Oleh: Dr. Muhammad Iqbal, M.Ag.
KATA “mungkar” adalah konsep asli dari Al-Qur’an. Dalam bahasa Arab, dasar kata ini terdiri atas huruf-huruf nun, kaf dan ra (nakara). Kata mungkar merupakan bentuk isim maf`ûl (kata benda yang menunjukkan objek). Kata ini sebenarnya ditransliterasikan ke dalam huruf Latin menjadi munkar, namun setelah mengalami adaptasi ke dalam bahasa Indonesia kata ini ditulis dengan menambahkan huruf g (ge) setelah huruf n (en). Penulisannya di dalam bahasa Indonesia pun menjadi “mungkar”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata mungkar berarti durhaka (melanggar perintah Tuhan). Selain kata mungkar ini terdapat juga kata ingkar (inkâr) yang berarti melanggar, mengabaikan, durhaka, membangkang, membelot.
Dari sisi asal-usulnya, kata nakara yang akhirnya membentuk kata mungkar berarti sesuatu yang tidak dikenal. Kata ini biasanya dipertentangkan dengan kata ma`rûf, yang berarti sesuatu yang dikenal. Dalam perkembangannya kata mungkar ini berarti “kedurhakaan” atau pelanggaran terhadap perintah Tuhan. Ar-Raghib al-Asfahani, dalam kitabnya Mufradât Alfâzh al-Qur’ân, mengatakan bahwa al-munkar adalah setiap perbuatan yang menurut akal sehat tercela dan oleh syari`at pun dipandang tercela. Sejalan dengan Ashafani, Muhammad Quraish Shihab menyatakan bahwa mungkar berarti sesuatu yang dinilai buruk oleh masyarakat dan bertentangan dengan nilai-nilai Ilahiyah. Sebaliknya, kata ma`rûf disederhanakan menjadi suatu kebaikan. Ma`rûf adalah kearifan lokal yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama (Ilahiyah).
Dari perkembangan asal-usul arti kata ini, dapat dipahami bahwa mungkar atau kemungkaran yang kemudian diartikan sebagai kejahatan adalah karena pada asalnya kemungkaran ini tidak dikenal atau ditolak oleh jiwa manusia yang fitrah. Akal manusia yang sehat tidak dapat menerimanya. Hati nurani manusia yang berasal dari cahaya Allah sebenarnya tidak mengenal kejahatan, dan karenanya menolak segala bentuknya.
Di sinilah perbedaan pandangan Islam dengan pemikiran Barat tentang manusia. Konsep fitrah dalam Al-Qur’an jelas berbeda dengan konsep tabula rasa dalam pandangan Barat. Dalam Islam, manusia bersifat fitrah, yaitu memiliki kecenderungan untuk mencintai kebaikan, kejujuran, kearifan dan kesucian. Manusia adalah makhluk yang berketuhanan dan memiliki potensi untuk bertauhid sejak zaman azalinya di rahim ibunya. Sementara dalam konsep tabula rasa, manusia dipandang sebagai blank laksana kertas putih. Lingkungannyalah yang membentuk manusia menjadi baik atau buruk. Dengan kata lain, Islam memandang bahwa pada hakikatnya manusia itu suci dan memiliki kecenderungan pada kesucian, sementara dalam pandangan Barat sekuler manusia bersifat netral.
Ada contoh yang menarik tentang kecenderungan hati manusia pada kebaikan dan kesucian. Kita pasti akan merasa senang dan gemas melihat bayi. Bahkan, betapa pun sadisnya seorang penjahat yang merasa ringan melakukan berbagai kejahatan seperti mencuri, merampok dan membunuh, ketika melihat bayi lemah tak berdaya, hatinya akan tersentuh juga. Timbul rasa kasihan dalam dirinya terhadap bayi itu.
Mengapa bisa demikian? Karena manusia adalah makhluk yang suci dan bayi adalah lambang kesucian. Kita akan merasa senang dan bahagia berada dekat dengan kesucian. Si penjahat tadi pada saat itu dapat memenuhi panggilan fitrahnya yang suci. Ketika kita melakukan suatu dosa, saat itu hati kecil kita memberontak, karena ia dipaksa untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kesuciannya. Suara-suara kebenaran dari batinnya yang terdalam melakukan protes terhadap dosa yang kita lakukan. Inilah fitrah.
Hanya saja, fitrah tersebut kadang-kadang tertutup oleh kotoran-kotoran kemungkaran yang dipaksakan untuk kita “perkenalkan” pada jiwa. Akibatnya terjadilah konflik batin di dalam diri kita. Hati nurani ingin memelihara kesuciannya, sebaliknya pengaruh nafsu dan materi ingin menjerumuskan nati nurani ke dalam lembah nista. Terjadilah pertarungan yang terus menerus dalam diri kita antara hati nurani yang suci dengan nafsu dan materi yang ingin memanjakan alam materi dan fisikal diri kita.
Dalam pertarungan ini, kalau hati nurani dan alam rohani berhasil mengalahkan kemungkaran, selamatlah manusia itu. Sebaliknya, kalau ternyata nafsu dan alam jasmani yang lebih mengedepan di dalam diri manusia, maka celakalah dia. Terjatuhlah manusia tersebut kepada derajat binatang yang hina. Bagaikan cermin, nurani yang terang tadi sedikit demi sedikit tertutupi oleh debu-debu dosa dan kemungkaran. Lama kelamaan, cahaya terang nurani itu redup, sulit melihat kebaikan. Akhirnya, nurani tadi pun padam dan tidak mampu menerima bisikan-bisikan kebaikan. Ketika manusia sudah sampai ke titik terendah derajat kemanusiaannya yang sesungguhnya memiliki sifat-sifat Ilahiyah, maka jadilah ia laksana binatang ternak, bahkan lebih hina lagi. Dalam surat al-A`râf ayat 179 Allah menggambarkan bahwa manusia demikian, yang memiliki hati, mata dan telinga, namun tidak mampu memahami, melihat dan mendengar tanda-tanda kekuasaan Allah, akan dikumpulkan bersama jin yang kafir di dalam neraka Jahannam.
Oleh karena itu, dalam momentum Ramadan ini, mari kita pertajam mata batin kita dan kita tepis segala bentuk kemungkaran di dalam diri pribadi, lingkungan maupun masyarakat kita, agar kita mampu mempertahankan kesucian batin. Puasa adalah sarana yang sangat efektif untuk itu. Semoga.