Barongsai Pembauran dari Kota Binjai

Oleh: J Anto. LEBIH tigapuluh tahun masyarakat Tionghoa Indonesia mengalami kekerasan budaya. Ruang ekspresi untuk menarikan barongsai dan liong (naga) dipersempit pascaperistiwa kekerasan 1965. Baru setelah orde baru tumbang, para penari barongsai dan naga keluar dari sarang mereka. Ruang ekspresi pun semakin terbuka. Tarian barongsai tampil di beragam momen. Para pemain dan yang menonton pun datang  dari lintas suku dan agama.

Sepuluh pasang pilar besi yang dicat merah dan hijau setinggi 2,5 meter ditata memanjang. Jarak antara pilar ada yang 2 meter, ada yang  3 meter. Di setiap ujung pilar terdapat lempengan besi bulat dengan diameter 30 cm. Sepasang kaki Kevin (17) dan Sonny (16) sigap melompat lincah dari satu pilar ke pilar lain.

Saat berdiri di atas sebuah pilar, Sonny yang bertubuh ceking mencondongkan badan dan kedua kakinya ke depan. Kedua tangannya terentang ke depan dengan jari-jari seperti hendak mencengkeram. Kepalanya celingukan meniru  seperti gerakan monyet. Sementara di belakang Kevin, dengan kedua tangannya, Sonny menahan tubuh Kevin agar tetap bisa miring. Tangan Sonny memegang  pinggang Kevin yang diikat erat selendang hijau muda. Kepala dan badan Sonny menunduk, membentuk ekor barongsai. 

Beberapa detik kemudian, kedua tangan Sonny mengangkat tinggi tubuh Kevin. Sementara tangan Kevin bergerak-gerak ke atas seperti seekor monyet sedang mencakar-cakar sesuatu. Saat tubuh Kevin melompat turun ke karpet busa di bawah, Sonny melakukan salto dengan putaran 360 derajat dan mendarat di  belakang Kevin. 

Peluh terlihat bercucuran memenuhi wajah keduanya. Selama kurang lebih 5 menit, keduanya memang memeragakan tarian berjudul ‘Barongsai Menolong Monyet’. "Setiap tarian barongsai memang punya bermacam lakon cerita," ujar Ketua Harian Klub Naga Barongsai Yayasan Vihara Setia Buddha Binjai, Salimin Lie (70). 

Hawa panas menggigit pori-pori kulit tubuh warga Kota Binjai, Rabu (15/3) siang. Namun hawa panas itu sepertinya tak mengusik semangat berlatih Kevin, Sonny dan puluhan anak usia SMP dan SMA  di gedung pusat latihan, di Jalan Ade Irma Suryani, sekitar  50 meter di belakang vihara itu.

Mau dan Bisa

Pusat latihan grup barongsai tersebut tergolong luas. Gedung yang diresmikian penggunaannya pada 2005 itu, seluas 20 x 34 meter. Selain dijadikan ruang latih, gedung itu juga sebagai tempat menyimpan berbagai properti untuk kepentingan pertunjukkan. Mulai dari puluhan kepala barongsai, liong, pakaian, peralatan musik, dan matras. Tanah gedung itu disumbang Lim Eng Sui pada 2004, sedangkan bangunannya berasal dari partisipasi sejumlah donator. 

Sebagai salah satu kota besar di Provinsi Sumut, Binjai kini tak hanya dikenal sebagai kota penghasil rambutan yang manis. Ikon Kota Binjai, sejak 2000-an lalu telah bertambah satu lagi, yakni Klub Naga Barongsai Vihara Setia Buddha. Kemampuan atraksi dan keindahan gerak para pemain barongsai ini telah  diakui  nasional, bahkan mendapat pengakuan internasional. Itu dibuktikan dengan gelar juara yang mereka sabet di sejumlah ajang pertandingan internasional.  

Di dinding dekat pilar-pilar besi menempel sebuah spanduk bertulis, "Kita Mau, Kita Bisa". Sekalipun terkesan sederhana, tapi semboyan ini sejatinya menggambarkan pergulatan sejarah grup kesenian barongsai asal kota rambutan ini. 

"Semboyan ini yang memberi Pak Ali Umri, saat menjabat walikota dulu, beliau sering datang melihat anak-anak berlatih,” tutur Salimin Lie. 

Sejatinya sejarah tarian barongsai di Binjai, juga di kota-kota lain di Indonesia yang padat warga Tionghoa Indonesia, sudah memiliki usia panjang. Dalam ingatan Alak, panggilan akrab Salimin Lie, saat itu ia masih kelas 5 SD pada  1958, ada lima grup barongsai di Binjai yang sering tampil saat perayaan Imlek.

"Kalau main dulu bisa sampai dua minggu," tuturnya. Tidak heran jika orang-orang tua seusianya yang masih hidup sangat mencintai barongsai. Bahkan tak sedikit yang pernah jadi pemain.

Klub barongsai itu diantaranya yang ia ingat adalah Hisosu, Tikong, gabungan Tiong Hoa, Congkui, Tiong Cheng, tim barongsai Tandem dan tim barongsai Brahrang.  Namun sejak 1963 intensitas pertunjukkan barongsai makin berkurang seiring dimulai adanya larangan dari pemerintah. Setelah 1965, pertunjukkan barongsai benar-benar seperti  lenyap ditelan bumi. Hal ini dampak dari represi kultural yang dilakukan perintahan orde baru di bawah pimpinanan Suharto dengan dikeluarkannya  Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat China. 

Banyak Versi

Asal-usul tarian barongsai itu sendiri banyak versinya. Sebuah versi menyebut tarian itu sudah ada sejak  Dinasti Han  (206 BC-220 AD). Waktu itu Tiongkok sudah punya hubungan perdagangan, budaya dan diplomatik dengan negara-negara lain di Asia Tengah dan barat melalui jalur sutera. Salah satunya dengan Persia (Dinasti Sasanian). Dikisahkan utusan atau pedagang dari Persia menghadiahkan beberapa Singa ke Tiongkok.

Karena di  Tiongkok tak ada singa, akhirnya dalam perjalanan waktu, singa diadopsi ke dalam tradisi budaya serta masuk ke dalam alam imajinasi rakyat Tiongkok. Sehingga citra singa menjadi binatang mistik lainnya, seperti naga dan lainnya. Istilah Singa, shi di Tiongkok hampir serupa dengan sebutan shir  dalam bahasa Persia, dan singh di India (seperti orang Sikh yang menggunakan nama ini).

Versi lain, barongsai sudah ada pada masa Dinasti Tang (618-906). Dikisahkan suatu saat raja bermimpi bertemu makhluk yang menyelematkannya. Keesokan hari, sang raja bertanya kepada salah seorang menterinya dan menceritakan bentuk makhluk yang hadir dalam mimpinya. Menteri menjawab, mahluk itu adalah singa yang datang dari India. Raja lalu mermerintahkan agar menteri membuat replika makhluk yang menyelamatkan hidupnya. Sejak itu, singa menjadsi simbol keberuntungan (Agni Malagina: 2010). 

Barongsai disebutkan berasal dari bahasa Hokkien bbu lang say, tapi oleh masyarakat lokal kemudian terdengar seperti barongsai. 

Menyasar Anak Muda

Pada 1998, setelah Suharto dilengserkan gerakan reformasi, sejumlah pemain barongsai yang telah sepuh, mencoba bermain kembali di vihara. Ekspresi berkesenian yang tersumbat selama 30 tahun lebih, membangkitkan kembali rasa rindu mereka untuk berlatih. Tapi akibatnya mereka dipanggil dan ditegur aparat keamanan. 

Baru tahun 1999 setelah situasi politik makin kondusif dan ruang ekspresi kultural warga Tionghoa Indonesia makin terbuka, terutama setelah dicabutnya inpres tersebut oleh Presiden Andurrahman Wahid, sejumlah pemain ‘veteran’ barongsai  tergerak menghidupkan kembali kelompok kesenian barongsai.

Di antara mereka, ada Lim Lai Hen (almarhum, Lau Bun Leng (almarhum), Lim Eng Siu, Lim Eng San dan Le Kwang Yau. Mereka adalah pengurus Vihara Setia Buddha. Kelompok barongsainya diberi nama Naga Barongsai Vihara Setia Buddha Binjai. Para pendiri patungan membeli peralatan barongsai. Mereka juga merekrut pemain-pemain lama yang masih mau bermain. 

Menurut Alak, sebagian dari pemain ini sekarang sudah meninggal dunia. Usia mereka  rata-rata sudah di atas 60 tahun. Mereka juga lebih banyak main di vihara. Pada 2000 mereka mulai merekrut  anak-anak muda. Tapi responnya saat itu masih sepi. Maklum di kalangan anak muda, tarian barongsai tak begitu populer. 

Awalnya hanya 10 orang yang tertarik dan mau berlatih. Kemudian pada 2001, Alak lalu diminta Lim Lai Hen membantu proses rekrutmen. Selain sebagai salah seorang tokoh pendiri Naga Barongsai Binjai, Lim Lai Hen juga penggemar fanatik barongsai. Dalam keterbatasan fisik karena faktor usia, ia senantiasa hadir mendampingi grupnya saat pertunjukkan. 

Pada 2002, jumlah anak muda yang berlatih sudah meningkat jadi  30 orang. Saat itu, mereka berlatih tarian barongsai tradisional. Selain memiliki alur cerita, kadang-kadang tarian barongsai tradisional ini menggunakan alat-alat bantu lain seperti kursi, guci, meja, jembatan, dll. Barongsai lantai biasanya dimainkan 6-11 pemain, termasuk dua pemain kepala dan ekor, dan tidak boleh diganti selama permainan.

Mereka lalu mengikuti turnamen barongsai yang diadakan Himpunan Bersatu Teguh (HBT) di Padang, 2003. Di sana mata mereka baru terbuka, ternyata ada jenis permainan lain dengan tingkat kesulitan tinggi dan atraksi lebih rumit. Jenis permainan ini kerap dipertandingkan di turnamen-turnamen internasional. 

Nama permainan itu barongsai mei hua zhuang (tonggak atau pilar). Barongsai jenis ini  dimainkan di atas deret tonggak setinggi 80 cm sampai 3 meter. Sedangkan  panjang deret antara 3 meter hingga 15 meter. Dalam setiap pertandingan barongsai internasional, jenis deret tonggak inilah yang dipertandingkan. Teknik permainan barongsai tonggak ini cukup sulit, karena pemain harus melakukan gerakan-gerakan akrobatik di atas tonggak yang berdiameter 30 cm. Pemain barongsai tonggak adalah 6-8 pemain termasuk dua pemain kepala dan ekor. Saat pertandingan pemain tidak boleh diganti.

Menurut  Fong Ah Biew (72), yang telah melatih sejak 2001, barongsai pilar semula menggunakan kayu saat dimainkan Wong Fei Hung.  

Barongsai Tonggak

Mereka lalu membeli satu set tonggak bekas. Lalu ada kesepakatan HBT akan mengirim seorang pelatih  mereka, namanya Yongki untuk melatih di Binjai,  Begitulah, selama dua pekan, Yongki mengajar di Vihara Setia Buddha. Awalnya tentu bukan hal mudah, banyak yang terjatuh saat membuat gerak lompatan. Bahkan sampai sekarang.

“Kaki atau tangan terkilir itu sudah biasa,” ujar Kevin dan Sonny. Keduanya pelajar SMA. Mereka telah berlatih  sejak SD, persisnya pada 2011. Untuk keselamatan pemain saat berlatih, di bawah kanan-kiri tonggak disediakan busa berlapis karet  tingginya sekitar 20 cm. Tak sembarang pemain yang bisa berlatih barongsai tonggak, hanya yang sudah berlatih barongsai dasar 3-4 tahun yang bisa memelajarinya. 

Menurut Lasimin Lie, mereka juga aktif melakukan penilaian. Pemain yang dinilai berbakat, rajin berlatih  diikutkan ke luar negri. Baik untuk mengikut training center, menimba teknik-teknik baru permainan barongsai atau ikut kompetisi internasional. Soal pemain jatuh bangun saat berlatih di atas tonggak inilah yang dilihat Ali Umri, ia pun membuat semboyan “Kita Mau, Kita Bisa”. Tujuannya tak lain, memompa semangat pemain.         

Untuk pertama kali, setelah mereka percaya diri, pada 2006 mereka menjajal kemampuan dalam sebuah turnamen internasional di Singapura. Hasilnya? "Dari 8 negara yang mengirim tim barongsai, kami jadi juru kuncinya," ujar Salimin Lie terbahak. 

Walau berada di posisi buncit, mereka tak putus asa. Secara teratur mereka melakukan lawatan ke luar negeri. Mereka juga aktif mengikuti training center barongsai. Misalnya berguru ke sebuah pusat latihan barongsai dan liong yang dikelola Wan Sen Hong, di Malaysia. Mereka juga aktif mengikuti kompetisi internasional. 

Mulai terlihat hasilnya, mereka meraih juara III pada China Town Chinese New Year Celebration 2011 International Lion Dance Competition Singapura. Lalu pada 2013 juara 2,  Lion Dance Competition 2013 di China Town Singapura. Pada 2014 juara 3 di Hong Kong, juara 3 di Tiongkok (2015) dan di Malaysia (2016). 

“Kita tidak pernah juara pertama, karena biasanya yang juara I itu tuan rumah,” ujar Alak sembari tersernyum simpul. Bicara tentang kiat, Alak menekankan pentingnya kekompakkan pemain. Antara seorang yang memerankan kepala dan satu orang di ekor. Inti bermain barongsai itu menyatukan dua hati. Untuk itu keseriusan berlatih jadi kunci keberhasilan.  

Selain itu, faktor musik pengiring juga tak bisa dipandang remeh. Musik itu roh barongsai. Tanpa musik, barongsai tak menarik atau atraktif. Permainan barongsai diiringi tiga instrumen  musik, yaitu da shi gu (tambur), luo (gong), dan bo (gembreng atau simbal). Suara  musik biasanya mengikuti pergerakan barongsai atau sebaliknya. 

Tentang komposisi pemain, di klub itu bersifat inklusif. Mereka menerima calon pemain tanpa membedakan suku dan agama. Tak hanya anak muda dari etnis Tionghoa yang saat ini berlatih, ada juga Batak, Jawa, bahkan Minang. Latihan biasanya dimulai pukul 15.00 WIB. Semua properti disediakan klub. Tak dipungut biaya pendaftaran. “Yang penting  mereka hobi bermain barongsai,” tandas Alak.

()

Baca Juga

Rekomendasi