
leh: Ali Munir, S.Pd.
Pada akhir Juni 2019 lalu, Setara Institute merilis hasil survei soal model beragama para mahasiswa pada 10 perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia. Ke-10 kampus yang diteliti yakni Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Brawijaya, Universitas Airlangga (Unair), Universitas Mataram, UIN Jakarta, dan UIN Bandung. Jumlah responden yang disurvei dari semua kampus itu mencapai 1.000 orang.
Direktur Riset Setara Institute, Halili mengatakan, terdapat ke-10 perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia terpapar paham Islam radikalisme. Hal ini berdasar riset yang telah dikerjakan. Ia juga mengatakan gelombang radikalisme pada 10 PTN tersebut dibawa oleh kelompok keagamaan yang eksklusif yakni dari kelompok yakni salafi-wahabi, tarbiyah, dan tahririyah. Disebutkan, corak kegiatan keislaman di kampus (yang terpapar radikalisme) itu monolitik. Cenderung dikooptasi oleh golongan Islam tertentu yang tertutup atau eksklusif.
Kelompok keagamaan ekslusif tersebut melahirkan wacana yang kebenarannya diyakini sendiri. Dominan wacanannya secara umum yakni berpegang teguh pada Alquran, Islam terdzolimi, Islam harus waspada. Mereka hanya meyakini yang mereka pelajari dan cenderung waspada dengan yang berpikir berbeda. Kelompok keagaman ekslusif ini, menjadikan masjid dan musala sebagai basis kaderisasi. Dalam menyebarkan ajarannya, kelompok ini menyasar organisasi kemahasiswaan seperti Lembaga Dakwah Kemahasiswaan dan Lembaga Dakwah Fakultas.
Hasil survei menyimpulkan bahwa responden yang diteliti dari mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta dan UIN Bandung mendapatkan nilai tertinggi yang menunjukkan bercorak agama fundamentalis. Disinyalir, fundamentalisme beragama bisa menjadi akar eksklusivisme dan perilaku intoleran jika visi fundamentalis dipaksakan di ranah kehidupan sosial kemasyarakatan. Dalam penelitian tersebut, mahasiswa di lima universitas di Indonesia cenderung bersikap konservatif-fundamentalis dalam beragama. Dari data tersebut disebutkan bahwa lima universitas tersebut adalah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (25%), UIN Bandung (26,2%), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dengan 16,7%, Institut Pertanian Bogor (IPB) di angka 10,3% dan Universitas Mataram (16,9%).
Adapun untuk mengukur taraf fundamentalisme dalam pandangan agama, peneliti menanyakan persetujuan atas beberapa pernyataan kepada responden sebagai berikut: 1. Jalan keselamatan dunia dan setelah mati hanya terdapat dalam ajaran agamaku. 2. Hanya ajaran agamaku yang bisa menjawab tuntas segala kebutuhan rohani setiap manusia. 3. Ajaran agamaku sudah sempurna, dan saya tidak memerlukan pedoman tambahan di luar agama. 4. Hanya ajaran agamaku yang dapat mewujudkan keadilan bagi masyarakat Indonesia. 5. Indonesia menjadi aman jika semua penduduknya seagama denganku.
Semakin tinggi nilai yang diperoleh dari kelima pernyataan di atas, maka semakin tinggi fundamentalisme beragama responden yang dilibatkan. Hasil riset pada 10 kampus tersebut responden di UIN Bandung mendapat poin 45,0 dan UIN Jakarta mendapat poin 33,0. Lebih lanjut, Universitas Mataram mendapat 32,0 poin; IPB mendapat poin 24,0 poin; UNY mendapat poin 22,0 poin. Kemudian, UGM memperoleh 12,0 poin; Universitas Brawijaya memperoleh 13,0 poin; ITB mendapat 10,0 poin; Unair mendapat poin 8,0; dan UI memperoleh poin 7,0. Dalam riset, mahasiswa saintek (sains dan teknologi) mendapat 3,35 poin. Sedangkan, mahasiswa soshum (sosial hukum) mendapat nilai 3,30, lalu mahasiswa ilmu sosial mendapat nilai 3,37. Jika hasil survei dari seluruh responden digabung, maka diperoleh nilai 3,31.
Kesimpulan lainnya menyebut bahwa kampus-kampus beragama mengajarkan agama moderat. Selain itu penekanan agama dalam proses belajar mengajar lebih dominan sehingga membuat mahasiswanya beragama lebih konservatif dan fundamentalis. Yang mengejutkan, ada kencenderungan bahwa orang lebih mudah menerima yang berbeda keyakinan dibandingkan paham berbeda dalam internal agamanya. Hal ini dapat menimbulkan konflik tersendiri di dalam internal agamanya dibandingkan lintas keagamaan.
Apa itu Fundamentalisme?
Menurut E.Marty (1999), ada dua prinsip fundamentalisme: pertama, memiliki prinsip perlawanan (opposition), yaitu perlawanan terhadap segala bentuk yang dianggap membahayakan eksistensi agama, apakah dalam bentuk modernisme, sekularisme maupun westernisme. Kedua, adalah penolakannya terhadap heurmenetika. Kelompok fundamentalis menolak sikap kritis terhadap teks dan interpretasinya. Menurut kelompok ini, teks harus dipahami sebagaimana adanya karena nalar dianggap tak mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks. Oleh sebab itu kelompok ini juga disebut tekstualis, skriptualis.
Kenapa gerakan fundamentalisme agama selalu dikaitkan dengan kekerasan dan pemberontakan? Karena dalam upaya mewujudkan cita-citanya, gerakan ini tidak jarang menempuh jalan kekerasan. Jika gerakan ini beraksi maka pertumpahan darah hampir dipastikan tak terelakkan dan ini terjadi karena adanya pemahaman dan keyakinan yang mendasari “ajaran” agama tersebut yang dianggap paling benar (normatif-ideologis). Keyakinan ini berlaku pada semua sekte agama baik Islam (Sunni, Syi’i), Yahudi, Katholik maupun yang lainnya.
Gerakan kelompok yang berada dalam negara agamis (seperti: Iran, Srilangka, Afganistan, Libanon, Saudi Arabia, Kuwait, dan Uni Emirat Arab), menurut E. Marty bersifat revolusioner dan bertujuan untuk mengusir hegemoni asing yang akan berlangsung lama. Sebaliknya di negara-negara sekuler (seperti: Amerika dan Eropa) bertujuan untuk mengubah kebijakan-kebijakan pemerintah.
Fundamentalisme agama disamping memiliki potensi besar terhadap gerakan revolusi juga memiliki potensi konflik antar agama bahkan intern agama. Hal ini terkait dengan doktrin agama yang mereka pahami dan adanya perbedaan yang tajam dalam memberikan penilaian terhadap suatu masalah yang berkaitan dengan politik, ekonomi maupun sistem nilai itu sendiri. Masing-masing kelompok mengklaim paling benar sendiri.
Lihat saja misalnya konflik antar kelompok Hisbullah dan Amal di Libanon, Syi’i dan Sunni, Hindu dan Budha di Sri-langka serta Yahudi dan Kristen di Israel.
Upaya Mereduksi
Mengingat betapa berbahayanya fundamentalisme agama yang sedang mewabah di kampus-kampus kita, maka sudah selakyaknya diambil langkah-langkah strategis guna mereduksi gerakan-gerakan radikalis keagamaan. Perlu tindakan-tindakan tegas untuk mengurangi gerak laju penyebaran paham radikalisme yang bisa mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Perlu pula diterapkan mekanisme pencegahan sejak dini kepada mahasiswanya untuk menangkal penyebaran radikalisme. Langkah ini perlu dilakukan sejak dari masa orientasi mahasiswa baru.
Selain itu melalui mata kuliah terpadu (MPKT) juga dimasukkan topik-topik terkait bela negara dan kebangsaan terus ditanamkan bagi setiap mahasiswa. Para dosen agama dan dosen pembimbing seluruh organisasi keagamaan (Islam, Protestan, Katholik, Hindu, Buddha) seharusnya mengimbau para mahasiswa untuk dapat bersatu padu menjaga keharmonisan antar mahasiswa dan menjunjung tinggi sikap toleransi di dalam bersosialisasi. Pihak penyelenggara kampus juga harus dengan sigap mengawasi segala bentuk aktivitas mahasiswa melalui skema perizinan yang ketat terhadap kegiatan-kegiatan kemahasiswaan yang terkadang disamarkan padahal tujuannya adalah untuk menyebarkan ajaran radikal.
Penting pula pihak kampus secara berkala mengadakan seminar-seminar kemahasiswaan untuk mendapatkan sumbangan pemikiran dari mahasiswa dalam upaya menggali solusi untuk berbagai permasalahan yang dihadapi negeri ini, termasuk salah satunya upaya menangkal penyebaran paham-paham radikal yang bisa mengarah ke tindakan terorisme. Pihak kampus agar terlibat aktif dalam mengawasi perkembangan organisasi-organisasi Islam di kampus. Termasuk aktif berdialog dengan organisasi kemahasiswaan Islam dalam menentukan pola pengkaderan dan materi pengkaderannya. Perlunya aturan yang jelas tentang tenaga dosen pendidikan agama. Di mana dosen-dosen tersebut harus memiliki idiologi yang jelas tentang Islam dalam komitmen kuat terhadap NKRI dan Pancasila.
Terhadap mahasiswa yang terbukti masuk dan terlibat di organisasi radikal dan terlarang wajib dikenakan sanksi tegas. Sebab Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) sebelumnya mensinyalir semua universitas negeri di Jawa dan Sulawesi terpapar radikalisme berbasis agama. Kampus adalah tempat menempa ke-pribadian mumpuni para calon cendikiawan dan imuwan negeri ini yang kelak akan mengambil alih tampuk kepemimpinan bangsa. Jadi, sejak dini, kita harus lebih peduli dan dengan segala daya upaya mereduksi paham-paham radikal keagamaan yang mengancam keutuhan NKRI. ***
Penulis adalah, pemerhati masalah sosial dan budaya.