Oleh: Poltak MS
Pada tahun 2012 hingga 2013, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pernah mengadakan penelitian dan survei dengan mengembangkan Indeks Perilaku Peduli Lingkungan (IPPL) sebagai alat ukur untuk mengetahui perilaku manusia dalam berelasi dengan lingkungannya.
Penelitian ini menyimpulkan, perilaku peduli lingkungan masyarakat Indonesia masih perlu dikembangkan, karena masih jauh dari yang diharapkan. Indeks ini juga dianggap penting sebagai parameter perilaku lingkungan yang sangat kompleks, dan dapat dilihat serta diukur dengan cara sangat sederhana.
Rendahnya indeks peduli lingkungan masyarakat Indonesia didorong oleh beberapa indikator. Secara umum adalah persoalan tentang lingkungan yang menyangkut energi, sampah, dan lain-lainnya, yang menjadi faktor terjadinya polusi atau kerusakan lingkungan.
Masyarakat cenderung tidak peduli dengan apa yang terjadi pada lingkungan, dan membebani lingkungan dengan perilaku masyarakat. Misalnya, banyak masyarakat menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan sampah. Air sungai akan mengalir ke laut, tetapi banyak masyarakat belum sadar proses perjalanan air dari sungai hingga ke laut. Hal tersebut dapat berdampak sangat berbahaya, karena dapat menyebabkan lingkungan yang kotor dan tersumbatnya aliran air hingga terjadi banjir.
Hasil indeks yang diperoleh merupakan gabungan dari 5 indeks yakni: perilaku penggunaan listrik, perilaku membuang sampah, perilaku pemanfaatan air, perilaku konsumsi barang, dan perilaku terkait emisi karbon. Survei yang dilakukan secara menyeluruh di seluruh wilayah provinsi Indonesia ini menunjukkan bahwa perilaku masyarakat terhadap lingkungan masih kurang baik, yaitu hanya 0,57 dari total 1. Perilaku yang dianggap paling baik ditunjukkan oleh penduduk di Provinsi Bali, DKI Jakarta, dan Sumatera Utara.
Beberapa perilaku kurang peduli lingkungan yang ada dalam laporan survei tersebut antara lain tidak menggunakan lampu hemat energi (15.5%), menyalakan lampu di siang hari (24.1%), tidak memilah sampah (76.1%), membakar sampah (38.2%), limbah air rumah tangga dibuang ke kumpulan air bersih seperti sungai, kolam, rawa, laut (15.8%), serta tidak memanfaatkan air bekas cucian sayur/ buah/ daging/wudhu (75,7%). Di akhir laporan survei KLHK, disampaikan bahwa pengetahuan dan sikap terhadap lingkungan berpengaruh pada perilaku peduli lingkungan.
Rasa Peduli Lingkungan Siswa
Ada juga penelitian lain yang pernah dilakukan di kalangan siswa SMA di Kota Bekasi. Penelitian ini dilakukan oleh Halimatussadiah, Muhammad, dan Indraswari (2017), yang menunjukkan bahwa pengetahuna siswa tentang sampah berpengaruh terhadap perilaku mereka.
Temuan tentang pengetahuan akan sampah, masih ada 12.4% siswa yang pengetahuanya hanya 50% atau kurang. Hanya 9.7% yang punya pengetahuan antara 90-100%. Pengetahuan siswa tentang cara mengurangi sampah lebih sedikit lagi. Masih ada 46.3% siswa yang nilainya cara untuk mengurangi sampah paling tinggi 25 dari total 100.
Kepada siswa juga ditanyakan tentang kepeduliannya terhadap sampah dengan cara menyusun 8 masalah yang ada di Bekasi menurut yang paling penting, yaitu pengangguran, kemiskinan, ketidakadilan, degradasi lingkungan, sampah, kriminalitas, kepadatan penduduk, dan transportasi umum.
Siswa juga boleh menyebutkan masalah lain di luar 8 masalah yang ditanyakan. Hasilnya, ada 89.2% siswa yang menyebut degradasi lingkungan dan atau sampah adalah tiga masalah utama di Bekasi. Tetapi kepedulian siswa yang tinggi ini tidak ditunjukkan dalam perilaku ramah lingkungan.
Ada empat perilaku ramah lingkungan yang diteliti, yaitu seberapa sering membawa makanan dari rumah, seberapa sering membawa botol air (bukan botol kemasan) dari rumah, seberapa sering menaruh sampah di tempatnya, dan seberapa sering memisahkan sampah organik dan anorganik. Dari empat perilaku tersebut, menaruh sampah pada tempatnya mendapat nilai tertinggi, disusul dengan membawa botol air minum sendiri dari rumah, membawa makanan sendiri dari rumah, dan yang rendah adalah memilah sampah organik dan anorganik.
Bila dibandingkan dengan antar kelas, perilaku terhadap lingkungan lebih baik pada siswa IPA daripada siswa IPS. Siswa perempuan juga lebih baik perilaku terhadap lingkungan daripada siswa laki-laki. Hal itu mungkin disebabkan karena perempuan lebih banyak mendapat tugas untuk membersihkan rumah dan atau kelas daripada laki-laki.
Juga ditemukan bahwa pengeluaran siswa berhubungan negatif dengan perilaku ramah lingkungan. Artinya, siswa dengan pengeluaran yang lebih sedikit, berperilaku lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan siswa dengan pengeluaran yang lebih besar. Dalam tulisannya, Halimatussadiah dkk menyatakan bahwa temuan ini mendukung temuan Murad et al., (2012) bahwa kelompok yang berpenghasilan rendah cenderung mempunyai pandangan yang lebih baik daripada kelompok yang berpenghasilan tinggi (Evelyn Suleeman, 2017).
Di akhir hasil penelitian dinyatakan bahwa sekolah perlu memasukkan isu sampah dan lingkungan ke dalam kurikulum, mendorong siswa laki-laki dan siswa dengan pengeluaran yang lebih besar untuk lebih peduli lingkungan dan diwujudkan dalam perilaku mereka.
Program Peduli Lingkungan
Akan halnya kepada masyarakat, pemerintah perlu membuat program-program baru untuk menghidupkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya rasa peduli terhadap lingkungan.
Program-program yang terikat ataupun tidak terikat pada peraturan. Salah satu alasan kekacauan yang terjadi di bangsa ini yang berhubungan dengan lingkungan adalah karena hukum tidak benar-benar memberi peraturan yang mengikat.
Selain itu, pemerintah perlu melakukan upaya-upaya yang jauh lebih luas untuk meningkatkan kepedulian masyarakat, seperti misalnya melibatkan masyarakat lokal yang berperan penting di tengah perkumpulannya untuk memperjuangkan lingkungan. Hal itu dapat ditunjukkan dengan memberikan semangat apresiasi berupa penghargaan, baik yang resmi seperti Kalpataru ataupun yang tidak resmi.
Persoalan lingkungan merupakan persoalan multi aspek. Banyak pihak-pihak yang harus terlibat untuk menjalankan upaya-upaya yang telah disiapkan. Jelas dibutuhkan aspek hukum yang dapat mengatur dan mengikat semua pihak agar program-program perbaikan lingkungan dapat berjalan dengan baik.
Semua stakeholder tetap dilibatkan agar dapat membantu jalannya upaya-upaya yang disediakan pemerintah. Untuk edukasi sendiri, apabila semua pihak telah bekerja sama dengan baik dan sesuai dengan perannya masing-masing, maka edukasi atau pendidikan yang diberikan tentang lingkungan dapat berguna dan memengaruhi perilaku masyarakat (CPPM UGM, 2017).
Sekarang masyarakat kita ini semakin economic oriented. Dengan tipe masyarakat seperti ini harus ada hukum yang bertindak tegas dan bersifat mengikat, karena jika tidak ada maka akan dianggap remeh oleh pelanggar peraturan. Selain itu diperlukan juga kesepahaman setara tentang peraturan dan isu-isu lingkungan oleh kelompok-kelompok masyarakat.
Kita membutuhkan pemegang kebijaksanaan yang memiliki sikap yang tegas. Koordinasi dan komunikasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sangat dibutuhkan.
Didorong dengan otonomi daerah yang berlaku, sehingga setiap daerah memiliki peraturannya tersendiri, maka harus dibangun kesamaan pandangan antara pemerintah pusat dan daerah. Sangat urgen dihindarkan terjadinya salah paham karena kurangnya komunikasi karena dapat menjadi jurang pemisah antara pihak pusat dan daerah.
Media pun berperan penting untuk komunikasi kepada masyarakat. Baik melalui media cetak, elektronik, maupun online, dapat dijadikan saluran komunikasi kepada masyarakat dan pihak-pihak terkait lainnya.
Perlu juga adanya kejelasan pada program-program teknis pada Kementerian Lingkungan Hidup yang menyesuaikan dengan kebutuhan dan ketentuan di daerah-daerah tertentu. Peran stakeholders juga tak luput dari perhatian pemerintah. Pemerintah harus tetap melibatkan dan menjaga komunikasi dengan stakeholders dan masyarakat agar mereka dapat mengambil bagian dalam proses program tersebut.











