GEBRAK melakukan konferensi pers untuk meminta DPR RI dan Pemerintah menghentikan pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja, Kamis (6/8). (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Jakarta - Gerakan Buruh bersama Rakyat (GEBRAK) bakal kembali melakukan aksi unjuk rasa untuk mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan pemerintah menghentikan pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
Demonstrasi rencananya akan digelar tepat saat Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyampaikan pidato kenegaraannya pada Jumat, 14 Agustus 2020. GEBRAK menilai, DPR tidak menunjukkan keberpihakan pada rakyat dengan berencana untuk segera mengesahkan Omnibus Law.
Pasalnya, Omnibus Law dinilai bertentangan dengan prinsip dasar konstitusi negara. Bahkan banyak memuat pasal-pasal yang merugikan berbagai kalangan rakyat, mulai petani, buruh, hingga nelayan.
Bagi petani, Omnibus Law akan membuat peran pemerintah tak ubahnya makelar tanah yang menjamin ketersediaan tanah bagi investor dengan mengorbankan fungsi sosial tanah bagi rakyat.
Penggusuran dan konflik agraria disebut akan semakin marak terjadi akibat kemudahan perampasan tanah dengan dalih penciptaan lapangan kerja, terancamnya kedaulatan pangan karerna alih fungsi tanah-tanah pertanian yang semakin masif untuk kepentingan investasi dan bisnis.
Bagi buruh, Omnibus Law RUU Cipta Kerja malahan akan menambah pengangguran dan memperburuk kondisi kerja dengan memudahkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan melanggengkan sistem kerja kontrak, magang, dan alih daya.
Salah satu perwakilan GEBRAK, Dewi Kartika mengatakan, Omnibus Law jelas akan mengakibatkan percepatan kerusakan hutan-hutan di Indonesia.
Tidak hanya itu, lanjut Kartika menjelaskan, buruh juga akan semakin menurun daya belinya dan akan mengakibatkan konsumsi domestik, yang merupakan menopang lebih 50 persen pertumbuhan ekonomi, lesu.
Kata dia, GEBRAK juga mendesak pemerintah selaku pengusul Omnibus Law RUU Cipta Kerja untuk segera mencabut Surat Presiden (Supres) sebagai instruksi pembahasan.
"Terlebih, pembahasan yang tengah dilakukan adalah cacat prosedural dan Supres-nya tengah digugat oleh rakyat," tegas Kartika dalam siaran persnya, Kamis (6/8).
"Kelompok buruh patut menduga hanya digunakan sebagai pemberi stempel untuk membenarkan pengesahan Omnibus Law," sambung Kartika.
Belakangan, masih kata dia, tim Tripartrit bentukan pemerintah yang melibatkan serikat-serikat buruh dalam pembahasan klaster ketenagakerjaan beberapa di antaranya menyatakan keluar dari tim pembahasan.
"Serikat buruh yang bertahan pun mengeluh karena pembahasan dianggap selesai. Padahal, pihak buruh merasa tidak terjadi konsensus dan banyak usulan tidak ditampung," tutur Kartika.
GEBRAK juga menuntut DPR untuk berperan aktif mengatasi persoalan pandemi Covid-19 dan segera membahas dan mengesahkan rancangan payung hukum yang berpihak kepada rakyat, seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan RUU Masyarakat Adat.
Dalam aksinya pekan depan, sekitar 100 ribu orang anggota aliansi GEBRAK di 20 kota di Indonesia akan menggelar aksi serentak menuntut DPR dan Presiden Jokowi membatalkan Omnibus Law.
Selain di Jakarta, aksi serentak pada 14 Agustus 2020 itu akan dilakukan di antaranya di Yogyakarta, Semarang, Jawa Timur, Makasar, Riau, Medan, Bandung, Lampung, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Timur.
(CSP/RZD)