Guru Besar USU Prof Dr dr Farhat Membahas Keganasan Karsinoma Nasofaring dalam Pidato Pengukuhannya. (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Medan - Dr dr Farhat, MKed (ORL-HNS), Sp THTKL(K) resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher pada Fakultas Kedokteran di Gelanggang Mahasiswa USU.
Pengukuhan dilakukan pada Rapat Terbuka Senat Akademik oleh Rektor USU Prof Dr Runtung Sitepu didampingi Ketua Dewan Guru Besar Universitas Sumatera Utara Prof Dr dr Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH.
Setelah dikukuhkan sebagai guru besar, maka Dr Farhat resmi menyandang gelar Profesor di depan namanya. Prof Dr Farhat merupakandosen tetap FK USU yang saat ini juga menjabat sebagai Sekretaris Universitas untuk periode 2016-2021 pada perguruan tinggi tersebut.
Dilahirkan pada 16 Maret 1970, Prof Farhat merupakan anak pertama dari 6 bersaudara, putera pasangan Almarhum Drs Abdul Azis dan Syarifah Farida.
Ia mendapatkan gelar Konsultan di bidang Onkologi Bedah Kepala Leher dari Kolegium Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Indonesia pada 2011 dan meraih gelar doktor pada 2014. Selain itu, Prof Dr dr Farhat saat ini juga menjabat sebagai Ketua Pusat Unggulan Iptek Karsinoma Nasofaring USU dan juga sebagai ketua umum perhimpunan bagi dokter spesialis THT-KL di seluruh Sumatera Utara.
Prof Farhat sendiri telah menyampaikan pidato pengukuhan guru besarnya dengan judul “Pemeriksaan Polomorfisme Gen dan Ekspresi Protein sebagai Upaya Identifikasi Faktor Risiko, Prognosis, Pertimbangan Terapi dan Pencegahan Karsinoma Nasofaring”.
Pada pidato itu ia menjelaskan bahwa karsinoma nasofaring merupakan salah satu keganasan yang unik dengan distribusi geografis yang jelas. Karsinoma nasofaring memiliki insidensi yang tinggi di Cina Selatan, Asia Tenggara, Afrika Utara, Asia Tengah dan daerah Arktik serta merupakan penyakit yang jarang ditemui di bagian dunia lainnya.
“Insidensi paling tinggi terdapat di Asia Tenggara, yaitu 6,4/100.000 pada pria dan 2,4/100.000 pada wanita. Di Indonesia, insidensi karsinoma nasofaring menyerang 8,3/100.000 pada pria dan 3,0/100.000 pada wanita,” ujarnya dalam keterangan yang diterima, Rabu (19/2).
Di Indonesia, karsinoma nasofaring tercatat sekitar 12.000 kasus per tahun. Penyakit ini memiliki mortalitas yang tinggi oleh karena keterlambatan diagnosis, di mana pada pria tingkat penderitanya 2,3 kali lebih besar dibandingkan dengan wanita. Karsinoma nasofaring relatif dialami pada usia rata-rata adalah sekitar 50 tahun.
Dikatakan Prof Farhat, beberapa tahun terakhir terapi karsinoma nasofaring mulai mengarah ke terapi target yang menghambat jalur kanker spesifik dan molekul, yang berperan dalam pertumbuhan dan progresi kanker. Terapi tersebut antara lain seperti cetuximab yang merupakan antibodi monoklonal untuk Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR), yang merupakan salah satu faktor pertumbuhan yang berperan dalam perkembangan tumor.
“Terapi lain adalah Beacizumab yang merupakan antibodi monoklonal yang secara spesifik berikatan dan menghambat VEGF sehingga menghambat angiogenesis tumor. Kombinasi beacizumab dengan agen kemoterapi meningkatkan kerja apoptosis kemoterapi," katanya.
Hal ini, imbuhnya menunjukkan kemungkinan kombinasi target terapi dengan kemoterapi dalam penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Beberapa terapi molekular lain adalah terapi gen, imunoterapi dan terapi adoptif. Selain membantu dalam terapi, penggunaan biomarker dapat digunakan sebagai faktor prognostik karsinoma nasofaring.
"Pasien dengan ekspresi negatif VEGF dan JAK2 menunjukkan waktu bertahan hidup yang lebih panjang dibandingkan pasien dengan ekspresi positif VEGF dan JAK2,” ujar
Editor in Chief pada International Journal of Nasopharyngeal Carcinoma dan reviewer pada
Medical Journal of Indonesia itu.
(BR)