Oleh: J Anto. SEJUMLAH pemusik Medan, Bali, dan Jakarta menembangkan lagu-lagu sarat pesan penting untuk membangun harmoni dengan sesama dalam segala perbedaan. Juga pesan untuk menghargai alam semesta. Sebuah pentas yang mengingatkan pentingnya membangun budaya dunia satu keluarga.
Panggung gelap gulita, suara pukulan gendang beriring tepuk tangan dari ribuan penonton tiba-tiba bergema saat dari kiri panggung, lampu menyorot ke arah sosok laki-laki yang berjalan perlahan ke tengah panggung.
Laki-laki itu mengenakan udeng (ikat kepala) dan baju adat Bali, dikombinasi kamen, kain sarung bali diikat saput. Tangan kanannya terangkat ke atas sembari menggoyang-goyangkan suling yang dipegangnya. Begitu sampai di tengah, panggung berubah terang karena sinar cahaya videotron tiba-tiba menyala, memerlihatkan foto sang pemegang suling, Gus Teja
Tak salah, inilah maestro suling asal Bali yang melejit namanya sejak merilis album Rhytm of Paradise pada 2009. Alunan lagu Unify pun segera mengalun dari tiupan suling Gus Teja. Tak lama, dua patung Sigale-gale melengak-lenggok di atas panggung. Aplaus penonton menggema. Panggung makin jadi terang, penuh kilauan cahaya saat layar videotron raksasa menayangkan video klip lagu Unify karya Gus Teja World Music.
Unify menggambarkan ziarah budaya sang musisi kondang Bali itu tentang keberagaman budaya yang ada di tanah air dalam bingkai persatuan. "Jika selama ini tari Sigale-gale diiringi gondang sabangunan, kali ini diiringi alunan suling, dalam perbedaan kita bisa saling menerima dan mengisi," ujar Koordinator Acara Konser Gebyar Kasih, Rina Lu, saat ditemui di Cemara Asri Medan, Sabtu (18/8).
Saat Jumat (17/8) pagi bangsa kita mengadakan upacara memeringati perayaan HUT ke-73 Kemerdekaan RI, pada malam di Sky Convention Hall, Cemara Asri Medan, diadakan Konser Gebyar Kasih Semesta.
Selama 2 jam, sekitar 2.000 penonton dihibur nyanyian, musik, tari, dan permainan suling Gus Teja. Para penyanyi sebagian besar dari Medan, kecuali Gus Teja (Bali), dan Liu Chia Ling (Jakarta).
Sebelas penyanyi Medan itu, Andy ChenSing, Link Chow, William Tandean, Shierly Khu, Fenny Kie, Meidy Li, Indriawati, Calvin William, Ivan RBB, Meiriana Ulfa, dan Fendy Lin, Kantata Choir, Devote Singers (vokal grup), Lim’s Music Orchestra, Lucky Dancing Group, dan Team Tari International Awan Putih & Semerbak Bunga.
Konser digelar International Nature Loving Association Indonesia (INLA), yang memajang tema, "Indonesia Harmonis, Dunia Satu Keluarga."
Energi Positif
"Musik mampu memberi energi positif menuju kedamaian bagi orang, juga bagi alam semesta," ujar Gus Teja saat ditemui keesokannya. Ia sadar, musik tak bisa seketika mengubah hati orang. Harus ada upaya intensif untuk mendengarkan musik bagi orang yang ingin rasa damai, tenang, tidak mudah marah atau stres.
Energi positif musik bisa berasal dari bunyi atau suara, bisa juga dari syair lagu yang inspiratif. Pada konser INLA, para penyanyi membawakan tembang-tembang sarat pesan mulia, hidup harmonis dengan sesama walau beda etnis, suku, agama, kepercayaan, dan budaya, hidup saling mengasihi, termasuk terhadap alam raya.
Gus Teja dikenal sebagai musisi yang telah mencipta lagu-lagu lewat vokal suling yang melodinya banyak menghadirkan nuansa damai, tenang, dan sejuk bagi telinga dan hati penggemarnya. Lewat Gus Teja World Music, musisi muda Bali ini memadukan musik berbasis tradisi etnik Bali dan etnik lainnya.
Dalam 4 album yang sudah dihasilkan, ia menggabungkan suling bali, gambuh (suling panjang bali), tingklik (kulintang ala bambu ciptaan Gus Teja), slonding dipadu alat musik modern seperti gitar bas, gitar akustik, dan drum.
"Tampil dalam Konser Gebyar Kasih Semesta, saya merasakan rasa kekeluargaan yang tinggi," katanya.
Penyanyi muda Jakarta yang tampil memukau dengan pianonya, Liu ChiaLing (23), mengakui, syair lagu-lagu Kasih Semesta Alam dari INLA, mengandung energi positif mengubah budaya orang menjadi lebih baik. Malam itu, ia membawakan lagu Alami Bahagia Selamanya diiringi tari sipitu sawan dari Batak. Ia juga berduet dengan Gus Teja saat membawakan lagu Qiu Chan dan Gan Lan Shu.
Soal energi positif musik, bungsu dari dua bersaudara ini bilang tak perlu cari contoh jauh-jauh. "Saya sendiri kini menjadi penganut vegetarian sejak sering menyanyikan lagu-lagu kasih semesta INLA."
Guru vokalnya adalah Elfa Secioria (almarhum), musisi kondang yang telah banyak mengorbitkan penyanyi terkenal seperti Yana Julio, Lita Zein, Rita Effendi, Titi DJ, Uci Nurul, AgusWisman, FerinaWidodo, dan lain-lain.
"Bak angin saja, begitu anak sapi baru lahir langsung dipisahin dengan induknya, bagaimana kalau itu terjadi sama kita, kita dipisahkan dengan ibu kita? Hewan juga punya perasaan," ujar Chai Ling.
Padahal sebelumnya, seperti anak muda seusianya, ia gemar menyantap kuliner junk food yang biasanya diracik dari bahan daging kerbau, sapi atau ayam. Namun sejak menganut vegetarian, ia tak lagi mengonsumsi daging dan ayam.
Sebagai generasi muda, ia yang bersama Elfas Secioria Choir memenangkan Olympia Choir Games, sadar, dalam masyarakat plural seperti Indonesia, banyak terdapat perbedaan. Namun keberagaman itu mestinya diterima sebagai anugerah karena sudah ada pemersatunya, yaitu dasar negara Pancasila dan BhinnekaTunggal Ika.
"Sebagai sebuah bangsa kita itu sudah seperti satu keluarga. Karena itu jika sudah satu keluarga, buat apa kita saling melukai?” ujar duta wisata dari Kementrian Pariwisata yang menyanyikan lagu Pesona Indonesia dalam versi Mandarin itu.
Chia Ling, punya keyakinan bahwa lagu-lagu kasih semesta mampu menginspirasi orang untuk mengubah orang dari budaya hidup yang kurang menghargai sesama, menjadi orang yang lebih toleran, lebih menghargai makhluk hidup dan alam semesta.
Saling Mengisi
Art Director Konser Gebyar Semesta, Hardjotoli, menyebut tema keberagaman konser, tak hanya tercermin lirik-lirik lagunya. Tapi juga ragam vokal penyanyi, ada yang dikaruniai suara tenor, sopran, dan alto. Aliran para penyanyi ada yang solois, vokal grup, orkestra, dsb. Dari sisi agama juga ada Islam, Buddha, dan Kristen.
"Busana yang dikenakan penyanyi dan penari juga kombinasi dari busana tradisional yang ada di tanah air," ujar Toli, panggilan akrab Hardjotoli. Baik Toli dan Reny Lhu, mengaku tak mau terjebak pada etnosentrisme sempit. Jika bagian atas adalah busana melayu, maka harus dikombinasi dengan busana dari etnis lain.
"Kita harus mau saling menerima dan mau saling mengisi perbedaan," katanya. Hasilnya, begitu ujar Reny Lhu, sangat indah dan artistik.
Ibarat taman bunga, saat diisi bunga yang sejenis, umumnya menimbulkan kesan kurang indah. Berbeda jika sebuah taman aneka jenis bunga. Selain menyejukkan dan menimbulkan keindahan, juga mampu menyejukkan hati.
Bicara kesejukan hati, malam itu sejak awal konser, penonton sebenarnya sudah disuguhi 4 buah lagu Tanah Airku (Shierly Khu - William), Rayuan Pulau Kelapa (Fendy Lin - Meidy), Indonesia Pusaka (Meitina Ulfa, Andy, Link Chow), Kebyar-kebyar (Ivan, Indri, Fenny Khie,Calvin) dan Hari Kemerdekaan, gabungan dari sebelas penyanyi.
Jika saat di antara empat lagu tersebut koregrafer yang mengiringi adalah berbagai tari nusantara, maka pada lagu Hari Kemerdekaan, layar videotron berubah jadi bendera merah-putih. Para penari latar mengibarkan sang merah-putih, yang bergoyang melambai-lambai bak terkena hembusan angin.
Sebuah pesan yang jelas, segera akhiri pertikaian atas nama perbedaan agar merah-putih terus berkibar sepanjang hayat. Bukankah kita hidup dalam budaya dunia satu keluarga?