Oksigen dan Otak

Oleh: Hidayat Banjar.

Suatu hari, kepala bagian bela­kang bawah (di atas le­her) saya ber­denyut-denyut dan menimbulkan ke­tidak­­nya­manan (pusing). Ketika saya ceritakan, kawan-kawan menduga te­kanan darah saya mungkin meninggi. Saya tak percaya karena belum lama ber­selang memeriksa tekanan darah. Alat pemeriksa tekan­an darah me­nun­jukkan angka 120 per 80. Ini kondisi normal buat saya yang telah ber­usia 53 tahun.

Saya menduga, denyut ter­sebut karena berpikir keras dan perlu rileks. Untuk itu saya pergi ke sebuah kampus swasta yang memiliki rim­bun pepe­ho­nan berdaun lebat, disebut hutan kam­p­us. Di hutan kampus itu, saya me­na­rik napas dalam-dalam, me­nahannya dan mengon­sen­trasikan diri agar og­sigen yang masuk dari hidung ber­mua­ra ke otak. Berkali-kali saya lakukan hal itu, perla­han-lahan denyut di ke­pala saya berkurang dan akhirnya hilang.

Peristiwa seperti ini ada be­berapa kali terjadi terhadap diri saya. Lalu saya tanyakan kepada teman yang se­orang dokter, apa hubungan ogsi­gen dengan otak. Secara sing­kat, sang teman menjelaskan, berat otak hanya 2 persen dari keseluruhan tubuh. Na­mun, energi yang diperlukan otak un­tuk bekerja sebesar 20 per­sen dari ener­gi yang dihasil­kan tubuh. Oleh ka­rena itu, pasokan energi ke otak harus diperhatikan dengan baik.

“Itu artinya otak memer­lu­kan oksi­gen yang cukup?” tanya saya.

“Oksigen yang kita hirup, tidak ha­nya untuk paru-paru, juga otak,” tegas sa­ng teman.

Hipoksia

Untuk memuaskan rasa ingin tahu, saya pun memba­ca buku-buku tentang otak, juga membuka internet. Di­se­but­kan, hipoksia serebral adalah kon­disi di mana otak mengalami keku­rangan ok­si­gen. Sejumlah kondisi dapat me­nye­babkan hipoksia, ter­ma­suk stroke, keracunan kar­bon monoksida, dis­fung­si jan­tung, dan lainnya.

Dibandingkan jenis lain, sel-sel otak sangat sensitif ter­hadap hipoksia, dan mere­ka dengan cepat mulai mati ketika kekurangan oksigen. Hipoksia serebral dapat me­ru­sak fungsi otak, sel-sel otak rusak dan menyebabkan ke­­matian.

Ketika oksigen sangat ter­batas atau kurang untuk jang­ka waktu yang lama, tubuh akan mati dan menjadi koma. Jika suplai oksigen kembali, pingsan da­pat pulih, tapi ke­rusakan otak per­manen ke­mungkinan telah terjadi.

Menurut The National Institute of Neurological Gang­­guan dan Stroke, pe­rubahan kognitif dan perilaku juga da­pat terjadi setelah keru­sak­an otak yang berhubungan dengan hipoksia. Perubahan tersebut dapat mencakup pe­nurunan perhatian, penilaian buruk dan kehilangan memo­ri.

Salah satu gejala yang sering dike­nal dengan hipok­sia serebral adalah hilangnya keterampilan motorik atau ko­ordinasi yang tepat. Cere­bellum ber­tanggung jawab untuk banyak gerakan terko­rdinasi dan keseimbangan.

Ketika otak tidak meneri­ma cukup oksigen, denyut jan­tung akan me­ning­kat da­lam upaya untuk memberi­kan lebih banyak oksigen. Jika hipoksia cu­kup parah, jantung tidak akan dapat me­menuhi permintaan dan pada ak­hirnya akan gagal, menye­babkan se­rangan jantung.

Tiba-tiba drop

Kadar oksigen otak ka­dang-kadang bisa tiba-tiba drop, sehingga proses tubuh yang tidak penting ditutup, yang memungkinkan fungsi vital otak untuk melanjutkan. Pingsan adalah hasilnya. Ge­jala seperti pusing (seperti yang saya alami), mual dan rasa hangat bisa mendahului pingsan.

Kekurangan oksigen di otak atau yang biasa disebut hipoksia dapat ber­ujung ke­matian. Peneliti Universitas Indonesia (UI) membukti­kan, protein neuroglobin dan sitoglobin ber­pe­ran menjaga kerusakan otak akibat ren­dahnya oksigen.

“Dua protein ini akan ber­usaha ber­adaptasi dengan ke­kurangan oksigen tersebut. Namun, adaptasi ini ada ba­tasnya. Tentunya banyak fak­tor yang memengaruhi. Tapi, yang saya lihat di sini baru perbedaan pola ekspresinya,” ucap Ninik Mudjihartini kepada media belum lama ini usai sidang peng­ukuhan diri­nya sebagai doktor dalam bi­dang Ilmu Biomedik di Fa­kultas Kedokteran (FK) UI Jakarta.

Otak adalah organ paling rawan ter­hadap keadaan hi­poksia. Rendahnya keterse­diaan oksigen akan meme­nga­ruhi aktivitas metabolis jaringan saraf. Hipoksia ada­lah suatu keadaan ketika pa­­sokan oksigen tidak mencu­kupi ke­perluan sel, jaringan, atau organ. Pada keadaan hi­poksia, semua aerob -orga­nis­­me yang melakukan meta­bolisme de­ngan bantuan oksi­gen- mengem­bangkan berbagai mekanisme untuk mengindra dan memberikan respons adaptasi.

Ini agar sel dapat meperta­hankan ke­langsungan hidup­nya. Hipoksia ber­peran pen­ting pada patofisiologi ber­ba­gai penyakit seperti stroke, kanker, paru kronik, cacat tubuh, bahkan ke­matian.

Energi besar

Ninik melihat, keadaan hi­poksia pada masyarakat akan menimbulkan dampak cukup serius, bahkan hingga kematian. Otak adalah organ tubuh yang menggunakan energi paling besar diban­ding­kan organ tubuh yang lain.

Penyebab umun hipoksia serebral (Penurunan Kadar Oksigen)

Infeksi paru-paru yang me­nye­bab­kan pneumonia kadang-kadang dapat menye­babkan kekurangan oksigen ke paru-paru dan otak.

Pendarahan pada otak yang tidak mendapat pera­wat­an yang tepat waktu dapat menyebabkan pembentukan gum­palan darah. Hal ini bisa mempe­nga­ruhi pasokan da­rah ke otak, yang akan mem­batasi pasokan oksigen ke otak.

Pasokan oksigen ke otak dapat ber­henti karena se­rangan jantung.

Hipoksia iskemik terjadi ketika otak tidak mendapat­kan oksigen dalam jumlah yang cukup. Ini bisa terjadi karena serangan stroke.

Pertumbuhan tumor di otak dapat menghambat alir­an darah dan oksigen.

Tekanan darah yang sangat rendah juga menjadi faktor penunjang keku­rangan oksi­gen pada otak. Kadar glu­kosa darah yang sangat rendah ju­ga mampu menyebabkan ke­matian otak.

Disarankan, agar asupan oksigen ke otak terus terpe­nuhi di mana pun kita be­rada – terkecuali karena gangguan pe­nyakit di atas – tanamlah pohon yang berdaun lebat di pekarangan ru­mah masing-masing. Kepada pe­me­rintah, disarankan tak bosan-bosan­nya memenuhi taman kota dengan pe­pehonan rimbun berdaun lebat. Pe­po­honan berdaun lebat tersebut akan me­menuhi kebutuhan oksi­gen kita. Se­moga.

(Penulis pemerhati ling­kungan dan kesehatan)

()

Baca Juga

Rekomendasi