Pantun di Sumut Sekadar Seremonial

Oleh: Saripuddin Lubis

PANTUN sebagai karya sasra lama, menyimpan bebe­ra­pa kele­bihan di­­ban­­ding­kan de­ngan ka­rya sastra lama lain­nya, seperti syair dan gurindam. Syair di­ra­­sa­kan terlalu panjang,  sebalik­­nya gu­rindam terlalu singkat ke­tika diguna­kan. Permainan per­sa­jakan dalam pan­tun pun, terasa lebih variatif dibanding­kan ke­dua karya sastra lama yang lain­nya.

Di sisi lain, masyarakat ter­nya­­ta masih memerlukan karya sastra untuk dijadilan alat kontrol terhadap persoalan sosial buda­ya di tengah kehidupan masya­rakat. Salah satu karya sastra yang saat ini masih timbuh subur adalah pantun. Setidaknya masih digunakan saat membuka dan me­nu­­tup sebuah acara seremo­nial. Seorang pejabat pun ketika memberi sambutan juga masih me­manfatkan pantun. 

Mencermati persoalan kehi­du­pan yang semakin rumit de­wasa ini agaknya membuat ma­syarakat lebih berhati-hati dalam menyampaikan pendapat. Baha­sa-bahasa lugas memang cende­rung ditanggapi lebih cepat dan re­aktif.

Ada rasa takut ketika harus menyam­pai­kannya. Keadaan itu me­lahirkan sikap apatis terhadap sikap kritis, terutama terhadap ke­timpangan sosial budaya di te­ngah-tengah masyarakat. Ma­sya­rakat pun banyak yang mela­ku­kan aksi diam di tengan segala ketim­pang­an sosial-budaya yang ada di seki­tarnya tadi. Ini meru­pa­kan gejala psiko­logis yang ti­dak sehat dalam hegemoni ke­bermasyarakatan yang terus ber­kembang secara dinamis.

Pantun sendiri merupakan ka­rya sas­tra puisi lama Indonesia. Dalam KBBI pantun didefini­si­kan sebagai bentuk puisi Indone­sia (Melayu). Tiap bait (ku­plet) bia­sanya terdiri atas empat baris yang bersajak (a-b-a-b), tiap larik biasa­nya terdiri empat kata. Baris pertama dan baris kedua bi­asanya untuk tumpuan (sampi­ran) saja dan baris ketiga dan ke­empat merupakan isi.

Dalam bahasa Jawa Barat kita me­nge­­nal istilah paparikan. Di Tapanuli kita mengenal pula istilah umpa­sa. Ten­tu daerah lain di Indonesia juga memi­liki karya sastra seru­pa pantun.

Selama ini di Sumatera Utara kita me­ngenal pantun hanya di­gunakan untuk kepentingan aca­ra-acara seremo­nial semata. Se­orang pejabat atau siapa saja ke­tika membuka dan menutup se­buah sambutan dilakukan de­ngan mem­ba­ca pantun. Pantun seperti ini yang lazim kita dengar misalnya;

Kalau ada sumur di lading

Boleh kita menumpang mandi

Kalau ada umur yang panjang

Boleh kita berjumpa lagi

Atau ada juga pantun permohonan maaf

Kalau ada jarum yang patah

Jangan disimpan di dalam peti

Kalau ada kata yang salah

Jangan disimpan di dalam hati

Masih ada pantun yang juga lazim kita dengar seperti:

Berdebur ombak berdebur

Berdebur hingga ke pantai

Bersyukur kita bersyukur

Sebab acara sudah selesai

Semua pantun tersebut berisi pema­nis sebuah sambutan. Padahal kita juga mengenal jenis pantun yang lain seperti pantun anak-anak, pantun orang muda/remaja dan pantun orang tua.

Pantun sebagai karya puisi lama umumya berisi nasihat dengan kata-kata arkais (bahasa lama). Ada juga pantun yang ber­lebihan menggunakan kata-kata, bahkan cenderung menya­la­hi pakem-pakem yang ada da­lam pantun. Hal serupa ini dapat kita saksikan pada acara-acara hiburan di televisi. Para pengisi dapat dikatakan membuat pan­tun yang kurang bernilai, misal­nya ada pantun seperti ini:

Ada nenek-nenak bawa becak

Kepala lu petak

Ini sangat tidak logis dan ti­dak etis. Beberapa kalangan me­nganggap ini sesuatu lucu, pa­dahal uangkapan terse­but sung­guh tidak bernilai.

Pantun sebagai karya sastra sebenar­nya dapat juga dijadikan sebagai salah satu alat kontrol pe­nyimpangan sosial dan buda­ya. Dengan menggunakan pan­tun, sindiran  atau kritik menjadi lebih lunak dan mudah diterima, apalagi pe­nyam­paian dilakukan dengan santun. Kri­tik yang awal­nya terasa pedas, ketika dibuat jadi pantun menjadi lebih lebut, ramah tapi mengena.

Mari kita cermati pantun Nir­wana Sinaga, seorang guru SMK dari Tobasa berikut.

Kota Parsoburan penghasil andaliman

Rasa andaliman pedas getir di lidah

Pilu rasanya melihat  anak tak sopan

Didikan anak berawal dari rumah.

Kita baca pula pantunnya berikutnya.

Kota Jakarta kota metropolitan

Surga impian para perantau

Kusapa “Horas apa kabar kawan”

Hampa hatiku dibalas “fine, thank you”

Kedua pantun di atas berisi kri­tik terhadap persoalan sosial dan budaya. Pantun pertama mengkritik pendidikan yang di­lakukan oleh orang tua tethadap anaknya. Nirwana menjelaskan bahwa kesalahan anak yang tidak mengenal sopan santun adalah kesalahan orang tua.

Pada pantun kedua si penulis pantun mengkritik perilaku ber­bahasa masyara­kat yang cende­rung tidak lagi mencintai bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Ma­­syarakat begitu bangga meng­gunalan bahasa asing da­lam tindak tutur mereka.

Pantun senada dapat kita lihat seperti tulisan Risdine Liline, seorang guru SMK di Kota Bin­jai.

Ayah ibu sepasang pengajar

Gaya mereka buat terkesima

Sopan santun harus diajar

Keluargalah sekolah pertama

Pondasi pertama pendidikan menurut Risdine adalah keluarga di rumah. Kita lihat sebuah pantun kritik dari Dhani, seorang guru dari La­buhan Batu. Kata­nya begini;

Labuhan Bilik Sungai Berom­bang

Dayung sampan hingga tepian

Sungguh banyak jalan berlu­bang

Cemanalah perasaan puan-tuan?

Sebuah pertanyaan bagi war­ga Suma­te­ra Utara mengenai jalan berlubang yang menyebar di se­mua penjuru negeri. Pada akhir pantun sebuah pertanyaan retoris disampaikan Dhany. Lihat pan­tun kedua dari Dhany berikut yang lebih pedas sekaligus meng­gelikan;

Ke Batubara melihat kapal

Anak-anak mencari kepah

Jalan sudah sulam-tambal

Macam celana Pak Ongah.

Masih tentang jalan yang ru­sak, kita baca pula pantun Kar­nadi seorang guru di Simalungun berikut ini;

Minum teh di sore hari

Tehnya asli dari Sidamanik

Jalan rusak di pelosok negeri

Membuat masyarakat jadi panik

Pantun-pantun yang berisi kri­tik so­sial. Kalaulah pantun ter­sebut disam­paikan dalam sebuah pertemuan yang dihadiri para pe­mangku kepenting­an, tentu akan menjadi masukan yang ber­arti. Tanggapannya, dibandingkan de­­ngan penyampaian secara lu­gas (lang­sung), akan  lebih posi­tif dan ditanggapi dengan nuansa berbeda.

Pantun sepertinya  memang te­tap di­mi­nati, sayangnya hanya untuk hal-hal yang terbatas se­per­ti acara-acara sere­mo­nial se­mata. Kehadiran pantun masih sebagai pemanis pidato dan kata sam­butan.

Untuk kalangan muda, keha­diran pantun saat ini hanya se­batas ajang lom­ba berbalas pan­tun. Ajang yang jangan­kan se­cara kualitas, secara kuantitas pun ma­sih sungguh lang­kanya. Dilematis, saat para pejabat se­lalu menggunakan pan­tun seba­gai pelengkap pidato/sam­butan, namun perhatian terhadap per­kem­bangan pantun amatlah se­dihnya.

Pantun semestinya terus di­kembang­kan seperti asal muasal­nya, seperti pan­tun anak-anak, pan­tun remaja, dan pan­tun orang tua. Harus dirancang sebuah kon­sep agar pantun diminati anak-anak, remaja dan orang tua. De­ngan mengem­balikan pantun se­perti konsep asalnya, maka diha­rapkan pantun akan dapat kem­bali tumbuh subur di tengah-te­ngah masyarakat.

Lebih penting saat ini, pantun seha­rus­­nya dikembangkan pula sebagai sal­ah satu alat kontrol pe­nyimpangan sosial dan buda­ya.

Penulis; Pengasuh Sanggar Rumah Cerita dan Ketua DPW AGBSI Sumatera Utara.

()

Baca Juga

Rekomendasi