Menuliskan kata-kata nasehat atau kata-kata mutiara dalam sebuah buku mungkin sudah biasa dan sudah banyak penulis yang menerbitkannya dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Bagaimana kalau kata-kata nasehat, atau pesan moral yang dirangkum dalam sebuah ‘sarito’ (cerita) dan intermeso (humor segar) ditulis dalam bahasa daerah (bahasa Batak) ?
Buku Rabar (Sarito na Marimpola dohot Intermeso Sambing) yang ditulis St. Albiner Siagian menjadi jawabannya. Hadirnya buku ini menjadi luar biasa karena ditengah situasi dan kondisi masyarakat kita yang kaya akan seni dan budaya sudah mulai melupakan nasehat atau pesan moral yang terselip dalam cerita-cerita bahasa Batak dan intermeso yang didalamnya juga terselip kata-kata nasehat yang bisa membimbing kita menjadi pribadi berkualitas, mau menghargai sesama, menghargai pendapat orang lain dan taat dalam menjalankan perintah agamanya masing-masing.
Lahirnya buku berbahasa Batak ini menjadi salah satu terobosan yang diprakarsai Albiner Siagian dalam membangkitkan kembali semangat suku Batak untuk melestarikan bahasa Batak sampai ke anak cucu. Jangankan melestarikan, beberapa dari kita saat ini sudah jarang menggunakan bahasa Batak dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, di kampung yang sejak awal bahasa pengantarnya bahasa Batak sudah mulai berubah dan bercampur dengan bahasa Indonesia.
Ungkapan yang mengatakan “bahasa sebagai produk budaya adalah identitas bangsa” harus kita pedomani sebagai titik tolak merawat kebudayaan yang ada, kalau bahasa Batak sudah punah dan tak ada lagi yang mau melestarikannya, maka hilanglah identitas bangsa yang dalam hal ini Bangso Batak.
Ulasan tentang buku ini seharusnya ditulis dalam bahasa Batak juga, tapi kalau dituliskan secara umum dan menjadi konsumsi semua kalangan, mungkin hanya sebagian orang yang mengerti dengan ulasan ini. Intinya adalah buku Rabar yang dituliskan Albiner Siagian menjadi satu bukti bahwa masih ada putra Batak yang mau menuliskan cerita-cerita singkat dalam bahasa Batak dan intermeso semata yang didalamnya sarat dengan pesan moral.
Cerita-cerita yang dituliskan dalam bahasa Batak ini pada awalnya hanya menghiasi dinding media sosial Facebook (Pesbuk). Tapi, karena sudah sangat banyak dan beberapa pengikut serta pembaca menyarankan agar segera dibukukan. Albiner Siagian merasa ada benarnya juga kalau cerita dan intermeso itu dibukukan.
Pemilihan kata Rabar dalam buku ini, menurut Albiner diambil dari salah satu jenis makanan suku Batak yang diramu dari buah nangka muda (sera-sera atau jenggo) yang menempel di pohon, batang dan ranting diramu dengan daun papaya lalu ditumbuk dengan cabai merah serta sedikit garam. Setelah diramu menjadi satu, makanan ini dinamai rabar dan memakan rabar dengan ramai-ramai dinamakan mangarabar.
Generasi yang lahir tahun 60-an dan 70-an mungkin masih sangat kental dalam ingatan dengan istilah ‘mangarabar’ ini, terutama yang lahir dan besar di kampung dan setelah kuliah baru pindah ke kota. Cerita tentang mangarabar ini juga dituliskan Albiner Siagian secara detail, dimana pada saat lapar sekali pun makan rabar ini tidak serta merta membuat kita jadi sakit perut. Itulah kehebatan leluhur kita dulu menyatukan ‘jengga’ yang rasanya sepat (sapot) dengan daun papaya yang pahit, dipadupadankan dengan rasa asin dan pedas. Rasanya sangat enak, kalau kurang pedas tinggal tambahkan cabai.
Cukilan beberapa cerita dari buku Rabar yang sampai hari ini masih memiliki pesan moral yang relevan dengan situasi sekarang adalah cerita tentang “Songon Daion Lasiak” (seperti merasakan rasa pedasnya cabai). Dimana, cerita ini mengisahkan bahwa hari-hari belakangan ini sangat banyak manusia yang mengharapkan sesuatu dengan cara instant. Dikerjakan pagi, langsung dapat hasil siang atau sore harinya.
Baru sekali saja mengikuti seminar motivasi, banyak orang langsung beranggapan bisa langsung berubah dengan instant. Padahal kita semua tahu, untuk mencapai garis finish atau garis start dan proses untuk mencapai garis finish tadi. Bisa saja, untuk mencapai garis finish kita harus jatuh, tersandung atau kelelahan. Jangan seperti mencicipi rasa cabai yang langsung terasa pedasnya. Beda dengan perjuangan dan proses perubahan sikap kita dalam menangkap tantangan menjadi peluang.
Sama halnya dengan cerita “Unang Gorso” tentang kerja sama yang dilakukan antara besan berbesan yang tinggal berdekatan. Suatu ketika, isteri si A dan suami si B bersepakat untuk menangkap babi hutan yang sering mengganggu ladang mereka. Saat babi hutannya tertangkap dan proses pembagian terasa tidak adil, sang isteri bengong dan saat tertidur isterinya mengigau.
Igauannya membuat sang suami yang tiba-tiba pulang dari perantauan untuk segera menghajar iparnya. Apa nyana, ia dihalangi warga dan tidak jadi membunuh. Sikap sang suami yang langsung menyerang kerabatnya itu adalah gambaran dari kehidupan sekarang. Seringkali kita langsung marah tanpa pernah mau tahu apa alasan dan apa sebab akibatnya. Sikap manusia sekarang terlalu mudah memvonis seseorang bersalah, memvonis seseorang melakukan hal-hal yang membuat orang lain marah.
Buku ini menjadi salah satu terobosan dalam melestarikan seni dan budaya Batak, sebelumnya Patar M Pasaribu juga menuliskan sebuah buku dalam bahasa Batak yang dipadukan dengan bahasa Indonesia bercerita tentang Pansurnapitu. Buku ini juga sangat sarat dengan pesan moral.
Dengan terbitnya buku Rabar yang memuat ‘poda dohot sipaingot’ (nasehat dan motivasi) dalam sarito dan intermeso diharapkan dapat menambah wawasan dan memberikan pencerahan betapa pentingnya melestarikan budaya sendiri (bahasa Batak) sebagai identitas bangsa yang dikenal sampai ke seantero dunia.
“Napuran tano tano ma ranging marsiranggongan, tung pe dagingta padaodao, tondinta ma marsigonggoman.” (Walapun jarak antara kita berjauhan, tapi kita tetap saling mendoakan dan saling mengasihi).
Peresensi: James P Pardede