Oleh: Dra. Yusna Hilma Sinaga.
Peringatan Hari Aksara Internasional (HAI) pertama kali dilakukan tahun 1966. Perayaan HAI dilandasi semangat memberantas buta aksara di seluruh dunia maka Indonesia ikut serta memperingatinya sebagai wujud dari kemampuan membaca bagi bangsa Indonesia. Berdasarkan hasil Konferensi Tingkat Menteri Negara-Negara Anggota PPB yang diselenggarakan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada 17 November 1965 di Teheran, Iran maka 8 September ditetapkan sebagai Hari Aksara Internasional (International Literacy Day).
Berdasarkan data UNESCO, secara global terdapat 781 juta penduduk dewasa yang tidak dapat membaca, menulis dan berhitung. Dua pertiga dari mereka adalah perempuan. Sedangkan kelompok anak, terdapat lebih dari 126 juta anak tidak dapat membaca kalimat sederhana meskipun separuh dari mereka pernah bersekolah selama empat tahun. Kemudian terdapat 42 persen anak-anak dari keluarga miskin dan anak berada di wilayah konflik tidak bisa sekolah (out of school) akan menjadi “calon” buta-aksarawan baru.
Sementara data di Indonesia, selama 10 tahun periode Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I dan II, program penuntasan buta aksara dengan hasil tahun 2005 penduduk buta aksara mencapai 9,55 persen. Sedangkan tahun 2013 turun menjadi 3,86 persen.
Dari data itu Indonesia berhasil memenuhi target Deklarasi Dakkar tentang Pendidikan Untuk Semua (PUS) atau Education for All (EFA) yaitu tahun 2015 Indonesia dapat menurunkan separuh penduduk buta aksara menjadi tinggal 5 persen. Tahun 2013, jumlah penduduk buta aksara masih tinggi pada 11 provinsi yaitu 1. Papua sebesar 30,93 persen atau 615.977 jiwa. 2. Nusa Tenggara Barat 10,92 persen atau 314.435 jiwa. 3. Sulawesi Barat 7,96 persen atau 60.164 jiwa. 4. Sulawesi Selatan 7,37 persen atau 381.329 jiwa. 5. Nusa Tenggara Barat Timur 7,21 persen atau 203.002 jiwa. 6. Jawa Timur 5,92 persen atau 1.481.646 jiwa. 7. Kalimantan Barat 5,76 persen atau 170.038 jiwa. 8. Bali 5,33 persen atau 140.628 jiwa. 9. Papua Barat 4,92 persen atau 26.280 jiwa. 10. Sulawesi Tenggara 4,60 persen atau 65.924 jiwa dan 11. Jawa Tengah 4,54 persen atau 960.905 jiwa.
Menurut laporan UNESCO, tren peningkatan persentase penduduk melek aksara di atas 90 persen. Indonesia sebagai anggota UNESCO, selalu menyelenggarakan peringatan HAI termasuk tahun 2015 peringatan ke-50 HAI.
Peringatn ke-50 HAI tahun 2015 ini dijadikan sebagai masa depan. Program HAI untuk pelestarian atau pemeliharaan kemampuan keaksaraan dasar buat seluruh rakyat Indonesia. Penduduk Indonesia harus memiliki pendidikan, memiliki soft-skill berupa sikap dan karakter dan hard-skill berupa keterampilan vokasional.
Penggunaan Bahasa Indonesia
Satu arti penting memperingati Hari Aksara memiliki arti penting tentang bahasa yakni hard-skill berupa keterampilan vokasional. Artinya rakyat Indonesia harus memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahasa menunjukkan bangsa maka bahasa yang digunakan seseorang, sekelompok orang menunjukkan jati diri dari yang berbahasa.
Bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu yang dijadikan sebagai bahasa resmi Negara Republik Indonesia dan bahasa persatuan bangsa Indonesia yang resmi penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi. Indonesia memiliki banyak bahasa daerah atau bahasa ibu, sedikitnya ada 748 bahasa yang digunakan berbagai daerah di Indonesia.
Suksesnya HAI jika buta aksara terus berkurang. Artinya, rakyat Indonesia harus sudah bisa membaca dan menulis. Mewujudkannya itu tidak mudah, harus ada ketetapan hati agar jumlah penduduk tidak bergantung dari pelajaran bahasa Indonesia.
Hebatnya Bahasa Indonesia Masuk Pelajaran SD di Australia (Berita halaman Pertama Harian Analisa Medan, Jum’at 4 September 2015). Namun, anehnya di Indonesia sendiri kurang upaya untuk memasyarakatkan Bahasa Indonesia. Seharusnya dimulai dari bangsa Indonesia sendiri, terutama yang berada di Indonesia.
Penulis sebagai tenaga pendidik untuk guru Bahasa Indonesia sangat bangga membaca berita di Harian Analisa itu dan sangat tepat berita itu diterbitkan pada halaman pertama (depan) Harian Analisa Medan.
Namun, penulis miris adanya revisi Permenaker Nomor 12 Tahun 2003 yang kini terbit Permenaker Nomor 16 Tahun 2015 yang menghilangkan wajib berbahasa Indonesia bagi pekerja tenaga asing di Indonesia.
Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Hanif Dakhiri menegaskan penghapusan syarat bisa berbahasa bagi tenaga kerja asing (TKA) agar investasi lancar masuk ke Indonesia. Oleh karena itu, penghapusan syarat kemampuan berbahasa bagi tenaga kerja asing menjadi salah satu deregulasi aturan yang dikeluarkan.
Menyedihkan dan memprihatikan karena Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di negara tujuan diwajibkan mampu berbahasa negara tujuan. Satu ketidakadilan pemerintah terhadap bangsa sendiri.
Harga diri bangsa Indonesia hilang karena kebijakan pemerintah menghapus syarat kemampuan Bahasa Indonesia yang baik bagi TKA yang bekerja di Indonesia. Hal ini sehubungan adanya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 16 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penggunaan TKA yang menggantikan Permenakertrans Nomor 12 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penggunaan TKA. Dengan berlakunya Permenaker Nomor 16 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penggunaan TKA kini tenaga kerja asing dapat bekerja di Indonesia tanpa harus memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang baik.
Bahasa Menunjukkan Bangsa
Berdasarkan data dari Menteri Tenaga Kerja Indonesia jumlah tenaga kerja asing bekerja di Indonesia terus bertambah dari tahun ke tahun. Tahun 2015 diperkirakan sekitar 70.000 orang, sedangkan tahun 2014 jumlahnya 68.857 orang dan tahun 2013 jumlahnya 72.000 orang dengan komposisi dari China sebanyak 13.034 orang tahun 2015. Disusul Jepang 10.128 orang, Korea Selatan 5.384 orang dan India sebanyak 3.462 orang. Selebihnya dari Malaysia, Amerika, Thailand, Filipina, Australia, Inggris serta lainnya.
Kebijakan pemerintah yang tidak bijak sebab kecintaan kepada bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa pudar dan berarti budaya luhur bangsa luntur. Memprihatinkan, disaat bangsa lain menginternalisasi berbahasa ibunya bagi setiap warga negaranya tetapi bangsa Indonesia sebaliknya. Harkat dan martabat bangsa ada pada bahasa satu suku dan bangsa.
Bila pelajar setingkat sekolah dasar di Australia diwajibkan pelajaran bahasa Indonesia mengapa di Indonesia sebaliknya. Tenaga kerja asing yang datang ke Indonesia tidak diwajibkan bisa berbahasa Indonesia. Bila bangsa Indonesia sendiri sudah tidak menghargai budaya luhur bangsa sendiri sudah pasti orang lain akan merendahkan bangsa Indonesia.
Padahal Bahasa Indonesia bukan bahasa rendahan, bahasa Indonesia telah diakui Unesco. Menurut Unesco, Bahasa Indonesia tergolong sebagai bahasa modern karena memiliki nilai elaboratif yang mampu membahas hal-hal yang sifatnya abstrak. Buktinya para tokoh intelektual yang berasal dari luar negeri belajar berbahasa Indonesia yang baik secara intensif.
Ternyata Bahasa Indonesia memiliki nilai-nilai intelektual dan memiliki kemampuan mengaplikasikan ilmu pengetahuan serta mampu menggambarkan kondisi masyarakat Indonesia. Berdasarkan hal ini maka alasan diterbitkannya Permenaker Nomor 16 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penggunaan TKA menggantikan Permenakertrans Nomor 12 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penggunaan TKA dengan membolehkan tenaga kerja asing tidak perlu berbahasa Indonesia yang baik bekerja di Indonesia sangat tidak tepat.
Fakta yang ada kini para eksekutif, legislatif, maupun yudikatif dalam berbahasa Indonesia belum sepenuhnya benar. Masih saja dijumpai berbahasa Indonesia yang kurang tepat, dalam berbagai pernyataan resmi maupun informal belum mempergunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Pada hal berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2010 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Pidato Resmi Presiden dan/atau Wakil Presiden serta Pejabat Negara lainnya mengharuskan menggunakan Bahasa Indonesia baik di dalam atau di luar negeri.
Hasil penelitian Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa soal sikap positif masyarakat terhadap Bahasa Indonesia ternyata sangat memprihatinkan. Penelitian di kalangan anak-anak muda atau generasi muda, indeks sikap positif terhadap Bahasa Indonesia hanya 1,4 dari skala 5. Ini mestinya menjadi sinyal penting bagi pemerintah bahwa eksistensi Bahasa Indonesia sedang terancam digerus bahasa asing.
Persoalannya semakin berat ketika adanya Permenaker Nomor 16 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penggunaan TKA digantikan dengan Permenakertrans Nomor 12 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penggunaan TKA. Hal ini seharusnya tidak terjadi agar bahasa Indonesia semakin baik dan mendunia. ***
Penulis alumni IAIN Sumatera Utara, tenaga pendidik untuk guru Bahasa Indonesia dan agama.