Prof T Sabrina Djunita: Masalah Pertanian Sumut Kompleks, Universitas Siap Bantu

Prof T Sabrina Djunita: Masalah Pertanian Sumut Kompleks, Universitas Siap Bantu
Prof T Sabrina Djunita (Analisadaily/Istimewa)

Analisadaily.com, Medan - Sebagai wadah dan lembaga bagi para peneliti, intelektual maupun akademisi, secara ideal, universitas tentunya dapat memberikan kontribusi khususnya bagi kemajuan sektor pertanian, perikanan dan peternakan di Provinsi Sumatera Utara (Sumut).

Namun, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara (USU) Prof Tengku Sabrina Djunita mengaku, bahwa hingga sejauh ini, produk penelitian universitas yang begitu banyak masih belum dilirik pemerintah untuk dapat dimanfaatkan.

"Bahkan untuk produk yang cukup sederhana, misalnya perombak bahan organik untuk pembuatan kompos, itu juga masih impor dari Jepang, padahal di universitas sendiri tersedia. Oleh karena itu kami siap membantu dinas-dinas yang ada apabila dibutuhkan," ungkapnya usai menjadi pembicara dalam FGD Penajaman Delapan Prioritas Pembangunan Melalui Rumusan Kegiatan Strategis Daerah Pada Perubahan RPJMD Provinsi Sumut tahun 2019-2023 yang digelar di Hotel Grand Mercure, Medan, ditulis Sabtu (20/11).

Untuk itu, Sabrina mengaku, melalui FGD yang dilakukan ini, pihaknya menyampaikan siap membuka pintu selebar-lebarnya untuk menerima kerjasama dengan pemerintah, termasuk mendampingi instansi terkait dalam memajukan sektor pertanian tersebut.

Apalagi dia menilai, problem petani saat ini yang sulit mengakses pasar dan mendapatkan modal murah sebetulnya sudah dapat teratasi dengan usaha rintisan berbasis teknologi untuk terhubung langsung dengan konsumen dan pemodal.

"Karenanya kami dari sekolah pascasarjana juga siap membantu maupun membackup para penyuluh (pertanian) dalam upaya meningkatkan SDM petani kita," ujarnya.

Lebih lanjut dalam paparannya, Sabrina menjelaskan bahwasanya permasalahan petani memang cukup kompleks, mulai dari tidak mampu berinovasi, kurangnya SDM, tingkat kesejahteraan yang masih rendah, hingga persoalan penggunaan pupuk yang dapat mendorong degradasi tanah.

Selain itu, persoalan Nilai Tukar Petani (NTP) dan indeks harga yang diterima petani masih rendah, juga masih kerap dihadapi oleh petani

Atas kondisi ini, ujar Sabrina, petani masih terbilang jauh dari kata sejahtera. Sehingga tak heran banyak petani yang terpaksa melakukan alih fungsi lahan dan alih profesi.

"Makanya kalau menurut saya, subsidi yang diberikan itu (harusnya) bukannya pupuk, tetapi pendidikan dan kesehatan gratis kepada masyarakat petani," jelasnya.

Belum lagi, terang Sabrina, masalah kualitas dan degradasi tanah, serta pemahaman petani yang selama ini salah menganggap tanah adalah suatu benda mati memang sangat perlu mendapatkan pendampingan dan bimbingan.

Apalagi, sambung dia, ke depan, kita tidak bisa lagi mengharapkan green revolution yaitu penggunaan pupuk buatan dan bahan kimia untuk meningkatkan produksi pertanian.

"Sebab ke depan, (masalah pupuk) ini akan semakin mahal, sehingga tidak mungkin lagi pemerintah sanggup mensubsidi," terangnya.

Selain itu, menurut Sabrina, jika ke depan tanah tidak dianggap sebagai satu kehidupan, maka kita juga harus dapat mempersiapkan diri untuk mengkonsumsi artificial food.

Dia menuturkan, artifisial food ini merupakan produk makan yang bukan natural yang berasal dari mikroba yang dibiakkan setelah mendapatkan C6H12O6 yang kemudian dimodifikasi dengan biokimia dan bioteknologi menjadi protein, sehingga dapat menyerupai makanan natural, misalnya daging.

"Memang saat ini produk artificial food itu masih mahal dibanding natural. Tapi ke depan kalau tanah itu tidak bisa ditanam lagi, maka kita harus siap memakan artifisial food," ucapnya.

Untuk itu, tambah Sabrina, Tri Dharma Perguruan Tinggi yang menjadi tanggung jawab mengharuskan universitas mendukung peningkatkan SDM petani untuk kemajuan sektor pertanian.

"Salah satunya adalah memberikan penyuluhan teknologi," tandasnya.

(RZD)

Baca Juga

Rekomendasi