
Oleh: Sarifuddin Siregar
LANGIT cerah berubah gelap. Hujan mengguyur deras nyaris menutup jarak pandang. Angin berembus kencang hingga badan terasa dingin. Perjalanan menuju destinasi wisata Danau Toba di Desa Silalahi-Paropo, Kecamatan Silahisabungan dari Sidikalang Kabupaten Dairi, dihentikan sejenak, Minggu (10/11) siang.
Warung kopi atau sering disebut lapo timus milik Halomoan Sidabutar (55) di tepi jalan berbatas belantara, menjadi satu-satunya pilihan berteduh. Maklum, tak ada rumah di dekatnya. Puluhan pemuda duduk sembari menyesap kopi sidikalang di warung itu. Gulungan peralatan kemah ditaruh di lantai. Mereka ngobrol penuh canda tawa.
Seiring beratnya awan, tetesan air terpercik di pelepah. Seterusnya, mendarat di tanah lalu mengalir entah ke mana. Terpikir olehku, Tuhan sungguh baik. Dengan air itu, daun tersenyum dan akar bisa minum agar sel pohon tumbuh tegar dan menyumbangkan oksigen bagi napas kehidupan manusia.
Lewat kekuatan akar, tanah tebing terhindar dari gerusan. Guyuran berkurang berganti gerimis. Saat kami duduk, sejumlah kendaraan hilir mudik. Beberapa di antaranya berhenti di parkiran depan lapo timus yang terpajang tulisan “Aek Sipaulak Hosa” (air pancuran warisan Raja Silahisabungan).
Air itu dipercaya memiliki kekuatan sebagai obat. Bagi pasangan yang menginginkan keturunan, bisa datang dan berdoa, mudah-mudahan permintaan dikabulkan.
“Ini soal keyakinan,” ujar pengawasan situs cagar budaya itu, Halomoan. Keturunan Raja Silahisabungan dari mana pun datang silih berganti. Mereka cukup membawa anggir (jeruk purut) dan daun sirih, kemudian menyampaikan keinginan setulus hati.
Halomoan, seorang ASN yang menerima penghargaan Geopark Heroes dari Gubsu T Erry Nuradi pada Pesta Danau Toba di Brastagi, Kabupaten Karo, 2016 itu, memaparkan membuka warungnya setiap hari. Upaya keras sejak 10 tahun lalu itu membuahkan hasil. Khusus Minggu, pengunjung warungnya mencapai ratusan orang. Sedangkan saat akhir dan awal baru, jumlahnya mencapai ribuan sepekan.
“Wajib antre sekaligus menguji kesabaran. Air dimaksud sekaligus mempererat persaudaraan mereka yang saling berinteraksi,” katanya.
Pengunjung dibebaskan dari pungutan. Pengunjung juga mendapatkan ketenangan rohani jika singgah. Kabar baik itu, beredar dari mulut ke mulut. Puncak kepadatan muncul saat Pesta Tugu Raja Silahisabungan yang dirayakan setiap tahun.
Tantangan berat ke depan, kata Halomoan yang didampingi istrinya, boru Hotang, yakni menggaransi hutan di sana bisa diselamatkan. Sebab, sebabagi salah satu penopang destinasi wisata Danau Toba di Desa Silalahi-Paropo adalah adanya dukungan hutan.
Realitasnya, illegal logging kian meluas. Reboisasi tak terwujud. Aek Sipaulak Hosa akan abadi andai alam lestari. Karenanya, konsep pengembangan parawisata sebagaimana dicanangkan Presiden Joko Widodo harus benar-benar didukung pemerintah daerah, dengan mengakomodir kemauan masyarakat lokal.
Selama ini, ujarnya, atensi pemerintah daerah minim. Salah satu indikasinya, jalan setapak ke Aek Sipaulak Hosa baru dibangun pada 2018. Itu pun kontraktornya gonta-ganti. Pembenahan itu dilakukan menyusul kekesalan tim Kementerian Parawisata ketika bertandang, kakinya berlumur lumpur.
Dalam hal permodalan, Halomoan mengusulkan agar diberi pinjaman lunak dari pemerintah melalui lembaga teknis. Bukan menggunakan jasa perbankan yang bunganya tinggi. Ini diperlukan agar warga setempat bisa membangun bisnisnya, misalnya menyediakan suvenir, restoran, dan lainnya.
Halomoan mengaku menghadapi kendala modal, sehingga warungnya masih berdinding papan dan tiang kayu bulat. Sangat jauh dari kelayakan.
Inisiator Festival 1000 Tenda, Hermanto Situngkir, menyebut orisinalitas Danau Toba di Silalahi-Paropo harus dipertahankan. Daerah itu harus memiliki kesitimewaan. Jangan meniru Samosir, Toba Samosir, Simalungun, dan lainnya.
Lewat agenda tahunan yang dipromosikan via media sosial, daerah itu kian dikenal. Faktanya, jumlah peserta Festival 1000 Tenda setiap tahun naik signifikan. Ketika dimulai pada 2015, pesertanya hanya 300-an orang. Tahun berikutnya menjadi 3.000 peserta, pada 2017 menanjak 5.000 orang, pada 2018 sebanyak 6.000 orang, dan tahun ini mencapai 9.200 orang.
Pada agenda itu, panitia menyuguhkan ragam kekayaan lokal. Di antaranya pergelaran Tortor Deang Namora, Tortor Silahisabungan, serta lagu Batak berikut turi-turian (legenda). Beruntung, PT PLN melirik perjuangannya. Dia menerima kucuran dana pengembangan sosial (CSR), berupa pendirian gapura dan komponen lain yang membuat ikon itu kian disukai. Kini, kaum milenial cukup familiar dengan berkemah.
Sebaliknya, pemerintah daerah termasuk Bupati Eddy Kelleng Ate Berutu belum memperlihatkan langkah nyata. Pejabat memotivasi dan janji memerhatian saat diberi ruang berpidato. Namun konkretnya masih semu. Kalaupun ada alokasi pembangunan, itu belum mengacu skala prioritas.
Diutarakan, pemkab membangun jalan menuju air terjun di Paropo. Apakah air terjun itu tujuan utama wisatawan? Realitasnya, jalan tersebut sudah rusak. “Nah, tanggung jawab siapa? Di sisi lain, air terjun itu sering “redup” di kala kemarau panjang,” katanya.
Bisnis parawisata di Kecamatan Silahisabungan hampir tanpa sentuhan pemerintah. Sesungguhnya, semangat dan daya tarung warga setempat luar biasa. Rakyat mencari ide dan mengikuti tuntunan alam.
Berkat Tuhan berupa limpahan ikan di Danau Toba, mendorong masyarakat merangkai bambu buat tempat duduk para pemancing. Hasilnya, ratusan orang memancing setiap hari, Setiap pemancing mengeluarkan rupiah buat makan dan minum.
Para pemilik lahan di tepi danau mendirikan lapak usaha kuliner tradisional, jual ikan mujahir bakar. Yang lain mempertahankan hutan mangga untuk oleh-oleh pengunjung. Semua itu dilakukan bukan atas bimbingan pemerintah.
Dorongan
“Kalau mau jujur, lima tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo, apa sih yang dibangun di Silalahi-Paropo? Barangkali, nihil. Wilayah ini dianaktirikan dibanding Toba Samosir, Samosir, dan Humbang Hasundutan,” kata Hermanto.
Begitupun ia menyambut positif program Jokowi menjadikan Danau Toba sebagai destinasi internasional lewat anggaran Rp2 triliun. Ia menyebut, pembangunan harus mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal. “Perkuat yang ada, sehingga keaslian dan pembeda bisa ditata sebagai added value.”
Silalahi-Paropo tidak butuh gedung mewah, apalagi hotel berbintang lima. Kenapa? Ketika investor kelas kakap hadir, warga lokal akan tersisih dan panorama daun rindang serta hamparan danau biru akan tertutup dinding batu menjulang. Ketika peluang itu dibuka, kapitalis akan berkuasa. Sejarah indah dan nilai sosial, bakal tinggal cerita dan lama-kelamaan akan sirna.
Bagaimana mengembangkan rumah makan agar mampu menyajikan menu sesuai selera wisatawan? Itu yang paling strategis ditangani. Bagaimana memberdayakan penduduk agar kediaman mereka berfungsi ganda sebagai home stay? Ini yang penting didorong. Bagaimana agar “uang pondok” di tepian danau tidak ditarik retribusi? Ini seyogianya diarahkan. Prinsip kedaulatan ekonomi rakyat harus dikedepankan. Bantulah rakyat berinovasi.
Pengusaha muda ini mendorong, pemerintah menyusun master plan dengan mengakomodir aspirasi masyarakat. Dengan begitu, peletakan bisnis mikro dapat ditata. Gambaran saat ini, masing-masing sesuai selera pemilik tanah. Massibaen-baen na.
Menurutnya, pemerintah harus serius membina seniman. Sanggar tari berjumlah 4 kelompok saat ini, idealnya ke depan bisa bertambah. Dunia seni harus membawa kemakmuran. Pegiat tenunan ulos mesti dikembangkan. Jangan sampai, teknologi mesin menggantikan kelincahan jemari kaum Kartini.
“Artinya apa? Kala wisatawan mau menengok cara bikin ulos, ruang dan aktivitasnya jelas dan bisa dipamerkan. Nah, sebagian dari anggaran yang digelontorkan Rp2 triliun, sebaiknya diplot guna pemberdayaan usaha kecil dan mikro,” jelasnya.
Yang tak kalah penting, keberadaan petani bawang merah di kawasan itu patut diatensi. Petani memberi warna tersendiri yang membuat wilayah tersebut lengkap jika didesain sebagai agroekowisata. Yakni perpaduan hutan, Danau Toba, dan pertanian.
Ada hal menakjubkan. Ternyata pengetahuan otodidak mengantar masyarakat sangat cekatan membuat sprinkle irigation untuk menyiram tanaman bawang. Tenaga gravitasi dioptimalkan mengalihkan air dari hutan sampai ke lahan pertanian dengan semburan mirip kembang. Padahal teknik sedemikian, biasanya diterapkan di Eropa. Model ini, jarang didapati di Sumut.
Dana lainnya, dipakai membenahi fasilitas umum. Contoh membangun toilet. Infrastruktur yang tersedia, sesungguhnya jauh dari normatif. Masih ditemukan lubang mengancam pengendara di jalanan. Di lintasan Lae Pondom, bahu jalan terlalu jauh.
Karasteristik Silahisabungan wajib dipertahankan. Budaya di daerah ini merupakan kolaborasi sub-etnis Simalungun, Toba, Karo, dan Pakpak. Makanya, tortornya unik, begitu juga logat (dialegnya).
Hermanto menyarankan, salah satu sarana yang perlu dibuat adalah jogging track sepanjang tepian Silalahi-Paropo.
Sambil lari santai, wisatawan akan menikmati angin sepoi, percikan ombak, serta terbitnya mentari. Bila lelah, tamu istirahat lalu belanja di kios yang berjejer di pinggiran danau.
Kepala Desa Paropo, Bongga Erwinson Situngkir, menerangkan program Badan Otorita Danau Toba (BODT) belum banyak diketahui. Sosialisasi relatif minim. Dia mengkritisi dua hal, yakni aliran listrik dan urgensi keramba jaring apung (KJA).
Kendati turbin listrik berkapasitas 2 x 41 megawatt eksis di Desa Silalahi, namun perkampungan ini paling sering terkena pemadaman. Bahkan hampir tiap hari. Bagaimana bicara wisata kalau rumah sering diserang gulita?
Terkait rencana penghapusan KJA, Bongga berpendapat perlu dipertimbangkan. Ikan pora-pora sudah ludes. Ikan emas kian langka dan udang kian sirna. Kalau nila di KJA juga dinolkan, lantas konsumsi ikan dipasok dari mana? Rasa ikan dari Danau Toba berbeda jauh dengan yang dari kolam.
Bila KJA ditiadakan, dikhawatirkan muncul problem baru. Harga bakalan melambung. Selama ini, budidaya ikan nila dan mujahir adalah salah satu sumber ekonomi masyarakat. Investasinya mencapai miliaran rupiah.
“Untuk kuliner rakyat, butuh 5.000 ekor setiap hari. Mau beli di mana? Relokasi atau pemindahan ke sudut tertentu merupakan solusi. Pembangunan jangan terlalu mengorbankan rakyat. Sesungguhnya, masyarakat hanya mendambakan polesan,” katanya.
Terpisah, Sekretaris Dinas Parawisata, Rotua Panjaitan, menyebut banyak kegiatan dilakukan di Silalah-Paropo. Lebih teknisnya, Kabid Parawisata, Marulak Situmorang lebih paham.
Sumber lain menyebut, ada beberapa kegiatan dilaksanakan pada tahun ini yang digelontorkan kementerian. Terdiri proyek pembangunan tempat parkir berbiaya Rp 971 juta, titik labuh/singgah Kapal Yacth berbiaya Rp 2,1 milliar, dan pembangunan toilet Rp 453 juta. Semua proyek itu di Desa Silalahi 1.
Selain itu, dialokasikan dana Rp154 juta untuk jasa pelaksanaan pariwisata Extreme Sport dan untuk penyusunan rencana induk pengembangan parawisata kabupaten diplot Rp 500 juta. Sementara itu, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Dairi melaksanakan lanjutan peningkatan jalan jurusan Silalahi-Binangara senilai Rp13,8 milliar.