
Oleh: Kurniawan Adi Santoso
Pemerintah berencana mendatangkan guru dari luar negeri. Ini disampaikan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Puan Maharani pada diskusi Musrenbangnas, di Jakarta (Kamis, 9/5).
Rencana “impor guru” amat ironis di tengah berbagai persoalan guru di tanah air yang belum tertangani. Tak ayal rencana ini pun dapat sambutan negatif dari masyarakat, khususnya guru-guru di tanah air.
Tanggapan negatif masyarakat kemudian dijawab oleh pemerintah melalui pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy (14/5/2019) bahwa guru-guru asing yang diundang akan berperan sebagai pemberi pelatihan (training of trainers/ToT) dan bukan untuk mengajar di sekolah-sekolah. Mendatangkan tenaga pengajar ahli tersebut dinilai oleh pemerintah akan meningkatkan efisiensi pembiayaan pelatihan sumberdaya manusia Indonesia tanpa harus mengirim mereka ke luar negeri.
Jadi, pemerintah akan mendatangkan guru asing sebagai instruktur untuk meningkatkan kualitas guru di tanah air. Ya, memang harus diakui kualitas guru kita masih belum baik. Kompetensi guru masih rendah. Rendahnya kompetensi guru berdampak pada capaian pendidikan Indonesia yang belum menggembirakan. Hasil tes Programme for International Student Assessment (PISA), yaitu tes untuk mengukur kemampuan membaca, matematika, dan sains anak usia 15 tahun, pada 2015 Indonesia berada di peringkat ke-69 dari 76 negara peserta. Peringkat Indonesia di bawah Singapura (peringkat ke-2), Vietnam (peringkat 17), Thailand (peringkat ke-50), dan Malaysia (peringkat ke-52).
Secara umum ada dua kompetensi yang harus dikuasai guru, yaitu kemampuan pedagogik dan profesional. Sederhananya pedagogik adalah cara mengajar dan profesional adalah penguasaan isi materi pelajaran. Pada dua kompetensi tersebut, guru Indonesia masih dianggap rendah. Hasil uji kompetensi guru (UKG) 2017, rata-rata nasional TK 68.23; SD 62.22; SMP 67.76, 69.55 berada jauh di bawah nilai yang ditargetkan 80.00.
Bahkan, kompetensi pedagogik, yang menjadi kompetensi utama guru pun belum memuaskan. Masih banyak guru yang cara mengajarnya masih text book, cara mengajar di kelas yang membosankan, cara mengajar layaknya “menuang air dari teko ke gelas”. Barangkali dengan mendatangkan instruktur guru dari negara lain seperti Finlandia, diharapkan guru-guru kita bisa mengubah paradigma mengajarnya dan makin profesional.
Persoalan
Selain soal kompetensi guru, saat ini Indonesia masih menghadapi persoalan disparitas kuantitas dan kualitas guru antarwilayah dan antardaerah secara nasional sangat tinggi. Masih banyak guru mengajar tidak sesuai dengan latar belakang akademiknya. Rekrutmen guru tidak melalui mekanisme profesional. Guru honorer untuk memenuhi kebutuhan jumlah guru direkrut berdasar “siapa yang mau”. Akibatnya, selain menimbulkan kesulitan pengangkatan juga kompetensinya tidak memadai.
Lalu persoalan kurangnya guru pada bidang studi tertentu yang disebabkan keterlambatan rekrutmen guru TK dan guru SD/MI yang berlatar belakang akademik PGTK dan PGSD/MI. Kualifikasi guru yang belum setara sarjana (S1), dari 3,9 juta guru yang ada saat ini terdapat 25% yang belum memenuhi syarat kualifikasi akademik. Konsekuensinya, standar keilmuan yang dimiliki guru menjadi tidak memadai untuk mengajarkan bidang studi yang menjadi tugasnya.
Di sisi lain, tidak sedikit guru yang sarjana pendidikan, namun bermasalah dalam mengajar, seperti terlibat kekerasan dengan peserta didik dan orangtua. Bila ditelusuri lebih jauh ini karena input calon guru yang bukan lulusan SMA terbaik. Padahal, semestinya yang menjadi mahasiswa calon guru adalah mahasiswa-mahasiswa terbaik dari sisi akademis, psikologis, dan pedagogik karena mereka akan menjadi guru yang mendidik anak-anak bangsa. Jadi, pemerintah perlu membenahi seleksi calon guru yang saat ini ditangani lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK).
Peningkatan keprofesian berkelanjutan (PKB) guru tidak jarang hanya untuk menggugurkan kewajiban. Guru PNS mengikuti pelatihan semata-mata untuk mendapatkan sertifikat sebagai syarat kenaikan pangkat. Alih-alih meningkat kompetensinya, selesai pelatihan cara mengajarnya tidak berubah sama sekali.
Persoalan lain, tidak adanya kesinambungan dan kontinuitas pelatihan guru dalam jabatan. Pelatihan guru masih sebatas formalitas dengan mengumpulkan guru untuk diberi pelatihan tetapi tindak lanjutnya di kelas tidak terpantau. Akibatnya, pelatihan tidak berimbas pada perbaikan keterampilan guru dalam mengajar. Pada kasus ini, pemerintah sebenarnya dapat memberdayakan kepala sekolah dan pengawas sekolah. Keduanya dapat dioptimalkan pada kerja-kerja supervisi dan pembimbingan. Namun faktanya, kerja-kerja mereka lebih pada persoalan administratif untuk melengkapi formalitas laporan.
Selain itu, tidak ada mekanisme baku bagi guru yang telah mengikuti pelatihan untuk mengimbaskan pada guru lain. Sebetulnya jika mekanisme pengimbasan berjalan, tidak perlu impor guru. Pada Maret 2019, Kemdikbud telah memberangkatkan 1.200 guru selama tiga minggu ke beberapa negara untuk menimba ilmu pendidikan. Pengalaman guru-guru ini dapat disebarkan ke guru-guru lain. Penyebaran itu sebenarnya bisa dilakukan dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dan Kelompok Kerja Guru (KKG).
Kelemahan lainnya tidak membudayanya lesson study di kalangan guru-guru. Seperti di Jepang ada budaya lesson study yaitu suatu mekanisme memperbaiki cara mengajar dengan melihat guru mengajar dan guru lainnya memberi masukan sebagai umpan balik untuk mengevaluasi cara mengajar. Kesediaan guru untuk melakukan refleksi terhadap apa yang telah dicapai atau ditemukan dalam pembelajaran merupakan perwujudan komitmen menjadi guru profesional.
Jika benar pemerintah mengimpor guru sebagai instruktur untuk melatih guru dalam kompetensi dan kecakapan tertentu dan bukan masuk kelas “menggusur guru dalam negeri”. Saatnya guru melakukan instrospeksi untuk terbuka dan mau menyadari atas kekurangannya. Bukan hanya mau menerima tunjangan sertifikasi berkali-kali lipat namun enggan meningkatkan kompetensi profesionalismenya.
Penulis adalah guru SDN Sidorejo, Kabupaten Sidoarjo, Jatim