
Oleh: J Anto
HANYA sekelebat laki-laki itu melihat gerakan siswa perempuan yang tengah bermain basket. Namun sudah cukup baginya untuk membuat sebuah penilaian. Juga sekaligus memelihara asa. “Wah ini bisa jadi model nih.” Namun saat pendapat itu ia utarakan ke rekannya, ia dicemooh. “Akh wajahnya polos sekali, kampungan.” Namun laki-laki itu tak goyah, meski secara rasional, ia susah untuk mendedah feeling-nya menjadi argumen-argumen terukur.
Lalu laki-laki itu merekrut pemain basket tersebut. Diajarinya ia cara berlenggang-lenggok agar tak terkesan tomboi lagi. Lalu diikutkannya dalam ajang Model Look, sebuah kontes model bergengsi. Tak mengecewakan hasilnya, ia menang.
Berbekal modal tersebut, ia diikutkan lagi dalam ajang pemilihan Puteri Indonesia. Lagi-lagi ia menang. Namun saat hendak berangkat ke Jakarta, sebagai Puteri Indonesia yang mestinya mewakili Sumut itu sakit.
Kandas sudah impian laki-laki itu untuk membuktikan kebenaran intuisinya sebagai talent scout. Pada 2006, siswa yang sudah jadi model di Medan itu hijrah ke Jakarta. Tak berapa lama ia lalu dikenal sebagai salah satu top model Indonesia. Ia juga telah membintangi sejumlah film.
Bahkan pernah jadi nomine pemeran utama wanita terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 2008 lewat Film May. Pada 19 September lalu, film Susi Susanti Love All diputar di Medan, top model itu tampil memerankan karakter Liang Qiuxia, pelatih bulu tangkis Susi Susanti.
Top model dan aktris film itu tak lain Jenny Chang. Sementara laki-laki pemilik intuisi itu, Sarman Salim alias Lim Hai Chuan, karib dipanggil Sarman. Pada 1995 saat ia menemukan calon top model itu, ia adalah guru ekstrakurikuler kesenian di Sekolah Sutomo 1. Jenny Chang siswa di sekolah itu yang punya hobi main basket.
Seniman Multitalenta
Namun Sarman bukan sekadar guru kesenian. Bukan juga sekadar talent scout. Laki-laki kelahiran Medan 17 Oktober 1969 ini juga seniman multitalenta. Ia pernah menyandang predikat Raja Baca Puisi se-Sumut, 1988. Itu tersebab ia memenangi lomba-lomba baca puisi tingkat pelajar yang diadakan di Taman Budaya Sumut (TBSU) dekade 1980-an.
Ia juga salah satu master ceremony (MC) kondang di Medan, antara periode 2001 - 2011. Sebagai talent scout, ia telah mengorbitkan sejumlah top model nasional dan internasional. Lantas lewat Mini Studio (MS) Production, ia juga membuka school of art atau sanggar untuk membina mereka yang memiliki bakat di bidang modeling, menyanyi, tari, dan MC.
Bisa dibilang, namanya telah melegenda di kalangan komunitas entertaint Tionghoa Medan. Beberapa penyanyi senior Tionghoa Medan seperti Andy Chensing, William Tandean, dan Endy Liang mengakui pernah “dipolesnya.”
Soal feeling (intuisi), hingga sekarang Sarman diandalkan sebagai metodenya dalam mencari calon yang hendak diorbitkan. Untuk membuktikan feeling-nya, ia kerap abai terhadap, waktu, tenaga, bahkan tak jarang materi. “Orang seni itu memang banyak keluarnya daripada masuknya,” ujar Sarman sembari tertawa terbahak.
Masa kecil Sarman memang karib dengan dunia seni. Bibinya seorang pianis, pemilik sebuah sekolah musik terkenal di Medan. Pamannya, Herman Tristianto, juga seorang MC kondang. Meski begitu, kakeknya tergolong konservatif. Tak rela cucu laki-lakinya jadi seniman. Ia dimarahi habis-habisan saat ingin belajar piano.
Namun saat SMP, Sarman diam-diam nekad belajar baca puisi dan teater di Sanggar Tunas Nasional pimpinan Syamsul Bahri (alm). Ia juga belajar olah vokal dengan Relly Purba, guru vokal di TBSU, dan Tety Sihombing, gurunya di SMA Husni Thamrin, Medan.
“Saat mulai berkesenian, sejak SMP sampai SMA, saya mungkin satu-satunya orang Tionghoa yang sering ikut lomba baca puisi dan nyanyi di TBSU,” tuturnya saat ditemui di pujasera sebuah plaza di Medan, Rabu (20/11).
Sore itu, ia didampingi sejumlah muridnya yang bergabung di sanggarnya. Di antaranya Wenny Amelia, Sahramitha Wahyuni (model), Grace Joylim (penyanyi dan model), Skyrio Chandra (penyanyi), Vicky Priscilla Saim (guru modeling sanggar), dan Fonti Ferryza (fashion desainer).
Saat remaja, ia paling sering memenangi lomba baca puisi. Pesertasinya umum, bukan hanya kalangan pelajar. Ia juga pernah menjuarai lomba baca puisi pada Pekan Raya Sumatera Utara (PRSU), 1989. Namun kehadiran dan kesertaannya kadang menimbulkan salah paham.
Sekali ia pernah ikut pemilihan lomba bintang radio. Saat hendak mengikuti tes vokal, begitu penguji berhadapan dengannya, ia langsung nyeletuk, “Eh kamu China ya? Kalau mau ambil kunci suara, coba bilang huruf ‘R’ dulu!”
Saat itu, kalau mengikuti kata hati, ia bisa emosi. Namun Sarman memperlakukan permintaan itu sebagai lelucon. “Akh, Bapak, yang bisa dong, Pak, bilang ‘R’.” Stereotip semacam ini jika dihadapi kurang bijak bisa membangun salah paham dalam menilai keputusan juri.
Saat ia kalah dalam lomba itu, ia tak mau berpikir rasis. Ia sadar bahwa lagu-lagu Mandarin dan Barat yang kerap ia nyanyikan memang tak punya cengkok seperti lagu Indonesia. Di situlah ia tahu penyebab kekalahannya.
Karena itu kepada para talent di sanggarnya, ia tak jemu menekankan bahwa menjadi juara bukan hal yang paling penting. Dalam lomba, hal paling utama adalah apakah talent sudah menerapkan apa yang dipelajari di sanggar atau belum.
“Menang itu bonus. Meski begitu, standar yang saya minta, kepada setiap ada anak di sanggar yang ikut lomba, minimal masuk final,” ujarnya terkekeh.
MC Sponsor
Soal lomba-lomba kesenian ini juga yang menjadikan Sarman pada 15 Januari 2000 mendirikan Mini Studio (MS) Production. Kisahnya bermula pada 1987 saat ia kuliah di IKIP Negri Medan Jurusan Teknik Elektro. Suatu hari, Hj Noor Pane, dosen di kampusnya menawari Sarman sebagai Kepsek SD Gajah Mada di Jalan Durian.
Karena pengalaman ikut berbagai lomba kesenian, Sarman lalu menerapkan pengalaman itu di sekolah yang dipimpinnya. Ia aktif membina dan mengirim siswanya mengikuti lomba tari, nyanyi, baca puisi, dan model. Ia belajar secara otodidak untuk mengajar teknik modeling untuk siswanya.
Gebrakannya mendapat tanggapan positif dari orang tua murid. Suatu waktu seorang siswa menderita sakit mata parah. Orang tua siswa tak sanggup membiayai pengobatan tersebut. Sebuah organisasi kemanusiaan, Lions Club Medan Merdeka tersentuh. Mereka lalu menanggung biaya pengobatan siswa tersebut di Pinang. Sebagai balas jasa, Sarman lalu jadi MC acara-acara Lions Club Medan Merdeka. Anak-anak yang sudah sering ikut lomba juga dibawa untuk memeriahkan acara. .
Sejak itu ia mulai dikenal di kalangan Lions Club yang ada di Medan. Pada 1994 ia mendengar Sekolah Sutomo tengah mencari guru ekskul kesenian. Ia tak menyi-nyiakan kesempatan itu. Ia melamar dan diterima. Sejak itu ia masuk ke sebuah lingkungan yang lebih besar. Hal itu memang misinya, mengembangkan talenta-talenta seni di kalangan anak muda.
Ia tetap menerapkan intuisinya dalam mencari para talent. Lalu berlahiranlah talent-talent muda. Awalnya kiprah mereka terbatas di Kota Medan. Seiring waktu, ada yang berkembang di tingkat nasional, bahkan merambah di pentas internasional.
Di kalangan penyanyi, misalnya muncul Andy Chensing, pada 2004 ia pernah dikontrak stasiun televisi swasta mengisi Program musik Oriental Night, lalu ada Endy Liang yang dengan U-NO bandnya, finalis Akademi Fantasi Indosiar 2094, juga William Tandean yang hingga kini masih aktif di blantika acara pernikahan atau pentas musik lain.
Di kalangan model ada Jenny Chang yang sejak 2016 mengajar di Kimmy Jayanti School Jakarta. Itu sekolah modeling yang didirikan Super Model Indonesia Kimmy Jayanti. Ada juga Melda runner up Model Indonesia yang dibesut tv swasta. Selain itu ada juga Vidoren Djoe dan Sisvi, juara 2 dan 3 Elite Model Look.
Selain menjadi talent scout andal, antara 2001 – 2013, Sarman juga dikenal sebagai MC pada acara-acara perkawinan dan peluncuran produk. Melalui bendera MS Production, ia juga mengelola sanggar untuk bidang modeling, latihan vokal, dan public speaking. Sanggarnya juga menyediakan jasa sebagai event organizer dan agency model. Pemilihan Hakka Ako Amoi, yang masuk tahun ketiga adalah salah satu gelaran yang ditangani mereka.
“Seiring usia, kini saya lebih banyak berperan sebagai pendidik,” katanya. Profesi di bidang entertaint menurut ayah dari Vicky Priscilla Salim, Stella Priscilla Salim, dan Jason Presley Salim, selalu ada masanya. Ia punya ujaran menarik untuk itu. Kata sarman, tiap orang ada masanya dan tiap masa ada orangnya.
“Jadi kita enggak perlu ngoyo, apalagi coba memertahankan posisi dengan menghalalkan segala cara,” katanya.
Kacang Tak Berkulit
Tak terhitung sudah model, penyanyi, MC, dan penari pernah merasakan sentuhan tangan dinginnya. Ada yang tetap memelihara kontak, minimal sekadar say hello, namun ada juga yang bak pepatah kacang lupa batangnya. Bagaimana Sarman menanggapi semua itu?
Sebuah jawaban penuh metafora ia ungkapkan. Saat seorang talent yang belum apa-apa datang ke sanggar, mereka adalah ulat. Lalu ia menjadikan mereka kepompong hingga berubah jadi kupu-kupu yang karena bersayap, membuat mereka bisa terbang.
Tapi apakah kupu-kupu itu terbang tinggi atau rendah, menurut Sarman, tergantung jenis ulatnya. Jika ulatnya bagus, maka bisa terus terbang tinggi. Namun jika ulat itu tidak bagus, awalnya mungkin kupu-kupu itu mungkin terbang tinggi, tapi akhirnya terjatuh.
Intinya, ia tak mau mengklaim bahwa hanya ia seorang diri yang menjadikan mereka kupu-kupu. Karena saat membaca sebuah wawancara di media massa tentang (bekas) muridnya yang jadi “kupu-kupu” karena perjuangannya sendiri, ia merasa masygul. Bukan karena ia ingin disebut telah memberi kontribusi, tapi karena baginya, orang seni itu sukses karena peran banyak orang, mulai dari bagian make up, desainer, organizer, fotografer, dsb.
“Nah, jika hasil wawancara seperti itu dibaca mereka, bisa membuat mereka sakit hati tuh. Itu yang saya takutkan,” katanya. Sekecil apa pun dukungan orang harus diingat. Kata Sarman, jangan sampai jadi kacang tak berkulit.