Oleh: Adelina Savitri Lubis.
KALA rambut gimbal dikultuskan sebagai kaum para penikmat musik reggae. Apakah simbol ini sahih menjadi identitas perlawanan dan kebebasan? Waktu yang terus mempertontonkan realitas, tak pernah mampu menampik tentang anak-anak manusia yang memilih sikap hidupnya melalaui reggae. Ya reggae adalah gaya hidup!
Sejarah Afrika nun jauh di masa lampau diyakini oleh generasi millenial sampai saat ini. Seperti yang dikutip dari buku Rasta dan Perlawanan karya Horace Campbell (1989), reggae berasal dari kata-kata ‘Toots and The Maytals’ yang menyanyikan lagu ‘Do The Reggae’ pada 1967 silam. Sumber tertulis itu menyebut, irama reggae lebih pelan dibandingkan dengan rock steady dan irama tambur musik reggae pun dipelankan menjadi apa yang disebut skank.
Patrick Hilton dalam Campbell juga menguatkannya, dengan mengatakan puisi-puisi kebudayaan bersumber dari sejarah dan pengalaman orang-orang yang mengembangkannya. Demikian juga dengan musik calypso dan reggae, yang merupakan produk-produk pengalaman historis bangsa Afrika yang ada di Karibia.
Sementara itu, medium ekspresi protes dan sentimen orang-orang Afrika di Amerika juga telah menemukan beberapa bentuknya, seperti isi dan semangat musik jazz dan blues yang ditemukan pada kaum negro Amerika (Afro–Amerika). Sama halnya dengan reggae masa kini di Jamaika yang merefleksikan pesan yang sama, yaitu sebuah reaksi terhadap eksploitasi dan penindasan atas orang-orang Afrika di benua baru.
Ini sudah 2017, namun semangat itu masih lekat dalam jiwa para anak manusia yang menyebut dirinya sebagai reggae man itu. Pesan reggae yang tumbuh karena semangat anti perbudakan di masa itu nyatanya masih lekat dengan situasi yang terjadi di masa sekarang.
Jika di masa itu musik reggae merupakan penyatuan pemikiran dan sikap dalam melawan rezim perbudakan, dalam situasi kekinian reggae menjadi alat untuk mengkritik situasi dan keadaan. Meskipun praktiknya masih dalam ruang lingkup kecil (pertemanan, keluarga, pekerjaan), namun benang merahnya sama saja, yakni ‘lawan’; ‘melawan’; ‘perlawanan’.
Persis diakui Ryan Rega (19). Menurutnya reggae berasal dari hati. Begitupun tak dipungkirinya, reggae sudah menjadi budaya. Artinya orang-orang yang menyebut dirinya sebagai reggae man tidak harus gimbal. Seperti penampilan Ryan. Tak ada kesan reggae man seperti umumnya penampilan reggae man. Namun Ryan berpenampilan apa adanya. Berambut pendek, laiknya anak lelaki pada umumnya.
“Reggae adalah pure music. Reggae music rocking my bone. Reagge is more and more,” katanya kepada Analisa.
Musik Perlawanan
Mendalami reggae lebih dekat, diakuinya sejak 2015. Baginya ini musik perlawanan. Dia ingin menyampaikan tentang perlawanan, bahwa setiap orang adalah sama. Tidak pernah ada kelas-kelasnya.
Hal ini juga diaminkan Reza (25). Dikatakannya, reggae adalah tradisi, sama seperti budaya. “Ini merupakan musik penjiwaan,” ucapnya.
Mengenal reggae sejak sekolah dasar, kemudian pada 2010 dia mendalami musik ini lebih dalam. Pendapat keduanya tak dibantah Ezy (23), seorang ibu rumah tangga yang juga menyukai reggae. Siapa pun bisa menikmati musik ini, tanpa memandang usia, bahkan tanpa mempertimbangkan jenis kelamin.
Begitu halnya dengan Fahmi. Menariknya, mahasiswa di salah satu kampus di Medan ini justru berambut panjang, bukan berambut gimbal. “Aku suka reggae, karena mengajarkan tentang sikap idealis dalam perbuatan.”
Sayangnya reggae muncul bukan sebagai budaya tradisi. Itu juga yang menyebabkan tumbuh kembang reggae di Medan tidak kuat. Itu pula yang menjadi alasan, mereka yang menyebut dirinya sebagai reggae man malah hanya dipandang sebelah mata oleh sebagian orang. Malah reggae identik dengan perilaku negatif.
Pentolan musik ini adalah Bob Marley, ungkap Dinez, satu anak muda lainnya di antara mereka. “Dia selalu menyerukan kepada banyak orang agar ‘memerdekakan’ diri dari perbudakan mental, tak seorang pun kecuali diri kita yang dapat memerdekakan pikiran kita.”
“Lagu-lagu Marley-lah yang kian membakar semangat para kaum muda untuk semakin gigih dalam melawan segala bentuk penindasan di Jamaika, bahkan di seluruh muka bumi,” bebernya.
Ditambahkan Dinez, reggae ala Marley, kian dikenal luas ke seluruh dunia. Bahkan hampir di seluruh Benua Afrika, musik ini adalah lagu wajib bagi perjuangan melawan bentuk perbudakan di benua hitam tersebut. Dengan menjadikan reggae sebagai gaya hidup, maka musik ini akan terus mengingatkan kita tentang baik dan buruk.
“Jika orang tidak suka, itu tak mengapa. Yang penting sebagai anak muda, inilah proses kami untuk bersikap,” akhirnya.