihat juga baliho, spanduk, plang yang bertebaran di jalanan besar yang menampilkan simbol-simbol dan kosakata asing. Belum lagi nama-nama mal, restaurant, rumah makan sampai makam yang identik dengan identitas asing yang sengaja dibuat untuk membangun imaji gaul(isme) dan modernitas. Fenomena ini akhirnya memerangkap generasi kita menjadi generasi kerdil, plastis, tukang tiru, pelatah, yang miskin pengetahuan substansi dan lebih berorientasi pada nilai-nilai komersial yang sangat menjajah tubuh dan orientasi berpikirnya.
Inilah yang membuat seorang Chaer hadir, saksi ahli pemohon dalam sidang uji materi Pasal 50 ayat 3 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional soal RSBI/SBI di Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta pada 24/2/2012 lalu, bersikeras mengusulkan penghapusan pelegalan bahasa Inggris di Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI/SBI) karena dianggap bertentangan dengan program pembinaan bahasa Indonesia dan merendahkan budaya dan bahasa sendiri. Syukurlah RSBI akhirnya sudah dihapuskan.
Korbankan Darah Daging
Kita juga tak setuju jika penghapusan bahasa Indonesia bagi pekerja asing semata untuk memenuhi alasan kemudahan investasi.
Bukannya memprioritaskan tenaga kerja pribumi untuk berkompetisi dalam dunia kerja domestik untuk menciptakan pemerataan kesejahteraan, justeru para ekspatriat yang malah diberi kemudahan. Benar bahwa bangsa ini sedang berada di tengah riak dampak globalisasi yang serba-membutuhkan kecepatan respons, inovasi dan akselerasi agar tidak terhempas dari persaingan global, namun itu tak harus berarti kita mengorbankan apa yang sudah menjadi darah daging bangsa ini yakni bahasa, budaya dan kedaualatan bangsa, agar keutuhan kita sebagai masyarakat yang beradab dan memiliki harga diri di hadapan negara lain tetap terpelihara.
Kita berharap pemerintah dapat merevisi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 16 Tahun 2015 di atas, sambil terus menggencarkan upaya memasyaratkan nilai-nilai bahasa terutama kepada generasi muda.
Kegiatan Jambore Nasional Bahasa dan Sastra yang diikuti oleh pelajar, mahasiswa, dosen, maupun organisasi pemuda, harus terus dijalankan oleh pemerintah sebagai program tetap agar wawasan kebangsaan generasi muda dan elite kita tentang bahasa terus terpupuk.
Kita juga menyarankan agar para pejabat mampu meneladankan sikap patriotisme berbahasa dengan tidak gemar mencampur-campurkan bahasa asing dalam setiap kata dan ucapannya, terlebih di dalam suasana yang formal.***
Penulis adalah Pemerhati sosial.