Pahit Getir Hidup Akhyar Nasution: Nonton TV Numpang Tetangga, Kurang Biaya Berhenti Kuliah sampai Kerja di Pabrik

Pahit Getir Hidup Akhyar Nasution: Nonton TV Numpang Tetangga, Kurang Biaya Berhenti Kuliah sampai Kerja di Pabrik
Akhyar Nasution. (Analisadaily/Khairil Umri)

BANYAK yang tau siapa kini Akhyar Nasution. Tapi tak banyak yang tau bagaimana kisah perjuangan hidupnya. Kepada Analisa, Plt Walikota Medan itu menuturkan pahit getir kisahnya. Sesekali, air mata Akhyar jatuh. Khususnya saat menceritakan sosok ibu.

Ia sering disuruh guru pulang karena seragamnya berlumpur habis main bola kaki. Begitulah Plt Wali Kota Medan, Akhyar Nasution mengingat masa kecilnya kepada Analisa di ruang kerjanya, Selasa lalu.

Toh ia tetap pergi lagi sekolah meskipun memakai baju biasa. Ia tak punya seragam pengganti.

“Mamak meminta kami tetap sekolah. Mamak tidak mau kami sepertinya. Cukup mamak saja yang cuma kelas 5 SD,” kenangnya. Ia menyebut ibunya dengan mamak.

Sesaat bola mata Akhyar berkaca-kaca. Air mata jatuh membasahi pipi.

“Kalau sudah bicara mamak saya langsung sentimental. Saya sangat sedih bila mengenang perjuangannya agar kami bisa sekolah,” lanjutnya dengan suara serak.

Akhyar yang lahir di Medan, 21 Juli 1966 itu gemar bermain bola. Ke mana-mana ia selalu membawa bola. Termasuk pergi ke SDN 060863 Tanjungmulia.
Tak jarang ia sering pulang saat azan magrib bergema.

“Mamak marah karena sudah sering saya pulang lama,” kata suami Nurul Khairani Lubis itu.

Jika sedang tidak bermain bola, ia keliling jualan kue milik uwaknya di Tanjungmulia. Kadang ia ikut ayah jadi tukang foto keliling, kadang di tempat pesta dan lokasi hiburan seperti Taman Ria.

Pekerjaan ayahnya sebenarnya tukang jahit. Karena tidak selalu ada pesanan, ayahnya kadang jadi tukang foto, kerja bangunan, dan sebagainya. Tak ayal, Akhyar menjadi mahir memoto. Kelas 5 SD, ia sudah berkeliling menjadi tukang foto.

Kegemaran bermain bola tetap ia lakoni. Pemberitaan pertandingan bola di televisi selalu diikutinya. He-he, sejumlah nama pemain sepak bola di Piala Dunia Argentina 1978 pun ia hapal.

Tapi untuk nonton TV ia numpang di rumah tetangga.

“Jangankan punya televisi, untuk makan saja sangat susah,” kata bapak dari Akhmad Kautsar Yaranda dan Akhmad Alkindi Yaranda itu.

Terlahir dari ayah Anwar Nasution dan ibu Siti Aisyah sebagai penjual pisang goreng, kopi, dan pulut, Akhyar bersama ke-10 adiknya hidup serba kekurangan. Satu telur goreng dibagi 4 bagian. Tidak ada menu lain. Makan enak hampir tidak pernah dicicipi mereka.

Tapi ia tetap semangat bersekolah. Bukan karena kelak ingin menjadi seorang pejabat. Tidak sedikit pun ia membayangkan kelak menjadi seorang pejabat.
Tamat SD, Akhyar melanjutkan ke SMPN 9 di Pulo Brayan Bengkel Medan. Sekitar 2 kilometer dari rumah yang ditempuhnya dengan berjalan kaki.

Kegemaran bermain bola membuat ia bergabung di Klub Mercu Buana Galatama untuk kategori junior. Kelas 3 SMP, ia dipanggil magang di Klub Mercu Buana Galatama selama 8 bulan. Akhyar merasa bangga.

Tatkala melanjutkan ke SMAN 3, angan-angan Akhyar menjadi pemain sepak bola pupus. “Saya merasa menjadi pemain sepak bola kurang menjanjikan. Saya bercita-cita jadi ahli teknik nuklir. Mata pelajaran yang saya sukai matematika, kimia dan fisika,” katanya.

Tapi keinginan menjadi ahli teknik nuklir sirna. Sebab untuk itu, ia harus kuliah ke Yogyakarta atau Bandung. Itu mustahil karena keadaan ekonomi keluarga. Akhirnya ia diterima di Universitas Sumatera Utara (USU) mengambil pilihan fisika.

“Tapi belum genap satu semester, karena tidak ada biaya untuk bayar uang kuliah,” sebutnya.

Berhenti kuliah, ia bekerja di sebuah pabrik minyak makan di Pulo Brayan Bengkel. Tahun berikutnya ia kembali mencoba masuk ke USU, kali ini mengambil teknik sipil.

Tapi uang yang ia kumpulkan saat bekerja di pabrik tidak cukup bayar uang masuk kuliah. “Orang tua kawan sekolah memberi pinjaman. Kalau tidak mungkin saya tidak bisa kuliah,” katanya.

Tidak mau putus lagi kuliah, bila ada buku dari dosen, ia kumpulkan uang kawan-kawan untuk difotokopi. Dari memotokopi buku itulah, ia mendapat satu buku.
Saat libur kuliah, ia bekerja kadang menjadi kernek di bengkel las, kernek tukang bangunan, dan sebagainya. Ke kampus ia naik sepeda dan bawa bekal pulut, pisang goreng, dan kopi.

Sejak kecil Akhyar tinggal bersama kakek. Tapi setelah SD, ia tinggal bersama ayahnya. Namun karena rumah kakek hanya berjarak 50 meter, Akhyar lebih banyak menghabiskan waktu bersama kakek.

Sewaktu SMP, sebelum pergi ke sekolah, Akhyar membantu kakeknya membuat batu nisan. Dari membantu kakek, Akhyar setiap hari diberi uang. Akhyar akhirnya terampil mengerjakan bagunan. Apalagi pada waktu libur kuliah ia bekerja sebagai kuli bangunan. Tamat kuliah ia pun menjadi pelaksana pembangunan proyek.

Moto hidupnya, “Hargailah waktu” diperolehnya dari filosofi sang kakek.

Berita kiriman dari: Fahrin Malau

Baca Juga

Rekomendasi