Penjahit Kenangan

penjahit-kenangan

Oleh: ​Radja Sinaga

DI era industri 4.0 orang-orang menginginkan sesuatu de­ngan cepat, praktis, dan tentunya menguntungkan. Dalam sekali tindakan menghasilkan lusinan benda. Di suatu waktu yang bia­sa, di mana daun-daun berwarna kuning belum ranggas dari tang­kai­nya. Api menolak menjadi dik­si dalam puisi yang mengum­pa­makan rindu berkobar, atau hujan yang sebenarnya hanya pro­ses geografis. Para pemikir me­ngelu-elukan manusia sepa­tut­nya menjadi monitoring saja! Akhirnya terciptalah robot-robot dan mesin-mesin.

Ini langkah awal menyentuh pera­da­ban. Bayangkan bila ma­nusia hanya mampu membuat be­berapa benda dalam sehari. Revolusi industri ini mesin-me­sin yang kami ciptakan bisa meli­patgandakan hasilnya. Begitulah kira-kira kalimat pembuka yang kau baca di koran ibu kota saat negara ini mulai sibuk dengan industri 4.0. Sebelum bacaan itu selesai kau telah melenggang ja­uh meninggalkan rumah. kau bi­arkan koran itu tidur di lantai te­ras kosmu.

Bukan kau tak ingin membaca berita itu. Sepagi ini kau harus me­nuju ke tempat konsumen. Kau pekerja yang profesional, ter­lebih saat ini sangat sulit men­jumpai orang yang ingin meng­gu­nakan jasamu. Ketimbang mem­baca berita yang makin me­nyayat hati, lebih baik kau pergi berkerja.

“Toh dengan membaca kela­paranku tetap menganga,” begitu kau memotivasi diri sendiri sam­bil melampiaskan ke­kesal­an kepada industri 4.0.

* * *

Tanganmu tak lagi mampu me­nyaingi mesin-mesin jahit. Jari-jarimu yang hanya sepuluh terlalu kecil dihadapan satu jari yang mengetuk layar mesin jahit. Lambat laun orang-orang yang se­ring memesan kepadamu un­tuk dibuatkan pakaian atau me­reparasi pakaian kini menghilang serupa pejuang-pejuang refor­ma­si.

Kini mesin jahit yang kau pu­nya berdebu. Tempat duduk yang biasa membuat bokongmu nyeri tak lagi pernah kau duduki, ke­cuali dalam waktu iseng kau du­duki beberapa saat sekadar me­ng­ingat kenangan. Kenangan yang tak lekang di bilik ingatan­mu. Di mana waktu yang mem­beku itu pernah mem­buat hidup­mu lebih bermakna di dunia.

Saat kau duduki bangku me­sin jahit itu. Kepalamu berubah menjadi kereta api yang melin­tasi stasiun-stasiun waktu. Suara klakson kereta api seperti bunyi mesin jahit. Gemertak roda kereta api bak lehermu yang linu.

Di bawah meja mesin jahit, di sam­ping pintu kosmu, lamat-lamat kau tatap benang dan jarum yang tersusun rapi dalam kardus. Sempat tanganmu hendak me­raih benang dan jarum itu, tetapi kauurungkan seketika. Bukan ka­rena kau tak tahu lagi bagai­mana caranya menja­hit. Bukan! Jika saja ada orang datang untuk memintamu menjahit baju atau menambal pakaianya, kau masih sang­gup. Jahitanmu tak berubah, rapi seperti kenanganmu saat ibu­mu tanggal. Hanya mesin jahit itu yang masih tersisa untuk sekadar mengenang.

Kau bawa mesin jahit itu dari kam­pung setelah ibumu dima­kam­kan. Konon kata ibumu, me­sin jahit itu sudah ada saat ne­nekmu masih kanak-kanak. Se­telah kembali lagi ke kota, kau belajar bagai­ma­na mengoperasi­kan mesin jahit itu. Berulang ka­li jarimu tertusuk jarum. Tak ra­tanya jahitanmu. Sesekali pun tangan­mu menolak berhenti.

Pernah suatu malam selepas aku pulang kuliah dan mampir ke kos teman­ku. Bergema suara mesin jahit.

“Dari mana datangnya?” ka­ta­ku saat kami asyik membica­rakan wanita depan kos temanku yang selalu berpakaian terbuka.

“Mungkin habis menjajakan tubuh.”

“Maksudmu?”

“Wanita di depan ‘kan?”

“Suara itu, suara mesin jahit!”

“Ah, kalau itu dari sebelah.”

“Sudah lama?”

“Agaknya.”

* * *

Malam-malam selanjutnya, kira-kira seumur cabai setelah aku tahu kau pandai menjahit, semakin giat aku datang ke kos temanku. Tatkala aku rela sen­dirian di kosnya bila dia pergi. Bahkan tak jarang aku menginap sebab di dadaku menderu ingin mendegar kau memainkan mesin jahitmu. Telingaku seolah ter­cipta untuk mendengarkan bu­nyi­an mesin jahit yang mengalun dari jari-jarimu.

Beberapa kali kutahan bila kantuk menyerang mata. Mulut tak berhenti menyesap kopi dan asap rokok membu­bung di udara. Aku suka kesunyian begi­ni. Ha­nya dentang jam dan helaan nafas di kos ini terdengar. Ternyata ke­sunyian tak begitu membosan­kan, jika tanganmu tetap mema­in­kan mesin jahitmu.

Malam menggantung. Udara menge­ras. Angka-angka di jam ber­jatuhan. Wak­tu seperti berlari dan bulan bak dike­jar matahari. Jari-jarimu tetap menga­lunkan suara mesin jahit. Tepat pukul ti­ga, tak terdengar lagi apa pun. Kesunyian menjelma penjara. Lantas aku menjadi lelaki yang menjilat ludahnya sendiri dan serba skeptis.

Pernah suatu waktu, di sela daun pintu yang masih terbuka, kau berjibaku dengan kain-kain yang jumlahnya seperti revisian skripsiku. Di jam menunjukkan pukul yang berat. Kau masih la­ten di sana. Kau seperti kesuru­pan.

“Sesekali berhentilah meng­gi­la, mengasihani diri sendiri itu perlu,” sapaku di luar kosmu se­raya menghem­buskan asap ro­kok ke segala arah.

Kau hanya tersenyum. Sete­lah­nya wajahmu kau buang kem­bali ke tumpuk­kan kain. Kepalaku berusaha mencari kata-kata yang tepat. Kata-kata yang mampu me­mancing mulutmu berucap.

Setiap kali aku ke kos temanku. Bila pintumu terbuka dan kau ma­sih sibuk dengan kain-kain, ku­duduk lamat-lamat menatapmu. Tak lupa sesekali aku ber­kata-kata, meski hanya senyummu dan sete­lahnya kau palingkan ke kain-kain.

“Barangkali kau perlu menggu­nakan jasanya,” kata temanku sesa­at kutanya bagaimana caranya aku bisa berbicara dengannya. Sebab dari dia, kau memang tak banyak berbicara terlebih ke pria, jika pun kau berbicara dengan prai itu hanya pada orang-orang tertentu.

“Aku tak punya pakaian yang perlu diperbaiki atau mengingin­kan pakaian baru.”

“Tempa saja dulu, nanti setelah jadi bisa untukku.”

Di malam selanjutnya, sebelum gagang pintu kosmu hangat karena genggamanmu, kutunggu kau di sana. Angin membeku di udara na­mun tak derak-derak daun ber­jatuhan - sebab mempunyai kos di tengah kota dan kota selalu meng­ajarkan mengasingkan pohon-pohon. Mereka seperti hama bagi manusia, terlebih bagi orang-orang yang berada di dinas kebersihan.

Cukuplah sampah-sampah dari cipta­an manusia yang merepotkan petugas-petugas itu, daun-daun berwarna keku­ning­an dan hijau tak perlu! Dan jika pun pohon-pohon tumbuh di sini, dia tak akan lebih sekadar menjadi wadah wajah orang-orang yang mengemis sua­ra-suara kita di hari yang konon mereka sebut hari demokrasi!

Bulan makin meninggi. Malam men­da­pat­kan dirinya serupa di musim kemarau: tak ada hujan dan tanda-tanda akan gerimis. Tentu­nya aku senang, sebab tak perlu ku­tuliskan narasi seperti cerita-ce­rita pendek lainnya yang selalu sa­ja datang hujan bila seseorang me­nunggu di luar.

Kelopak mataku mulai mena­rik-narik. Di kejauhan deru kenda­raan mendekat, berhenti di depan pagar kos. Mataku yang sayup, re­kah kembali. Beberapa saat se­telah kau bercakap-cakap dengan orang yang mengantarmu, kau membuka gerbang. Bulan dengan cahaya pendar memancarkan ba­yangamu. Kau terse­nyum dan aku hanya menggangguk kecil diseli­ngi senyuman tipis.

“Bisakah kau menempa baju­ku?” tanyaku sebelum tanganmu tun­tas memutarkan kunci kos. “Aku ingin sebuah kemeja ber­lengan panjang,” lanjutku. Lama kau menatap, lalu mem­ba­las sing­kat, “Tunggu ya.”

Tak lama kau keluar dengan alat pengukur baju. “Tak perlu di­ukur, ukurannya segini saja,” kata­ku sembari memberikan kemaja temanku.

“Kira-kira berapa lama siapnya?”

“Ingin cepat?”

“Tidak juga.”

“Dua minggu, bagaimana?”

Aku hanya mengangguk. “Mari masuk ke dalam dulu,” katamu ke­tika keheningan hampir mende­rai di tengah perbincangan kita.

“Tak perlu,” balasku dan bukan­nya aku tak ingin tapi bila aku masuk kuyakin seluruh ruang tengah telah dipadati kain-kain. Kau masuk dan keluar kembali dengan kursi duduk­mu yang sering mene­manimu menjahit.

“Jadi kau dari tadi menung­guku untuk menempa baju?”

“Ehm, begitulah.”

“Maaf membuatmu me­nung­gu.”

“Hahaha, itu bukan soal. Ku­dengar kau seorang guru? Guru bahasa Indonesia?”

“Tepatnya calon guru.”

“Kenapa kau tak ambil juru­san tata busana, desainer atau apalah itu?”

“Setiap orang mestinya mencari jalan aman.”

“Ehm, tapi sesekali tam­pak­nya kau perlu mengajariku memainkan mesin jahitmu.”

“Maksudnya?”

“Yah, mengajariku menja­hit.”

“Untuk apa?”

“Barangkali, kelak, suatu waktu, aku akan menjahit baju pernikahanmu.”

Lalu untuk pertama kalinya kulihat kau berkelakar. Se­nyum­mu mengem­bang....

* * *

Aku sudah lama tak lagi ke sana, melihatmu berjibaku de­ngan kain-kain. Semenjak dua minggu setelah kau selesai menjahit bajuku tak lagi kuli­hat wajah­mu. Aku bayangkan lagi senyummu, dan jika waktu itu bisa kucuri senyummu se­perti seseorang di cerita lain men­curi senja. Bila takdir, tak harus membuatku bekerja pa­ruh waktu. Hanya untuk me­me­­nuhi uang rokok yang melambung tinggi serta tugas negara; menyematkan gelar sebelum angka delapan ter­injak.

Kudengar dari temanku kau telah jarang pulang ke kos sebab gagalnya pernikahan­mu. Pernikahan? Begitu? Mung­kinkah dengan orang yang meng­antar­mu waktu itu? Di suatu waktu yang biasa, di mana daun-daun berwarna ku­ning belum ranggas dari tang­kainya. Api menolak menjadi diksi dalam puisi yang meng­um­pamakan rindu yang berko­bar atau hujan yang sebenarnya hanya proses geografis. Ku­pas­tikan apakah semuanya be­nar. Temanku tak mengizinkan diriku menginap sebab malam ini dia membawa pacarnya.

“Kali ini saja.”

“Ada yang harus kutuntas­kan malam ini dengannya.”

“Aku bakalan menganggap semua itu tak ada.”

“Tetap tak bisa. Lebih baik kau telepon dia. Lalu ajak ber­jumpa.”

“Telah kucoba, tapi tetap tak ada.”

Sebelum temanku memba­las perkata­an­ku. Dari jauh pa­carnya berlari kecil menuju ka­mi.

“Ok, begini, kita suruh saja pacarku yang menghubungi­nya. Dan berdoalah juga dia sudi menganggkat.”

Maka beberapa kali kau ka­mi hubu­ngi. Hingga di depan ma­ta mengatakan menyerah adalah jalan yang mulia. Aku ingin, kuambil telepon genggam pacar temanku, berulangkali. Sampai aku hendak menyerah. Dan dengan iseng temanku menelepon sekali lagi.

* * *

Sepagi ini kau telah pergi, se­lang dua hari lalu ada sebuah ke­sepakatan. Kau diminta untuk menjahit sebuah baju. Kau harus menjahitnya di tempat yang telah dikatakan. Di pagi ini, saat kau rela membiarkan koran terbujur di lantai teras kosmu. Hanya untuk menjahit baju dengan orang yang tak kau kenal.

Dahimu mengkerut saat kau telah sampai di tempat yang telah ditentukan. Di depanmu sese­orang membuatmu tercenung lama, kau berusaha meng­ingat­­nya, tapi ingatanmu hanya me­nge­nal hari-hari ketika kau gagal menikah.

Orang yang di depanmu me­ngeluar­kan bakal baju bewarna putih dari dalam tas yang dibo­pongnya. Hendak memati­kan keheningan.

”Sesekali tampaknya kau per­lu meng­ajari­ku memainkan me­sin jahitmu!”

Kau makin dalam tercenung...

()

Baca Juga

Rekomendasi