Oleh: Ir. Jafar Siddik, S.Pd
SIAPA yang salah? Bila dewasa ini ini cukup banyak kita jumpai fenomena tawuran antar pelajar di negeri ini. Umumnya kejadian tawuran tersebut sudah terasa seperti hal yang lazim dan parahnya lagi seringnya kerusuhan ini hanya dipicu oleh hal-hal sepele saja. Misalnya, hanya karena seorang pelajar dari satu sekolah berpacaran dengan pelajar dari sekolah lain atau karena saling ejek dan sebagainya.
Lalu kembali lagi di pertanyaan semula, siapa yang salah? Apakah pelajar itu sendiri atau mungkin guru yang mengajar mereka di sekolah atau bahkan orang tua yang bisa saja terlalu sibuk dengan berbagai aktivitasnya sehingga tidak mampu lagi membimbing anak-anaknya di rumah? Untuk menjawabnya, mari coba kita renungkan sejenak.
Pertama, manusia lahir sempurna. Manusia dilahirkan dengan perasaan mampu melakukan segalanya. Sebelum kemudian dikacaukan oleh pesan-pesan ketidakmampuan yang datang dari lingkungannya. Perasaan itu ditunjukkan dengan keberanian melakukan dan mencoba sesuatu untuk menirukan orang-orang dewasa di sekitarnya.
Ia akan mengeksplorasi dunianya dengan penuh keberanian walaupun tubuhnya belum siap untuk itu. Karena di kepalanya ia belum memiliki konsep bahwa ia tidak mampu. Ia akan terus bersemangat untuk mencoba melakukan segala hal baru dengan antusias dan tekun. Semua dihadapi 100% dengan penuh semangat, tawa, juga air mata. Suatu totalitas keikhlasan yang sempurna. Ia kerahkan semua yang ia punya sampai kemudian apabila ia kurang beruntung maka pesan-pesan ketidakmampuan dari lingkungan yang dipenuhi oleh kata-kata ‘jangan, tidak boleh, tidak bisa’ berangsur-angsur mulai masuk ke dalam dirinya.
Perasaan bahwa Anda sanggup menentukan dan merancang kehidupan Anda sendiri sebenarnya kuat terasa di dalam hati Anda. Terbukti dengan setiap kali usaha Anda dikecilkan oleh orang lain maka Anda akan merasa tidak senang. Akan tetapi, walau perasaan ‘mampu’ itu merupakan fitrah kelahiran manusia, pada saat masuk ke dalam masyarakat ia akan dipaksa untuk menerima ‘kesepakatan bersama’ bahwa ia hanya akan berhasil: kalau punya banyak uang, kalau punya banyak pengetahuan, kalau punya ijazah luar negeri, kalau punya koneksi, kalau punya banyak modal, kalau diberi kesempatan dan beragam ‘kalau’ yang tidak mungkin ia penuhi semuanya. Anda sudah dikaruniai berkah kelahiran yang luar biasa untuk bisa berhasil di dalam apapun rencana keberhasilan Anda. Semua manusia adalah mampu untuk berhasil.
Kedua,peran orang tua sebagai guru pertama dan utama. Memiliki anak siap atau tidak, akan mengubah banyak hal dalam kehidupan kita dan pada akhirnya dituntut untuk siap mempersiapkan anak-anak agar dapat menjalankan kehidupan masa depan mereka dengan baik. Mengenal, mengetahui dan memahami dunia anak memang bukan sesuatu yang mudah.
Dunia yang penuh warna-warni, dunia yang segalanya indah, mudah, ceria, penuh cinta, penuh keajaiban dan penuh kejutan. Dunia yang semestinya dimiliki oleh setiap anak namun dalam kepemilikannya banyak bergantung kepada peranan orang tua. Para ahli sependapat bahwa peranan orang tua begitu besar dalam membantu anak-anak agar siap memasuki gerbang kehidupan mereka.
Dalam era globalisasi, batas-batas negara dan bangsa telah terbuka dengan bebasnyasehingga persaingan pun akan terbuka dengan lebar. Di mana kualitaslah yang akan menjadi standar dalam segala hal. Untuk mendapatkan sesuatu dengan kualitas yang baik tentu dibutuhkan sumber daya manusia yang baik pula. Dari itu, sekarang harus dipikirkan bagaimana kita menghadapi era globalisasi tersebut di mana kaum intelektual dari negara-negara maju akan segera masuk ke pasar kerja Indonesia dan mereka turut bersaing dengan anak-anak kita nanti. Di sinilah kepedulian orang tua yang katanya adalah guru pertama dan utama bagi anak dituntut. Sebagai orang tua agaknya harus betul-betul melakukan sesuatu bagi putra-putrinya supaya mereka dapat mencapai puncak prestasi yang gemilang kelak di kemudian hari.
Orang tua perlu meningkatkan intelektualitas anak untuk mempersiapkan mereka masuk sekolah. Anak-anak yang memiliki intelektualitas tinggi akan lebih mudah menerima dengan baik semua mata pelajaran di sekolah. Mereka memiliki rasa percaya diri yang lebih tinggi, lebih mudah beradaptasi dan lebih mudah menerima hal-hal baru. Anak-anak yang siap bersaing adalah anak-anak yang memiliki kecerdasan, baik kecerdasan berpikir (rasional) maupun kecerdasan perasaan (emosional) serta mempunyai kreativitas yang tinggi.
Kecerdasan dan kreativitas anak dapat berkembang dengan diberikannya rangsangan (stimulasi) untuk berkembang dan tidak dapat diharapkan akan berkembang dengan sendirinya. Rangsangan-rangsangan awal pada masa kanak-kanak yang diberi kesempatan untuk tumbuh dan berkembang sangat besar manfaatnya di kemudian hari. Usia balita merupakan usia yang luar biasa bagi perkembangan intelektual dan kreativitas seorang manusia yang hanya sekali saja terjadi dalam hidupnya. Maka peranan orang tua sangatlah menentukan pada masa-masa ini dalam rangka memberikan pendidikan terbaik kepada putra-putrinya.
Tidak dapat disangkal lagi pendidikan di rumah berperan sangat besar dalam pembentukan pribadi seorang anak. Bahwa masa-masa keemasan (golden age) dalam pembentukan tingkat kecerdasan seorang anak adalah pada masa usia balita. Pada usia tersebut sebagian besar anak menghabiskan waktunya sebanyak 86% di rumah. Adalah suatu kesia-siaan apabila orang tua mengabaikan waktu tersebut hanya dengan membiarkan anak-anak bermain, menonton televisi tanpa adanya suatu arahan pendidikan yang jelas dari orang tuanya.
Ketiga, peran guru sebagai pendidik.Hidup adalah pendidikan dan pendidikan adalah hidup. Pendidikan berlangsung selama ada dan di mana ada kehidupan. Sekecil apapun aktivitas pendidikan lakukanlah di atas landasan nilai pedagogic sebab ini akan membuat dunia berputar ke arah positif. Guru merupakan faktor yang sangat penting dalam proses pendidikan dibanding dengan sebaik apapun kurikulum yang dikembangkan maupun sarana yang disediakan dalam proses pembelajaran.
Guru sering dianggap sebagai sosok yang memiliki kepribadian ideal. Oleh karena itu, pribadi guru sering dianggap sebagai model atau panutan yang harus ditiru. Kompetensi kepribadian terkait dengan penampilan sosok individu yang diharapkan mampu menjadi sosok yang memiliki kedisiplinan, berpenampilan baik, bertanggung jawab, memiliki komitmen serta bersemangat sehingga dapat menjadi sosok yang dapat diteladani.
Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia. Pribadi guru yang santun, respek terhadap siswa, jujur, ikhlas dan dapat diteladani mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap keberhasilan dalam pembelajaran apapun jenis mata pelajarannya. Kompetensi sosial terkait dengan kemampuan guru sebagai makhluk sosial dalam berhubungan dengan orang lain, yang diharapkan mampu bekerjasama, memiliki kesantunan berperilaku, mampu berkomunikasi dan mempunyai empati terhadap orang lain.
Kita patut bertanya mengapa pendidikan kita banyak menghasilkan anak didik yang cerdas, pintar dan terampil namun belum menghasilkan anak didik yang memiliki kepribadian yang sesuai seperti apa yang diharapkan. Sehingga bangsa kita mengalami krisis multidimensional yang berkepanjangan yang tiada ujungnya seperti terjadinya tawuran antar pelajar. Jangan-jangan ini semua buah dari kita sebagai pendidik yang belum menampilkan kepribadian yang patut diteladani oleh anak didik.
Terakhir, agar tawuran antar pelajar tidak terjadi lagi maka ketiga unsur berikut harus dapat berjalan beriringan yaitu: (1) setiap manusia harus mampu melakukan hal-hal yang positif dan meninggalkan hal-hal yang negatif, (2) orang tua harus mampu mendampingi dan membimbing anak-anaknya memasuki gerbang kehidupan yang lebih baik, (3) guru harus mampu menjadi panutan yang akan diteladani oleh setiap anak didiknya. ***
Penulis adalah Guru Tamansiswa Binjai