Oleh: Arif Budiman.
Perkembangan dunia teknologi komunikasi semakin masif menguasai bumi. Kebutuhan akan teknologi masuk ke segala aspek peradaban manusia. Termasuk aktivitas senirupa hari ini. Para seniman ‘dipaksa’ berfikir untuk mengelaborasi teknologi dalam karya seninya.
Memasuki era Revolusi Industri 4.0, kemampuan beradaptasi dan bertransformasi menjadi faktor penting yang harus dimiliki seniman. Revolusi industri menempatkan teknologi informasi dan komunikasi sebagai inti dari setiap aspek proses kreatif yang dilakoni seniman.
Semua hal yang berkaitan dengan proses kesenian diupayakan terkoneksi secara digital. Peluang dan tantangan untuk mengadopsi teknologi dalam karya seni patut menjadi pertimbangan. Jika tidak, seniman bisa saja terlindas oleh ngebutnya perkembangan teknologi komunikasi.
Transformasi digital dalam karya seni bisa dimulai dengan kerja kreatif yang dilakukan secara kolektif-kolaboratif. Memadu padankan ragam keilmuan untuk merancang sebuah projek kesenian. Semisal yang terjadi pada kelompok kesenian TeamLab dari Jepang. Karya Venzha Cristiawan, Heri Dono dan Dedy Shofianto dari Indonesia diantaranya.
Karya TeamLab dari Jepang di antara contoh baik yang bisa direferensi. Kelompok yang didirikan Toshiyuki Inoko sejak tahun 2001, adalah kelompok interdisipliner ultratechnologists. TeamLab berfokus pada proses elaborasi antar disiplin ilmu. Tujuannya untuk menemukan dimensi baru dalam konseptualisasi seni dan inovasi teknologi.
Kerja kreatif TeamLab berusaha untuk menyatukan unsur seni, sains, teknologi, desain dan dunia alam. Berbagai spesialis ilmu seperti seniman, programmer, insinyur, animator, ahli matematika dan arsitek terlibat di dalam proses kreatifnya.
Di Indonesia TeamLab pernah mempresentasikan karya seninya dalam gelaran seni rupa ARTJOG tahun 2014 di Yogyakarta. Bahkan di Jepang, Singapura dan China TeamLab punya loboratorium sendiri. Karya seninya sudah dipamerankan diberbagai benua. Secara online karya TeamLab bisa dinikmati di source www.teamlab.art.
Seyogyanya karya TeamLab memberikan gambaran, bahwa teknologi digital telah memungkinkan kita untuk lebih bebas dalam berkarya. Inilah yang dipikirkan Toshiyuki Inoko saat menempuh studi di Universitas Tokyo sekitar tahun 90-an. Dia melihat peluang perkembangan teknologi akan kian pesat di masa depan.
Dia mulai berfikir bagaimana seni dan teknologi berada dalam diemensi digital. Karya seni bisa berinteraksi dengan manusia. hingga membentuk aset budaya baru dalam dunia kesenian masa kini.
Seniman Indonesia juga berkerja secara kolaboratif dengan berbagai spesialis keilmuan yakni Venzha Cristiswan. Seperti pada karya commission work dalam ARTJOG tahun 2017 di JNM Yogyakarta bertajuk Universal Influence.
Venzha berkarya bersama kelompok The House of Natural Fiber (HONF) dan Yogyakarta New Media Art Laboratory. Sebuah kelompok yang bergerak dalam kreativitas seni dan teknologi. Suatu wacana kesenian yang berada dalam lingkup New Media Art.
Karya-karya Venzha memang acap kali bermain di wilayah teknologi. Mengelaborasi alam ruang angkasa sebagai ruang kreatif dalam berkarya seni. Dalam beberapa media ia menyebut sebagai Space Art.
Di ARTJOG 2017 silam, Venzha menamai karyanya Indonesia Space Science Society atau ISSS. Bagi Venzha, ISSS disebut sebagai institusi atau semacam platform yang menghubungkan masyarakat dengan ilmu pengetahuan tentang dunia ruang angkasa. Semacam radio astronomi yang berfungsi seperti teleskop untuk menangkap frekuensi.
Racikan visualnya merupakan mercusuar yang disertai dengan instalasi kinetik berbentuk blower berdiameter 2,5 meter dan dalamnya 50 meter. Satu antena dipasang di menara setinggi 36 meter. Satu kelompok antena lainnya dipasang di atas berfungsi sebagai alat penangkap sinyal dan frekuensi.
Jika difantasikan karya ini berbentuk seperti UFO. Untuk memperjelas rekaman frekuensi yang didapat, Venzha telah menyiapkan 12 televisi, simulasi dan animasi bergerak tentang karyanya.
Proses kreatif yang dilalui Venzha juga tidak mudah. Proses pengerjaannya membutuhkan waktu yang agak lama. Serta keterlibatan banyak orang dalam lintas ilmu yang beragam.
Dia mulai merintisnya sejak 2006. Beruntung, pernah mengikuti kegiatan Pacific Rim Grant for Telematic Technology di University of California, Amerika Serikat. Juga Transmediale 05, ‘BASICS’, Jerman. Acara tersebut memberikan pengalaman terhadap proses kekaryaannya.
Seniman kenamaan, Heri Dono sejak 1990 mulai mengelaborasi karya seni instalasinya dengan sentuhan teknologi. Memberikan teknik kinetik art pada karyanya. Seperti mengeksplorasi gerak, bunyi, daya dan sensor. Karya yang seperti ini selalu memberikan daya tarik sendiri pada penonton. Dia berbeda dari kaya seni konvensional lainya seperti, lukisan, patung, kriya atau grafis.
Heri Dono, seniman kriya Dedy Sofianto di Yogyakarta, mengelaborasi kecakapan dalam bidang seni kriya, kinetik, sains dan teknologi. Karyanya yang fenomenal adalah Burung Garuda Pancasila. Sayap burung Garuda bisa bergerak melambai-lambai - slow motion dibuatnya.
Dedy sendiri yang merasa tertantang menciptakan karya yang bisa berinteraksi dengan penonton. Selama ini, karya di ruang pameran cenderung statis. Dia berfikir bagaimana karya itu bisa berinteraksi melibatkan penonton.
Maka sejak 2013 dia mencoba bekerja kolaboratif. Kecakapan dalam seni kriya - mahir merupa kayu, dia ‘kawinkan’ dengan pola kerja mekanikal (mesin). Melalui kerja motor dinamo dan sensor.
Karya-karya yang dirancang Dedy banyak mendapatkan pengaruh dari seniman Rudi Hendriatno. Hanya saja Dedy lebih banyak bermain dengan objek-objek hewan yang bergerak - kinetik. Seperti kumbang, kupu-kupu dan burung dan sejenisnya.
Di Jepang sendiri kompetisi seni berbasis pada teknologi sering digelar. Diantaranya The Japan Media Arts Festival (JMAF). Festival ini fokus pada Art, Entertainment, Animation dan Manga. Karya-karya yang dirancang memiliki potensi untuk melintasi ruang dan waktu, yang bermakna bagi pelihatnya di masa depan.
Karya Kanno So salah satunya. Robot mini yang bisa melukis grafiti. Karya berjudul Senseless Drawing Bot (mix media, mobil mini kinetik). Robot itu bisa hilir mudik bolak-balik menyemprotkan spray pada bidang yang sudah disiapkan. Walaupun bentuk yang dibuat masih berupa abstraksi. Berupa goresan warna-warni saja.
Bagi Kanno So, seni grafiti memang menarik. Terpenting baginya, alat yang kita gunakan untuk menunjang kinerja. Kinetik menjadi penting.
Media baru itu, seperti gadget, aplikasi, games, animasi, kinetik dan sejenisnya menjadi konsep karya yang menantang di era revolusi saat ini. Memanfaatkan kerja teknologi termutakhir demi sebuah peradaban (seni).
Kerja-kerja seni tidak lagi dikerjakan sebatas ekspresi individu semata. Keterlibatan lintas keilmuan dibutuhkan untuk menciptakan karya yang menggugah. Terlebih melibatkan publik seni untuk saling berinteraksi dengan karya seni.
Penulis; Pengajar Seni Rupa dan Desain di Institut Teknologi Sumatera (ITERA)