Oleh: Rosni Lim
Anak itu datang lagi dalam mimpiku. Wajah yang sama, senyum yang sama, dan lirikan mata yang sama.
“Pergiii…! Jangan dekati aku! Jangan ganggu hidupku!” aku berusaha mengusirnya.
Dia bergeming. Wajahnya masih tersenyum, lirikan matanya semakin nakal.
Aku bergidik. Sosok imut tampan bertampang tak bersalah itu melangkah mendekatiku. Aku semakin takut, mengibas-ngibaskan kedua tangan dan menggeleng-geleng, lalu mundur dua langkah. Aku seperti terperosok ke jurang ketika terbangun dari mimpi.
Ini adalah mimpi keenam dalam minggu ini. Di lima mimpi sebelumnya, dia datang menyapa dengan wajahnya yang selalu tersenyum riang dan suaranya yang nyaring.
“Lihatlah, kita sudah ada ikatan jodoh pada 400 tahun lalu,” katanya. “Pada lima kehidupan lampau, kamu adalah seorang raja dan aku selirmu. Semua selirmu yang lain sangat iri padaku karena aku adalah selir kesayanganmu yang sangat piawai memainkan harpa dengan jari-jari tanganku yang lentik. Tapi nasibku berakhir tragis. Tak lama setelah kamu mengangkatku sebagai selir, aku dicelakakan oleh para selirmu yang licik.” Sambil menceritakan kisah tersebut, dia menggerakkan tangan ke samping seperti menyulap sebuah tayangan film. Tampak seorang raja memakai pakaian kebesaran, di dekatnya seorang wanita cantik memainkan harpa, dan di sekelilingnya belasan wanita cantik lain memandang wanita yang memainkan harpa tadi dengan sirik.
Di mimpi yang kedua, dia datang lagi menyapaku dengan wajahnya yang selalu tersenyum riang dan lirikan matanya yang nakal. “Di empat kehidupan lampau, aku terlahir sebagai seorang tentara kerajaan dan kamu kekasihku. Kita tidak sempat bersatu karena aku harus maju ke medan pertempuran dan tewas di tangan musuh dengan satu tusukan pedang di dekat leherku.”
Pada mimpi yang ketiga, dia datang membawa tayangan film yang lain lagi. “Inilah ikatan jodoh kita pada tiga kehidupan lampau. Kamu seorang penebang pohon di hutan yang menyelamatkanku dari gigitan ular berbisa di pahaku. Sayangnya, kisah kita tak berlanjut karena setelah tiga hari, teman-teman berkemahku datang menemukan dan menjemputku pulang ke kota.”
Pada mimpi yang keempat, dia bercerita dan menayangkan film sepasang kekasih yang saling mencinta tapi terpisahkan karena kisah kasih mereka tak mendapat restu orangtua.
Di mimpi yang kelima, adalah pertunjukan film seorang guru perempuan dengan seorang murid laki-lakinya yang super bandel. “Lihatlah, aku adalah muridmu di kehidupan lampau, kamu akan mengingatku seumur hidup karena di ubun-ubun kepalaku ada dua unyeng-unyeng yang kata orang pemiliknya orang yang super bandel.”
Aku mengingat jelas semua mimpiku di lima hari berturut-turut. Dan di mimpi yang keenam hari ini, sebelum aku terbangun masih sempat mendengarnya mengucapkan kata-kata, “Di kehidupan kali ini, kita akan bertemu lagi. Kamu akan pusing menghadapiku. Tapi aku bisa membuat hidupmu lebih berwarna, membuatmu ingin mengubah banyak hal, dan membuat hidupmu terasa lebih hidup. Aku akan datang menemuimu sebagai…”
“Witooo…!” suara teriakan Erwin mengagetkanku dari khayalan panjang. Sialan! Huruf-huruf yang membentuk kata-kata dan rangkaian kalimat fiksi yang sedang menari-nari indah di layar laptopku tiba-tiba terhenti gara-gara suara Erwin yang membahanakan seisi rumah.
Wito turun dari anak tangga sambil berlari-lari menuju ruang tamu, tempatku berkutat dengan tuts-tuts di laptopku. Suara tawanya yang renyah, senyum riang di wajahnya, derap langkah kakinya yang super cepat dan khas semakin mendekat. Ketika aku menoleh menatapnya, sosok itu membalas tatapanku dengan nakal tapi kemudian buru-buru menyelonong masuk ke kamarku lalu bersembunyi di situ dengan menyelimuti seluruh tubuhnya memakai selimut tebal di atas ranjang.
“Witooo…! Witooo…!” Erwin datang menyusul, sibuk mencari-cari kawannya yang bersembunyi dalam permainan hide and seek.
“Wito sembunyi di dalam ya, Kak Elsa?” Erwin menunjuk kamarku.
Aku mengangguk-angguk, memberi petunjuk tanpa bersuara.
Erwin perlahan-lahan membuka pintu kamar. Ketika merasa menemukan orang yang dicarinya, dia pun langsung berseru dengan keras, “Duaarrr…! Kutangkap kamu, Wito! Hahaha…!”
Lalu kudengar mereka berdua terbahak-bahak sambil menyerocos ini-itu.
Aku menggeleng-geleng. Teman-teman adikku ini masih seperti anak-anak SD main hide and seek padahal umurnya sudah 14 tahun dan sudah kelas II SMP.
“Jerick mana? Aku mau cari Jerick dulu,” kata Erwin sambil keluar dari kamar. Wito membuntuti di belakang. Mereka berjalan ke loteng atas.
Kutatap layar laptopku. Kuhela nafas panjang sambil memejamkan mata. Terbayang wajah si Wito tadi ketika bersitatap denganku. Wajah imutnya yang tampan tak bersalah, senyumnya yang begitu lepas dan bahagia, dan terutama lagi lirikan matanya yang hidup plus nakal khas anak-anak, semua itu sangat mirip dengan anak yang hadir dalam mimpiku walaupun masih samar.
Kubuka mataku. Baru saja kuletakkan jari-jari tanganku di atas tuts-tuts laptopku ketika hp di mejaku berbunyi. Sebuah nama terpampang di situ, Jonathan.
“Ya, Jo?” jawabku.
Jonathan adalah teman kuliahku. Kami mengambil jurusan yang sama di Fakultas Sastra dua tahun lalu.
“Elsa, tugas mengarang cerita fiksi dalam Bahasa Inggris sudah kamu kerjakan?” tanya Jo di seberang sana.
“Mmm…, sedang kukerjakan, Jo, tapi belum siap. Masih kutulis dalam Bahasa Indonesia, nanti baru kuterjemahkan ke Bahasa Inggris kalau sudah selesai.”
“Oh…, aku boleh ke rumahmu sekarang, Sa?”
“Ke rumahku? Untuk apa? Nggg…, sebaiknya jangan dulu, Jo, aku lagi sibuk ngetik. Besok saja kutunjukkan hasil karanganku ke kamu di kampus.”
Tanpa mengiyakan, hubungan seluler diputuskan Jo dengan kecewa. Aku dapat mengerti perasaannya. Ini kali kesekian aku melarangnya berkunjung ke rumah, bahkan entah kali keberapa pula aku menolak ajakannya keluar rumah, walaupun sekadar jalan-jalan, makan, shopping, atau nonton. Bukan karena apa, hanya karena aku tak mau memberinya harapan disebabkan hatiku tak ada padanya.
Tahun ini, usiaku sudah genap 20, tapi aku masih belum memikirkan untuk memiliki pacar. Pikiranku masih terfokus untuk menjaga rumah dan Jerick, adikku satu-satunya seperti pesan Papa dan Mama yang telah pindah tinggal di luar kota dua tahun lalu karena tuntutan pekerjaan.
Di usiaku yang masih 18, dua tahun lalu, aku dipercaya untuk mengurus rumah dan Jerick. Erwin dan Wito adalah dua sahabat baik Jerick yang sering main ke rumah. Kehadiran mereka membuat hari-hariku dan Jerick terasa lebih berwarna, lebih semangat, dan lebih hidup. Aku sudah puas dengan apa yang kami dapat hari ini dan tak memikirkan untuk mendapatkan sesuatu yang lain, seorang pacar seperti Jo misalnya.
Dan lagipula, aku merasa hatiku seperti terikat pada seseorang. Pada anak itu yang hadir dalam mimpi-mimpiku. Anak itu seperti menjelma dalam dunia nyataku sekarang.
Suara derap langkah yang berisik dan menghentak-hentak terdengar lagi dari loteng atas. Haduh, mereka bertiga masih main hide and seek. Biarlah mereka main sepuasnya karena masa kanak-kanak akan segera berakhir dan mereka tak akan bisa lagi bermain seceria ini kelak, bila masa kanak-kanak sudah lewat.
Aku bangkit dari kursiku, meninggalkan layar laptop sejenak dan berjalan ke belakang, bermaksud naik ke loteng atas. Begitu langkahku sampai di belakang, di ruang dapur, terdengar suara, “Gubraaak…!”
Wito terjatuh dari anak tangga karena kakinya terpeleset menginjak anak tangga ketika berlari-lari menghindari kejaran Erwin. Tampaknya, kakinya terkilir sedikit hingga tak bisa bangkit.
Aku mendekatinya, mencoba membantunya bangkit dengan mengulurkan tangan. Dia menatapku sesaat, menggantungkan tangannya di pundakku hingga aku bisa membopongnya bangkit, mencoba berjalan.
Saat kami berdiri begitu dekat, aku dapat melihat wajahnya dengan jelas. Dia memiliki sebutir tahi lalat kecil di bawah mata kiri, jari-jari tangannya sangat lentik, di pahanya seperti ada bercak bekas gigitan hewan, di leher kirinya seperti ada tanda merah. Dalam sekian detik, otakku berpikir dan berputar cepat. Aku mencoba mencari tanda yang terakhir di ubun-ubun kepalanya. Betul! Ada dua unyeng-unyeng di situ.
Semua tanda yang dimiliki olehnya sama seperti tanda-tanda yang dimiliki tokoh dalam kelima kehidupan lampau yang filmnya ditayangkan dalam mimpiku.
Jari-jari tangan yang lentik mirip jari-jari tangan selir kesayangan raja yang pintar memainkan harpa. Tanda merah di leher kiri seperti bekas tusukan pedang. Bercak seperti gigitan hewan adalah bekas gigitan ular di paha gadis kesasar yang nyawanya diselamatkan pemuda penebang pohon di hutan. Tahi lalat di bawah mata seperti kepunyaan si gadis dalam kisah sepasang kekasih yang terpisahkan karena larangan orangtua. Dan dua unyeng-unyeng di ubun-ubun kepala itu adalah milik si murid bandel di kehidupan lampau.
Mataku nanar menatap wajah imut tampan di depanku. Pipinya yang mulus masih menghadirkan seulas senyum riang walaupun kakinya sedang terkilir. Bahkan sepasang matanya yang selalu berbinar masih juga bisa melirik dengan nakal.
Kepalaku terasa oyong. Teringat olehku ucapan anak itu yang hadir dalam mimpiku yang keenam. “Di kehidupan kali ini, aku akan datang kembali menemuimu sebagai…”
“Witooo…! Ada apa dengan kakakku?!” kudengar teriakan Jerick, adikku, sebelum aku terjatuh ke lantai dan tak lagi ingat apa-apa.
* Medan, Januari 2017