Ruh Ibadah Nabi Ibrahim

Oleh: Muhammad Idris Nasution. Ibadah haji pada hakikatnya adalah napak tilas atas perjuangan Nabi Ibrahim as. Kita tidak dapat menemukan rahasia paling asasi dari ibadah haji tanpa mengetahui dan mendalami siapa dan apa kehebatan yang dimiliki Nabi Ibrahim itu. Karenanya, suasana bulan haji ini menjadi moment yang sangat tepat untuk membincang sosok dan teladan Nabi Ibrahim.

Dalam catatan Al Quran, Allah telah menjadikan Nabi Ibrahim sebagai pemimpin dan imam bagi manusia. (Al Baqarah: 124) Nabi Ibrahim adalah orang yang telah teruji ketaatannya. Dia mampu mengemban semua kewajiban yang diperintahkan oleh Allah swt kepadanya. (Al Baqarah: 124) Secara khusus Allah mengatakan Nabi Ibrahim adalah seorang yang setia kepada Allah. (An Najm: 37) Sehingga Allah mengangkatnya sebagai khalil-Nya. (An Nisa: 125) Karenanya Allah mengatakan dirinya adalah seorang seorang yang taat dan selalu berpegang teguh pada kebenaran. (An Nahl: 120)

Allah menegaskan dalam diri Nabi Ibrahim terdapat uswah hasanah atau teladan yang baik. (Al Mumtahanah: 4 dan 6) Al Quran menunjukkan keteladanan Ibrahim dalam berbagai sisi kehidupan, apakah dalam beriba­dah, berkeluarga, bermasyarakat, apakah sebagai pemimpin, sebagai orang tua, atau sebagai anak. Dalam hal ini, penulis ingin menunjukkan sisi keteladanan Nabi Ibrahim dalam beribadah atau menjunjung perin­tah Allah swt.

Meneladani Nabi Ibrahim Dalam Ibadah

Kisah Al Quran tentang Nabi Ibra­him yang hendak mengkor­ban­kan anaknya, Nabi Ismail dapat dija­dikan sebagai teladan ketaatan dalam menjunjung perintah Allah. Yang mana menunjukkan beberapa karak­teristik penting dalam beriba­dah.

Pertama, beribadah dengan ilmu. Bukan taat sekadar taat.

Nabi Ibrahim mendapatkan petunjuk untuk mengurbankan Nabi Ismail berawal dari mimpi. Tentu saja Nabi Ibrahim, sebagai orang tua tidak langsung mem­percayainya. Tapi mimpi itu datang berulang kali sehingga dia yakin itu adalah dari Allah swt.

Demikianlah, dalam beribadah kita harus memiliki keyakinan bahwa yang kita amalkan mesti telah sesuai dengan petunjuk agama, jangan asal ikut-ikutan kata orang saja. Oleh karena itu, kita dituntut untuk menuntut ilmu dan belajar sepanjang masa sampai menghem­buskan nafas terakhir, bahkan sampai ke liang lahad. Sebab, amal tanpa ilmu tidak akan diterima.

Kedua, membuka ruang diskusi dan musyawarah.

Al Quran menyebutkan, setelah Nabi Ibrahim yakin bahwa mimpi yang dia lihat adalah wahyu dari Allah, dia pun mengajak anaknya berdialog tentang perintah yang dia terima. Meskipun dia telah yakin, dan tujuannya juga baik karena merupakan ibadah, tetapi beliau tetap saja menanyakan pendapat anaknya.

Sikap ini penting untuk ditela­dani, seiring lunturnya semangat musyawarah dan merajalelanya main hakim sendiri di tengah masyarakat. Prinsip musyawarah adalah prinsip utama dalam agama ini. Prinsip ini tidak boleh diting­galkan meskipun yang akan kita lakukan adalah murni ibadah, terutama jika menyangkut dan berhubungan dengan kepentingan orang lain, harus tetap didiskusikan atau dimusyawarahkan.

Misalnya, ketika kita akan membangun masjid, bagaimana mengelola masjid, bagaimana pengelolaan zakat-wakaf, bagai­mana volume speaker masjid, bagaimana pengurusan dan peng­hormatan terhadap jenazah, semua harus didiskusikan. Jangan sampai kita bergaduh gara-gara kurangnya komunikasi sesama kita. Demikian juga, ketika kita hendak berhaji, hendak pergi berjihad di jalan dakwah, harus terlebih dahulu didiskusikan.

Ketiga, totalitas dalam beriba­dah, tidak setengah-setengah dalam ketaatan dan mengusahakan yang terbaik.

Allah mengatakan, melalui Al Quran bahwa Nabi Ibrahim menja­lankan semua tugas dan kewa­jibannya secara sempurna. Dalam surah Al Baqarah ayat ke 124, disebutkan “fa atmmahunna” Artinya, Nabi Ibrahim bukan hanya sekadar menjalankan dan menu­naikan perintah-perintah Allah itu, tetapi melakukannya secara sem­purna.

Dalam Al Quran, sebenarnya kita pun dituntut untuk beragama dengan kaffah. (Al Baqarah: 208) Al Quran mencela perilaku Bani Israil dahulu yang menjalankan agamanya sepotong-sepotong saja. (Al Baqarah: 85) Agama melarang kita beribadah hanya sesuai dengan selera saja. Ketika mengun­tung­kan, kita mau melaksanakan­nya, tetapi jika tiba-tiba kurang sesuai dengan keinginan kita lantas kita meninggalkannya begitu saja.

Keempat, mengutamakan perin­tah Allah dari pada yang lainnya.

Nabi Ibrahim sangatlah menya­yangi anakanya Nabi Ismail. Dia telah mendambakan kehadirannya selama puluhan tahun, sampai 40 tahun. Tetapi demi menyahuti perintah Allah, dia korbankan harta paling berharga yang dia miliki itu. Sekali lagi, demi perintah Allah.

Demikianlah sikap yang ditun­jukkan oleh seseorang yang telah merasakan manisnya iman. Rasu­lullah saw bersabda, “Tidak sem­purna iman salah seorang kamu, sampai aku lebih dia cintai dari pada ayahnya, anaknya, dan manu­sia semuanya.” Mencintai Rasu­lullah adalah dengan men­jalankan sunnah-sunnahnya. Arti­nya, lebih mencintai Rasul berarti lebih mengutamakan sunnah Rasul.

Pertanyaannya, bagaimana kon­disi iman kita ketika ada panggilan azan sedangkan kita lagi sibuk, mana yang lebih diuta­makan? Kati­ka ada undangan pengajian atau kon­ser, kemana kaki melangkah? Ketika agama menga­takan “ja­ngan”, sementara nafsu mengatakan “iya”, hati kita memi­lih mengikuti suara yang mana? Tepuk dada, tanya iman. Rasu­lullah sw bersabda, “Tidak sempur­na iman salah seorang kamu sampai hawa nafsu­nya mengikuti apa yang kubawa.”

Kelima, tetap selalu berdoa agar diberi kekuatan untuk beribadah.

Meskipun dikenal sebagai insan yang taat, tetapi Nabi Ibrahim senantiasa berdoa agar diberikan kekuatan untuk dapat beribadah. Salah satu doa Nabi Ibrahim adalah “Ya Tuhanku, jadikanlah aku seorang yang mendirikan solat dan juga keturunanku. (Ibrahim: 40)

Rasulullah saw pun pernah mengajarkan doa kepada salah seorang sahabat, agar selalu diulang-ulang. “Ya Allah, bantulah aku untuk mengingat-Mu (berzi­kir), bersyukur kepada-Mu, dan memperbaiki ibadah kepada-Mu.”

Untuk beribadah, kita paling membutuhkan kekuatan dan taufik dari Allah swt. Kita harus menya­dari bahwa kemampuan kita untuk melaksanakan perintah-perintah Allah ini adalah karena pertolongan dari Allah swt juga. Karenanya kita harus selalu bersyukur, dan tetap menjaga keikhlasan, jangan sampai menyombongkan ibadah-ibadah kita.Mentang-mentang rajin shalat, sombong; pandai mengaji, sombong; sudah haji; sombong; ikut kurban sombong.

Demikianlah beberapa karak­teristik ibadah Nabi Ibrahim. Semo­ga kita dapat mengambil teladan dari ketaatan beliau. Wallahu’alam

()

Baca Juga

Rekomendasi