Mengganti Obat Resep Dokter Tanpa Seizin Dokter

mengganti-obat-resep-dokter-tanpa-seizin-dokter

Oleh: Razoki Lubis, SSi, MKes, Apt.

PENGGUNAAN obat yang tidak tepat, tidak efektif, ti­dak aman dan juga tidak eko­nomis saat ini telah menjadi masalah dalam pelayanan ke­sehatan, baik di negara maju maupun negara berkembang seperti Indonesia di era JKN. Masalah ini dijumpai di unit-unit pelayanan kesehatan se­perti di rumah sakit, Pus­kes­mas dan Apotek.

Peresepan obat yang rasio­nal sa­ngat didambakan ber­bagai pihak, baik oleh dok­ter, apoteker, maupun pasien, se­hingga diperoleh peresepan obat yang efektif dan efisien. Salah satu in­dikator keberha­silan peresepan obat ra­sional di rumah sakit an­tara lain per­sen­tase penggunaan anti­bio­tik, per­sen­tase penggu­na­an obat generik, dan persen­ta­se penggunaan obat esensial (ke­taatan penggunaan for­mu­larium na­sio­nal) benar-benar diterapkan se­suai atur­an.

Penulisan resep di rumah sakit pe­me­ri­ntah, selain meng­acu pada formu­la­rium rumah sakit dan formularium na­sional juga mengacu pada Peraturan Menteri Kese­ha­tan nomor 085/ Men­kes/ Per/ I/ 1989 ten­tang kewajiban me­­nuliskan resep dan atau meng­gu­na­kan obat generik di ru­mah sakit umum pemerintah. Adanya tulisan da­lam lembar resep dokter “ obat ini tidak boleh diganti tanpa seizin dok­ter” menarik untuk dite­laah dari aspek hukum kese­hatan dalam memberikan pe­layanan kefarmasian yang baik kepada pasien.

Berdasarkan Peraturan Menteri Ke­seha­tan nomor 72 tahun 2016 ten­tang standar pelayanan kefar­masian di ru­mah sakit, resep adalah per­mintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi, kepada apo­teker, baik dalam bentuk paper maupun electronik untuk me­nye­diakan dan menyerah­kan obat bagi pasien sesuai peraturan berlaku. Dari de­fi­nisi di atas dapat dilihat da­lam se­lembar resep ada in­ter­aksi antara dok­ter, apote­ker dan pasien.

Apoteker dalam memberi­kan pelaya­nan kefarmasian kepada pasien tidak ja­rang menghadapai masalah mulai dari ketidaklengkapan resep secara adminis­trasi, tulisan yang tidak bisa dibaca dan pe­­re­sepan obat yang tidak ra­sional. Untuk menghindari ke­sa­lahan pemberian obat dan kesalahan administrasi maka sebaik­nya resep ha­rus ditulis dengan jelas dan leng­kap. Hal ini juga akan mem­percepat p­e­layanan kepada pasien. Resep yang leng­kap harus dapat dipertang­gung­ja­wab­kan. Oleh karena itu ha­rus me­muat hal-hal berikut (Syam­­­suni, 2005):

1. Nama, alamat dan no­mor Surat Izin Praktek dok­ter.

2. Tanggal penulisan resep (inscrip­tio)

3. Tanda R/pada bagian ki­ri setiap penulisan resep (invocatio)

4. Nama setiap obat dan kekua­tan­nya (untuk kekuat­annya bila tidak dituliskan oleh dokter maka apoteker bi­sa memberi­kan kekuatan yang te­rendah, misalnya bila hanya tertulis Sim­vastatin maka yang dimaksud dok­ter adalah Simvastatin 10 mg, mes­­­­kipun ada Simvastatin 20 mg (praes­­criptio/ordonatio)

5. Aturan pemakaian obat yang ter­tulis (Signatura)

6. Tanda tangan atau paraf dokter (Subs­criptio)

7. Nama dan umur pasien, khusus untuk obat narkotika harus ada alamat pasien.

Permasalahan dalam Pe­la­yanan Resep

Terkadang tidak semua per­mintaan dokter dalam re­sep dapat dipenuhi oleh Apo­teker karena beberapa hal an­tara lain:

1. Obat tersebut habis/ko­song/stok tidak tersedia.

2. Harga obat tersebut ti­dak ter­jangk­au (kemahalan) oleh pasien, s­e­hing­ga pasien memilih untuk menun­da me­nebus obat yang dimaksud.

3. Tidak sesuai dengan ke­bijakan yang ada disuatu ru­mah sakit misal­nya, obat ter­sebut adalah obat paten atau obat merk dagang.

Namun dalam memberi­kan pelaya­nan kepada pasien, seorang Apoteker hen­dak­nya harus mema­hami terkait hak pasien untuk memperoleh pela­ya­nan, artinya mes­kipun obat tidak ada atau harga ti­dak terjangkau tapi pa­sien ha­rus tetap men­da­pat­kan pela­yanan.

Selama ini di tengah ma­syarakat banyak yang belum tau bahwa pasien dan Apo­te­ker berhak mengganti obat yang tertulis dalam resep dokter. Berikut ini penulis men­coba melihat dari aspek hukum kesehatan terkait hak pasien dan apoteker dalam meng­ganti obat resep dokter.

A. Hak Pasien

1. Undang-undang nomor 8 Tahun 1999 tentang Per­lin­dungan Konsumen pasal 4, hak-hak konsumen adalah:

a. ayat a) Hak atas kenya­manan, ke­ama­nan, dan kese­lamatan dalam meng­kon­sum­si barang dan/atau jasa;

b. ayat b) hak untuk me­milih ba­rang dan/atau jasa ser­ta mendapatkan ba­rang dan/atau jasa tersebut sesuai de­ngan nilai tukar dan kon­disi serta ja­minan yang di­janjikan;

2. Undang-Undang no­mor 29 tahun 2004 tentang Prak­tek Kedokteran pasal 52 ayat c) mendapatkan pela­yan­an sesuai dengan kebu­tuh­an medis.

3. Undang-undang nomor 44 tahun 2009 pasal 32 ayat e) memperoleh layanan yang efektif dan efisien se­hingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi;

4. Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kese­hatan

a. Pasal 5 ayat 2, Setiap orang mem­­­­punyai hak dalam memperoleh pe­la­yanan ke­se­hatan yang aman, ber­mutu, dan terjangkau.

b. Pasal 5 ayat 3, Setiap orang ber­hak secara mandiri dan bertanggung jawab me­nentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi di­rinya.

5. Peraturan Pemerintah no­mor 51 tahun 2009 tentang pekerjaan Kefar­ma­sian pasal 24 poin b, Dalam me­lakukan Pekerjaan Kefarmasian pada Fa­silitas Pelayanan Kefar­ma­sian, apo­teker dapat meng­gan­ti obat merek da­gang de­ngan obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas per­se­tujuan dokter dan/atau pasien.

B. Hak Apoteker

1. Peraturan Pemerintah no­mor 51 ta­hun 2009 tentang pekerjaan Kefar­ma­sian pasal 24 poin b, Dalam mela­kukan Pekerjaan Kefarmasian pada Fa­silitas Pelayanan Kefar­ma­sian, apo­teker dapat meng­gan­ti obat merek da­gang de­ngan obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas per­se­tujuan dokter dan/atau pa­sien.

2. Peraturan Menteri Ke­se­hatan no­mor HK.02.02/MEN­KES/068/I/2010 Tahun 2010 tentang Kewajiban meng­gunakan obat generik di fasilitas pela­ya­nan keseha­tan Pemerintah Pasal 7, Apo­teker dapat me­ngganti obat merek dagang/obat paten de­ngan obat gene­rik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas per­se­tujuan dokter dan/atau pa­sien.

Berdasarkan peraturan-per­aturan di atas ada 3 unsur utama yang berperan dalam penggantian resep obat yaitu tena­ga medis (dok­ter), tena­ga kefar­masian (apoteker) dan pasien. Kata penghubung “ dan/atau pa­sien” yang ter­cantum dalam peraturan-per­aturan di atas, dapat diperla­kukan se­ba­gai dan, dapat juga diperlakukan sebagai atau. Tanda garis miring mengan­dung arti pilihan, artinya hak dokter dan pa­sien atau hak dokter atau pasien.

Kesimpulan

Sebagai kesimpulan bah­wa pasien ber­hak mengganti sendiri obat yang di­per­o­leh­nya melalui resep dokter atas an­juran apoteker dengan tu­ju­an untuk mem­peroleh pe­layanan yang terbaik. Se­men­tara apo­te­ker berhak mengganti obat paten/obat me­­rek dagang dengan obat ge­nerik hanya de­­ngan perse­tujuan pasien.

Namun untuk menjaga hu­bungan baik an­ta­ra pasien, apo­teker dan dok­ter sebaik­nya dalam mem­­­­berikan pela­yanan tetap ada komuni­ka­si agar tujuan pengobatan yang rasional bisa dicapai sehingga pasien memperoleh pelayan­an yang paripurna.

(Penulis adalah pengurus pusat Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) dan pengurus Ma­syarakat Hukum Kese­hat­an Indonesia (MHKI) Ca­bang Sumatera Utara.

()

Baca Juga

Rekomendasi