Oleh: Dewanty Ajeng Wiradita. Tujuan utama dari sebuah karya arsitektur adalah membuat nyaman penggunanya. Oleh sebab itu, perancang suatu bangunan perlu memerhatikan aspek psikologi kearsitekturan.
Bagi para akademisi, Psikologi Kearsitekturan lebih dipahami sebagai studi terhadap bangunan dan pengaruhnya terhadap perilaku manusia yang ada di dalamnya atau kajian khusus yang berorientasi pada kondisi psikologis sekelompok pengguna bangunan dengan karakteristik sejenis.
Seperti yang diungkapkan akademisi sekaligus pengamat arsitektur Kota Medan, Saufa Yardha, ST, MT, karya arsitektur yang baik adalah yang tidak hanya mampu menghasilkan bangunan bagus secara fisik. melainkan membuat nyaman pengguna secara psikologis. “Hal ini harus diterapkan, baik pada karya arsitektur tingkat bangunan pribadi, maupun perkotaan,” ujarnya belum lama ini.
Bicara kenyamanan, maka berarti kita bicara jarak yang ada antara satu individu dengan lainnya serta aktivitas yang terlibat pada jarak tersebut. Jarak ini dalam Ilmu Psikologi dinamakan teritorialitas atau jarak sosial. Setiap orang punya jarak tertentu yang membuatnya merasa nyaman atau tidak berinteraksi dengan orang lain.
Penerapan Psikologi Arsitektur dalam kehidupan sehari-hari bisa dilihat dari segi desain meja kerja bahkan hingga fasilitas publik. Terkhusus, konsep arsitektur yang diaplikasikan pada ruangan kantor, restoran, fasilitas publik bagi anak-anak, kaum lanjut usia (lansia), dan kaum difabel memang menjadi hal yang menarik.
Hal sederhana misalnya tentang desain ruang kerja, maka aspek psikologi arsitektur dikaitkan dengan seberapa nyaman dan produktif pekerja di dalamnya. Salah satu pengaturan itu ada dalam sebuah penelitian tentang industri rokok di kawasan Provinsi Jawa Timur.
Awalnya, para pekerja pelinting rokok di sana bekerja di sebuah meja yang relatif luas dengan daya tampung sekitar 12 orang. Mereka, bersama rekan sesama pelinting, menjalankan pekerjaan sembari berbicara dan bersenda gurau. Melihat kondisi ini, sang pengawas merasa produktivitas para pekerja menjadi buruk.Untuk meningkatkan produktivitas itu, mejapun diatur dengan sistem bersekat-sekat sehingga tidak memungkinkan untuk bertegur sapa secara intens selama bekerja. Desain meja kerja juga ditukar menjadi bersekat-sekat.
Namun, bukannya malah meningkat, faktanya, kinerja pekerja cenderung menurun. Hal ini ditengarai disebabkan para pekerja merasa jenuh bekerja di area semacam itu. Hal inilah, yang menurut Saufa harusnya bisa disesuaikan. Sebaiknya, desain meja kerja disesuaikan dengan kebutuhan kerja dan kriteria pekerja.
Model Cubicle
Untuk jenis pekerjaan yang menuntut konsentrasi tinggi, terkait penataan dokumen misalnya, sebagaimana lazimnya terdapat di kantor-kantor, sebaiknya menggunakan sekat model cubicle (meja yang terbagi menjadi beberapa segmen oleh sekat). Hal ini bertujuan mengurangi interkoneksi antar pekerja agar konsentrasinya tidak terganggu.
Meja Terbuka
Sebaliknya, berseberangan dengan contoh pekerja industri rokok yang tadi dibahas, maka jenis pekerjaan lainnya juga butuh desain yang berbeda. Untuk jenis pekerjaan yang bersifat cenderung statis, tidak membutuhkan konsentrasi tinggi dan kinerja manual (manusia, bukannya mesin), serta penyelesaian dalam jangka waktu yang relatif lama seperti pelinting rokok, ada baiknya mereka dipekerjakan pada desain meja yang terbuka, dan memungkinkan tatap muka satu sama lain. Hal ini diprediksi bisa membuat kinerja pekerja lebih baik.
Warna
Selain bentuk, warna juga turut memengaruhi. Untuk jenis pekerjaan yang berorientasi pada kreativitas, ada baiknya meja diberi warna cerah. Sedangkan pekerjaan yang menuntut konsentrasi tinggi dan cenderung statis, tidak ada salahnya menggunakan warna kalem dan senada.
Berikutnya, desain restoran. Ini masih terkait jarak antar tamu pengunjung. Untuk segmen pengunjung yang datang dengan berpasangan, biasanya cocok disajikan meja yang relatif kecil dengan kursi yang ukurannya relatif fit sebagaimana ukuran tubuh 1 orang dewasa pada umumnya. Untuk jarak, antarpengunjung, diatur agar tidak terlalu dekat agar tetap bisa menjaga privasi. Sedangkan untuk segmen keluarga, cenderung sesuai dengan meja lebar untuk berkumpul individu yang lebih banyak.
Fasilitas Publik Bagi Anak, Lansia, dan Kaum Difabel
Penggunaan pendekatan Psikologi Kearsitekturan juga disarankan untuk fasilitas publik bagi anak, kaum lansia (lanjut usia), dan difabel. Penggunaan warna bagi fasilitas anak, cenderung menggunakan warna ceria, benda-benda seperti pintu dan jendela dengan pinggiran yang tidak tajam. Demikian dengan lansia. Sebaiknya dibuat jalan setapak khusus dan jarak antarruang ridak berjauhan menghindari kelelahan.
Sedangkan untuk kaum difabel, disiapkan pola tertentu untuk masing-masing area dan tidak banyak belokan. Selengkapnya, disesuaikan dengan disabilitas masing-masing, apakah mereka tuna netra, tuna rungu, ataupun tuna grahita.
Untuk Kota Medan, Saufa melihat penerapan konsep ini ada di Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara (berupa parkir khusus pengunjung dengan kursi roda) dan area setapak miring di Taman Sri Deli Medan.
Minimalisir Biaya
Manfaat lain dari penerapan Psikologi Kearsitekturan adalah minimnya biaya pemeliharaan. Hal ini terlihat dari contoh yang Saufa sebutkan, yakni penggunaan kloset. Dengan menerapkan konsep kloset duduk, sementara kebanyakan pengguna tidak menggunakannya dengan sesuai, maka akan banyak efek kerusakan perlahan yang akan ‘memakan’ tenaga dan dana untuk pemeliharaan.
Selain itu, secara luas, jika suatu gedung tidak dirasa bermanfaat bagi penggunanya, lama-kelamaan bisa ditinggalkan bahkan dihancurkan, contohnya Pruitt-Igoe Housing Project di tengah Kota St. Louis di Negara Bagian Missouri, Amerika Serikat. Selain disinyalir gagal memenuhi fungsi sebagai bangunan perumahan, bangunan ini juga dianggap berbahaya, terkait kesalahan konsep desain pada selasar-selasar dalam blok apartemen tersebut.