Oleh: James P. Pardede.
APAKAH hanya pada peringatan HAN saja kita menaruh perhatian dan kepedulian terhadap keberadaan anak-anak dan nasib anak Indonesia ke depan? Masih segar dalam ingatan kita, akhir-akhir ini kata trafficking (perdagangan anak), pekerja anak dan kata pedofilia kian populer. Kata pedofilia bahkan kadang dijadikan bahan bercandaan oleh beberapa orang, tanpa tahu penyakit akut apakah sebenarnya pedofilia tersebut?
Bagi yang punya anak kecil tentu sangat alergi saat mendengar kalimat pedofilia. Pedofilia tersusun dari dua kata yaitu pedo yang berarti anak, dan filia yang berarti cinta. Jadi secara luas, pedofilia ini diartikan sebagai sebuah kelainan seksual yang diderita oleh seseorang yang melampiaskan hasrat seksualnya pada anak dibawah umur.
Hal kecil lainnya yang seringkali luput dari perhatian kita adalah pekerja anak dan perdagangan anak. Tak perlu jauh-jauh harus ke kota lain hanya untuk menyaksikan pekerja anak. Di beberapa ruas jalan kota Medan banyak ditemukan pekerja anak yang terpaksa mengamen dan meminta-minta dengan alasan mencukupi kebutuhan keluarga. Pertanyaannya adalah dimana kedua orangtua si anak tersebut?
Saat melakukan investigasi kecil-kecilan terhadap keberadaan pekerja anak, ada banyak alasan yang memaksa mereka harus turun ke jalan atau meminta-minta, ada juga yang jadi tukang semir sepatu dan melakukan pekerjaan lainnya. Selain masalah klasik ‘untuk memenuhi kebutuhan keluarga’, pekerja anak juga banyak yang dipaksa oleh orangtua karena terlilit hutang atau tidak mampu bertahan melawan kejamnya kehidupan di kota besar.
Pekerja anak yang terpaksa putus sekolah perlu mendapat perhatian pemerintah agar mereka bisa memiliki harapan dan impian yang lebih baik di masa yang akan datang. Pekerja anak dan keberadaan anak yang kurang mendapat perhatian dari orangtua sangat berpeluang menjadi korban perdagangan anak dan kejahatan lainnya.
Di awal tulisan, kemajuan teknologi seperti sekarang semakin memudahkan oknum-oknum tertentu untuk melakukan tindakan kejahatan terhadap anak. Dalam banyak kejahatan yang mengambil korban anak-anak, ada kejahatan seks, perdagangan anak, penculikan anak untuk mengambil organ tubuhnya dan dijual kepada orang-orang yang membutuhkan.
Peran Orangtua dan Keluarga
Seperti yang pernah ramai dibicarakan adalah anak korban pedofilia. Kasus-kasus pemerkosaan anak, perdagangan anak dan kasus lainnya yang menimpa anak-anak, kebanyakan pelakunya adalah orang terdekat korban. Ini bisa keluarga korban, tetangga, dan dikenal oleh korban maupun keluarga. Pelaku lain yang memanfaatkan jaringan orang-orang yang selama ini bergerak dalam alur kejahatan seks. Ini termasuk korban pedofilia yang menjadi pelaku ketika beranjak remaja dan dewasa.
Jaringan internet yang kian meluas hingga ke pelosok desa makin meluaskan jangkauan ‘para pelaku’ pedofilia untuk melampiaskan hasrat seksualnya terhadap anak. Mereka juga sekaligus mengambil keuntungan dengan memanfaatkan media sosial. Beberapa waktu lalu ramai diberitakan terkait kasus yang melibatkan akun grup tertutup di medsos Facebook. Dengan media sosial, kejahatan seks lintas negara semakin mudah juga terjadi.
Di dalam medsos pun saat ini banyak pemilik akun yang menebar foto-foto berbau porno. Pornografi anak bukanlah kasus yang baru di Indonesia, berdasarkan pemantauan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) pada bulan September 2016 hingga Februari 2017 saja tercatat ada enam kasus yang terungkap dengan jumlah korban mencapai 157 anak. Ini sudah termasuk dengan temuan sebuah grup di jejaring sosial Facebook yang berisikan ratusan gambar, video serta tulisan untuk melakukan aksi pedofilia terhadap anak dinilai perkara yang sangat memprihatinkan.
Peningkatan kewaspadaan kita terhadap pelaku pedofilia untuk saat sekarang harus lebih ditingkatkan. Upaya pencegahan harus dilakukan secara berkesinambungan, jangan pada saat muncul api baru kita sibuk mencari air atau pasir untuk memadamkannya.
Pendampingan dan peran orangtua dalam upaya mencegah kejahatan terhadap anak memiliki porsi terbesar. Peran orangtua menjadi salah satu kata kunci dalam membentengi anak agar tidak mudah percaya dengan ajakan oran-orang yang tidak dikenal sama sekali. Baik di alam nyata maupun di alam maya (internet).
Tidak hanya disaat merayakan HAN baru ada kesadaran kita untuk menyelamatkan anak dari predator yang siap memangsanya. Peran orang tua dalam mengajari anak bahwa bagian organ intimnya tidak boleh disentuh oleh siapapun, kecuali ibunya misalnya harus dilakukan sejak dini. Kemudian, anak juga diajari untuk berlari, berteriak, atau meminta tolong ketika merasa dirinya tidak aman.
Peran orangtua juga tak hanya mengajari anak, melainkan memberi dukungan secara emosional dan memberikan kasih sayang. Karena umumnya para korban kekerasan seksual sering kali adalah anak yang ternyata kurang perhatian dan kasih sayang dari orangtuanya. Anak-anak yang mencoba lari ke dunia maya untuk mencari kesenangan-kesenangan baru yang mereka anggap bisa membuatnya lebih happy.
Ketika orangtua dan anak memiliki kedekatan yang tidak dibatasi oleh sekat apapun akan membuat anak lebih terbuka menceritakan apa yang dialaminya. Oleh karena itu, orangtua sebaiknya juga mengenali pedofilia di sekitar anak. Sikap waspada harus tetap dilakukan terutama di lingkungan tempat tinggal dan sekolah anak. Pendampingan dan edukasi terhadap anak yang sudah mengenal media sosial juga harus dilakukan secara berkesinambungan.
Ketika ada status atau pesan nyasar yang mencoba membangkitkan ‘emosi anak’ untuk berkomentar harus disikapi dengan bijak. Banyak jebakan-jebakan yang akhirnya menggiring anak ke tempat lain, dan akhirnya terjerumus. Predator anak saat ini ada dimana-mama, cara-cara mereka juga sangat beragam. Tidak hanya waspada terhadap predator anak yang ada di sekitar kita, orangtua juga perlu mendampingi anak agar jangan sampai terjerumus dengan narkotika dan obat-obat terlarang (narkoba). ***
Penulis adalah pendidik dan peduli dengan masalah sosial.











