Peneliti: 60 Persen Tutupan Hutan Mangrove Pantai Timur Sumatera Sudah Lenyap

Peneliti: 60 Persen Tutupan Hutan Mangrove Pantai Timur Sumatera Sudah Lenyap
Lahan tanaman mangrove (Analisadaily/Istimewa)

Analisadaily.com, Medan - Keberadaan hutan mangrove di wilayah pesisir sangatlah penting. Selain menjadi tempat berkembangbiak biota perairan seperti udang, kepiting, udang, dan lain sebagainya, hutan mangrove juga bermanfaat bagi kehidupan manusia.

“Sebaliknya, kalau mangrove rusak akan berdampak pada hilangnya biota perairan,” kata Peneliti dan dosen Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara (USU) Onrizal, dalam Workshop Online bertema 'Ekspos Data Kerusakan Hutan Pantai Timur Sumatera', Sabtu (25/4).

Workhshop dilaksanakan oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumut dan Society of Indonesia Environmental Journalist (SIEJ) Simpul Sumut. Dipaparkan Onrizal, hutan mangrove juga berfungsi sebagai penyerap dan penyimpan karbon.

Hasil penelitian Danoto tahun 2011 menyatakan, hutan mangrove di indo-pasifik memiliki kapasitas menyerap dan menyimpan karbon 4 sampai 5 kali dari ekosistem hutan daratan, hutan tropika, dan lain sebagainya.

“Dibandingkan dengan negara lain, Indonesia mempunyai banyak kelebihan karena memiliki hutan mangrove terbesar dan terluas, juga proporsi penyimpan karbon terbesar di dunia,” ucapnya.

Di satu sisi ekosistem mangrove itu merupakan elemen yang sangat produktif, mampu menyediakan jasa ekosistem. Namun juga sangat rentan terhadap gangguan. Secara global, data dari FAO mengungkap kondisi mangrove tahun 2014. Dalam waktu 34 tahun itu 30 persen hutan mangrove telah hilang.

“Indonesia berkontribusi besar. Kita kehilangan sekitar 800.000 hektare. Dalam 3 dekade itu, Indonesia menyumbang 50 persen kehilangan mangrove dunia. Penyumbang kehilangan biota perairan, juga emisi karbon yang sangat besar,” sebutnya.

Pada tahun 2018 Onrizal melakukan studi spasial. Tujuannya membandingkan 30 tahun yang lalu dengan citra satelit, 2009-2018. Dalam rentang waktu 30 tahun terakhir, Sumut dan sebagian Aceh (Aceh Timur) 60 persen tutupan hutan mangrove sudah lenyap.

“Sedangkan 40 persen sisanya, kondisinya belum tentu baik,” ujarnya.

Kemudian, dari 40 yang tersisa itu, 28 persen menjadi semak belukar karena adanya penebangan mangrove untuk dapur arang. Hal ini terjadi di Pangkalan Brandan, Pangkalan Susu, Langkat, dan Langsa, Aceh.

Kerusakan mangrove juga disebabkan tambak udang, ikan dan lainnya, serta perkebunan kelapa sawit, sebesar 27 persen. Sedangkan akibat pertanian 4,3 persen. Di Pangkalan Susu, misalnya di Pulau Kampai dan perbatasan Sumut-Aceh, tahun 1989-2018, seluas 65 persen hutan mangrove juga sudah hilang.

“Masih banyaknya dapur arang salah satu penyebab. Boleh dicek, apakah punya izin atau tidak. Karena rata-rata 2 cm sudah ditebang. 50 persen jadi semak belukar, tambak 17 persen, dan pertanian 5 persen. Ini terjadi di luar kawasan konservasi,” sebutnya.

Diungkapkan Onrizal, kerusakan mangrove juga terjadi di kawasan konservasi, yakni di Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut. Di kawasan ini pada kurun waktu 1989, 2009 dan 2018, seluas 26 persen mangrove sudah hilang karena dikonversi menjadi pertanian 9 persen, sawit 3 persen.

“Di sana kebun sawit tumbuh, termasuk orang memasang plang menyatakan lahan miliknya ratusan hektare,” ungkapnya.

Menurut Onrizal, luasnya kehilangan mangrove tidak sebanding dengan upaya pemulihan melalui rehabilitasi. Laju kehilangan mangrove per tahun mencapai 31.000 hektare. Sementara kemampuan untuk memulihkan, misalnya program pemerintah, paling tinggi 15.000 hektare.

“Kerusakan terjadi, tapi kemampuan memulihkan masih sangat kurang,” ujarnya.

Dibagi Dalam 3 Klasifikasi

Direktur Walhi Sumut, Dana Prima Tarigan mengatakan, penurunan luas tutupan hutan di pantai timur dapat dibagi dalam 3 klasifikasi, perkebuan kelapa sawit berperan 45 persen, tambak 35 persen, pertanian 25 persen, dan hal hal lain seperti dapur arang 5 persen, baik itu abrasi karena reklamasi tambang pasir dan lainnya.

Informasi yang didapatnya di website kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI hanya 4 Izin Usaha Perkebunan (IUP) di Sumut. Selebihnya masih akan diselidiki kenapa bisa banyak perkebunan kelapa sawit.

“Dengan hanya ada 4 IUP, bisa diduga yang lain itu ilegal. Harus ditindak pemerintah dan aparat keamanan kalau mau menyelamatkan pantai timur Sumut,” tegasnya.

Menurut Dana, salah satu kantong kemiskinan itu ada di wilayah pesisir. Masyarakat di pesisir akan terus terpuruk karena semakin hari mangrovenya rusak. Nelayan yang tidak punya motor, mata pencahariannya ada di pesisir.

“Sudah saatnya Pemprov Sumut mulai melihat ke pesisir, dan selamatkan masyarakat di pesisir,” Dana menandaskan.

(RZD)

Baca Juga

Rekomendasi