
Oleh: Rhinto Sustono
Satu hal yang tidak bisa dipisahkan dari kajian aristektur di tanah air, yakni menyangkut bangunan lama yang hingga kini masih berdiri kokoh menantang zaman. Bangunan rumah, gudang, jembatan, atau apa pun itu yang sudah melebihi kurun waktu setengah abad, bisa ditasbihkan sebagai cagar budaya.
Kendati demikian, untuk menyandang predikat bangunan cagar budaya, ada regulasi dan syarat yang harus dipenuhi. Tentu pengambil kebijakan dan para ahli sejarah memrosesnya melalui kajian mendalam untuk selanjutnya diajukan agar mendapat pengesahan sebagai cagar budaya.
Kadang kala, sebuah bangunan menyimpan banyak situs yang bisa berkategorikan sebagai benda cagar budaya. Bahkan keterhubungan antara satu bangunan di satu tempat dengan bangunan lainnya yang juga bernilai budaya, bisa ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya.
Di Sumatera Utara misalnya, keterkaitan sejarah dan budaya yang mewarnai proses perjalanan lahir dan berkembangnya provinsi ini banyak menyimpan situs berupa kebendaan, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, hingga kawasan cagar budaya. Sebut saja peninggalan Kerajaan Aru yang kini berusaha di pertahankan Pemkab Deliserdang, berupa Benteng Putri Hijau di Kecamatan Delitua yang terhubung dengan kawasan Kotacina di dekat Danau Siombak, Medan Marelan.
Sebagai wilayah yang tanahnya subur dan memiliki potensi besar untuk ditanami komoditas tertentu, Sumut masa lampau menjadi incaran perusahaan-perusahaan besar dari Asia hingga Eropa. Lahan di antara Sungai Ular dan Sungai Wampu adalah ‘hamaran emas’ yang menghasilkan tembakau Deli, paling sohor hingga di pasar lelang Bremen, Jerman.
Tak heran, kehidupan masa lampau itu meninggalkan jejak sejarah yang bernilai budaya. Bangunan-bangunan masa silam itu sebagian masih tertinggal dan awet. Selain berdiri kokoh di inti Kota Medan, sebagian besar lainnya tersebar di kasawan perkebunan, khususnya di Kabupaten Deliserdang.
Dari kajian arsitektur, tentu peninggalan-peninggalan tersebut bisa memberikan nilai edukasi bagi generasi kini dan berikutnya. Terutama peninggalan berupa bangunan yang mengisyaratkan kebudayaan masa silam agar memberikan semangat bagi penguatan kepribadian bangsa.
Langkah baiknya, terkait Hari Museum yang diperingati setiap 12 Oktober, Pemkab Deliserdang berupaya mengiventarisir keberadaan cagar budaya yang tersebar diseluruh wilayah mengelilingi Kota Medan. Upaya ini dilakukan dengan secara langsung melibatkan partisipasi masyarakat.
“Kami libatkan masyarakat, khususnya yang punya hobi fotografi untuk berpartisipasi memetakan keberadaan cagar budaya di Deliserdang. Caranya ya dengan menggelar kontes foto. Jadi masyarakat terlibat langsung memetakan melalui karya fotonya,” ungkap Kadis Pemuda Olahraga Budaya dan Pariwisata (Porabudpar) Deliserdang H Faisal Arif Nasution kepadaAnalisa, Jumat (18/10).
Sebanyak 50 hasil foto pilihan juri sekaligus pemetaan cagar budaya itu, kemudian dipamerkan di Museum Daerah Deliserdang selama 10 hari, 18 – 28 Oktober 2019. “Tujuannya agar masyarakat lainnya juga bisa melihat, mengenali, dan seminim mungkin akan terpanggil untuk berperan merawat cagar budaya ini,” imbuh Faisal Nasution didampingi Kepala Museum Daerah Deliserdang Afri Deliansyah Nasution.
Faisal Nasution yang juga Ketua IMI Sumut ini menyebut, adapun kriteria cagar budaya salah satunya sudah berusia 50 tahun atau lebih, mewakili masa gaya paling singkat 50 tahun, memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, kebudayaan, serta memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
Jika ditelusuri lebih jauh, banyak sekali bangunan yang bisa berkategori cagar budaya, terdapat di sejumlah kawasan perkebunan PTPN2. Baik itu bangunan rumah dinas manajer dan staf (eks bangunan rumah pembesar Belanda di tanah jajahan), gudang tembakau, benda-benda di dalam gudang yang juga bernilai sejarah dan usianya lebih 50 tahun, hinga rumah-rumah ibadah peninggalan Kesultanan Serdang.
Sejumlah bangunan dan bersejarah itu, kini ada yang masih dikuasai pemilik (warisnya), perusahaan, bahkan masyarakat secara individual. Sehingga untuk membebaskan aset cagar budaya itu dibutuhkan kerja keras dan tentu saja keikhlasan pemilik agar semuanya bisa dikelola pemerintah.
Tiga Komponen
Setidaknya terdapat tiga komponen yang harus dilibatkan untuk melestarikan cagar budaya. Faisal Nasution merincikan ketiganya, yakni pemerintah, masyarakat, dan swasta. Pemerintah berperan membuat peraturan dan sosialisasi, melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan.
Sedangkan masyarakat dan swasta berperan melindungi dan merawat, mengembangkan serta memanfaatkan. Masa depan cagar budaya menjadi cerah bila memenuhi tiga hal. Pertama, identitas budaya yang kuat. Kedua, kesejahteraan yang lebih baik, dan ketiga, kesinambungan masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Dari aspek arsitektur, hasil foto yang menjadi iventaris museum tersebut, dominan mengarah pada bangunan rumah, gedung fasilitas umum, gudang, makam, dan rumah ibadah. Beberapa saja yang memetakan benda cagar budaya, misalnya pesawat penyiram tanaman tembakau, menara air, dan lainnya.
Karena tertuju pada bangunan masa lampau, sudah pasti desain arsitekturnya mengarah ke gaya Eropa yang diselaraskan dengan iklim tropis di Sumut. Sebut saja rumah dinas Manajer PTPN2 Kebun Bulucina di Kecamatan Hamparanperak, rumah dinas direksi SDM yang kini dimanfaatkan untuk guest house, RS GL Tobing Tanjungmorawa (karya Indra Kesuma Batubara), juga Stasiun Kereta Api Bandar Klippa di Kecamatan Percut Seituan (karya Hengki Suwandi).
Gaya khas rumah adat Melayu juga mendominasi, layaknya Masjid Sultan Basyaruddin Rantaupanjang Kecamatan Pantailabu, Balai Datuk Maharaja, Rumah Datuk Urung Sepuluh Kutaraja, dan lainnya. Pun perpaduan antara gaya Eropa dan gaya Melayu, yang khas dengan jendela bukaan kupu-kupu lebar dan gedung berlantai dua, seperti Kantor-Asrama Panti Asuhan Alwasliyah di Lubukpakam, rumah peninggalan Belanda di Batangkuis, dll.
Peran masyarakat sangat dibutuhkan dalam upaya melestarikan cagar budaya, khususnya masyarakat lokal setempat, mengingat masyarakat setempatlah pewaris kebudayaan dan langsung bersinggungan dengan cagar budaya yang ada di daerahnya. Karena itu, rasa kepedulian dan pemahaman masyarakat akan pentingnya melestarikan cagar budaya, berpengaruh besar bagi kelestarian dan keberlangsungan cagar budaya tersebut.