Banda Aceh, (Analisa). Sejumlah satwa liar yang dilindungi di Sumatera seperti gajah dan harimau Sumatera, kini semakin terancam kepunahan. Selain akibat perburuan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab, juga akibat penyakit yang menyerang.
Menurut Direktur Konservasi WWF-Indonesia Arnold Sitompul, satwa-satwa terancam punah di Indonesia seperti harimau Sumatera saat ini terancam dengan penyakit dari canine distemper virus, gajah terancam dengan virus herpes, sementara badak Jawa juga terancam hidupnya oleh parasit darah.
“Manusia juga mengalami ancaman dari kemungkinan terjadinya spillover penyakit dari satwa liar seperti flu burung dan beberapa penyakit lainnya,” kata Arnold pada International Wildlife Symposium (IWS) di Unysiah, Banda Aceh, Senin (23/10).
Dalam simposium internasional tentang konservasi satwa liar dan penyakit ini, diikuti para ahli, praktisi dan akademisi terkait satwa liar dari berbagai negara. Simposium ini diselenggarakan untuk keempat kalinya di Sumatera.
Simposium satwa liar internasional ini diselenggarakan dengan kerja sama Fakultas Kedokteran Hewan Unsyiah, WWF Indonesia dan Badan Pangan Dunia (FAO), berlangsung hingga 25 Oktober 2017 dengan diikuti 120 peserta dari berbagai latar belakang ilmu terkait konservasi, satwa liar dan kesehatan.
Arnold mengatakan, upaya konservasi satwa selama ini hanya berfokus pada penyelamatan habitat dan perlindungan dari perburuan. Namun tidak banyak yang menyadari penyakit bisa berkontribusi pada kepunahan satwa itu sendiri.
Dijelaskan, tema “One Health” ini diangkat untuk mengingatkan bahwa konservasi satwa dan habitatnya dapat menjamin kestabilan ekosistem dan meningkatkan daya tahan terhadap penyakit dari satwa liar serta meningkatkan kesehatan ekosistem serta kesejahteraan manusia.
“Hutan yang sehat, termasuk satwa yang lestari, merupakan benteng pelindung untuk menjaga kesehatan dan kesejahteraan manusia,” ujar Arnold.
Dia menambahkan, WWF Indonesia memberikan perhatian pada konservasi satwa liar tidak hanya dengan mendorong penyelamatan habitat, perlindungan spesies melalui pencegahan perburuan dan perdagangan ilegal, penanganan konflik antara manusia dan satwa, dan yang terakhir mulai monitor terkait isu kesehatan satwa melalui penelitian ilmiah.
“Dengan fokus ketiga isu ini maka WWF melakukan program konservasi secara terintegrasi dengan konsep one health yang mencakup kesehatan ekosistem, kesehatan satwa liar yang pada akhirnya memberi manfaat untuk kesejahteraan manusia,” kata Arnold Sitompul.
Menurutnya, konsep one health yang didukung FAO/OIE (organisasi kesehatan hewan dunia) sangat tepat dikembangkan dan dibutuhkan di Indonesia saat ini.
Pasalnya, Indonesia merupakan daerah potensial dalam penyebaran jenis penyakit infeksi baru dan penyebarannya tidak terlepas dari dampak dampak kebiasaan dan perilaku manusia yang berinteraksi dengan hewan.
“Interaksi pun menjadi medium penularan. Dengan konsep One Health isu kesehatan ekosistem, kesehatan satwa dan kesehatan manusia sama pentingnya,” jelasnya.
Sangat penting
Rektor Unsyiah, Prof Dr Samsul Rizal MEng mengatakan, simposium ini sangat penting bagi Unsyiah karena dapat mendorong peningkatan peran universitas serta kapasitas pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang kedokteran hewan. “Terlebih kita memiliki Fakultas Kedokteran Hewan yang tertua di Pulau Sumatera,” ujarnya.
Menurut rektor, konsep one health ini perlu diluaskan. Jadi tidak hanya berfokus pada penularan penyakit dari satwa ke manusia tapi juga ke faktor pendukungnya, yaitu ekosistem yang relatif baik dan hutan yang utuh untuk mendukung pengembangan program-program pembangunan menuju masyarakat yang sehat dan sejahtera.
Communication Officer WWF Aceh Chik Rini mengatakan, simposium ini dihadiri sekitar 120 presenter terdiri atas para ahli ekologi, praktisi konservasi, peneliti, pengajar, mahasiswa, pengelola kawasan konservasi dan satwa, serta pengambil kebijakan.
Ada enam pemakalah kunci yaitu Christopher Stremme dari Unsyiah, Dr Barney Long (Director of Species Conservation, Global Wildlife Conservation) dari Amerika Serikat, Khalid Pasha (WWF Tigers Alive), Dr Peter Black (Deputy Regional Manager, Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases- ECTAD, FAO RAP) dari Thailand, Dr Fakhruddin Mangunjaya serta Guru Besar Biologi UI yang juga Pakar Konservasi ternama Prof Dr Jatna Supriatna.
Dikatakan, acara inti dari rangkaian acara simposium adalah sesi presentasi langsung secara paralel dan poster menampilkan empat sub-tema terkait one-health yaitu Wildlife Ecology, Health and Medicine, Conservation Innovation, dan Social Economy.
Simposium juga menawarkan empat sesi workshop yaitu “Human-Wildlife Conflict”akan difasilitasi oleh Ahimsa Campos Arceiz, profesor dan ahli satwaliar dari University Nottingham Malaysia Campus; “Conservation Tookit: It’s All Started from You” yang akan difasilitasi oleh konservasionis muda dari SCB-Indonesia.
Kemudian, “Bird Handling” oleh Dr Wilson Novarino, ornitolog dan pengajar serta peneliti senior dari Universitas Andalas dan workshop “One Health” yang diselenggarakan oleh FAO - Indonesia dan Kementerian Pertanian dan organisasi non teritorial persatuan dokter hewan Indonesia (ASLIQEWAN). (irn)