Kawanan burung kuntul bertengger di areal tambak garam Desa Tanjung, Pamekasan, Jawa Timur. (ANTARA FOTO/Saiful Bahri)
Analisadaily.com, Jakarta - Bertepatan dengan aksi Global Climate Strike yang akan digelar serentak di banyak negara di dunia, termasuk Indonesia, untuk menyuarakan pentingnya tindakan dan penanganan krisis iklim, Yayasan Indonesia Cerah dan Change.org Indonesia meluncurkan hasil dari sebuah survei daring.
Survei yang dilaksanakan selama sekitar 2 bulan (23 Juli - 8 September 2020) ini diikuti oleh 8.374 orang yang tersebar di total 34 provinsi di Indonesia, mayoritas adalah responden dengan rentang usia 20-30 tahun yang merupakan warga muda aktif pengguna media sosial. Survei disebarkan melalui website dan pengguna Change.org Indonesia, kanal-kanal media sosial dan aplikasi percakapan.
Survei menemukan sekitar 90 persen warga muda aktif merasa khawatir atau sangat khawatir tentang dampak krisis iklim. 97 persen diantaranya berpendapat bahwa dampak krisis iklim setidaknya sama atau lebih parah dari dampak pandemi Covid-19. Dampak yang paling dikhawatirkan meliputi krisis air bersih (15 persen), krisis pangan (13 persen), dan penyebaran penyakit atau wabah (10 persen). 19 dari 20 orang responden percaya manusia memiliki andil dalam menyebabkan krisis iklim.
“Kita sudah melihat bagaimana Covid-19 mengubah segalanya dalam beberapa minggu. Dampak krisis iklim dinilai akan menyerang lebih kuat dalam waktu yang dekat. Banyak yang berpendapat dampak krisis iklim sebenarnya sudah hadir, dan harus segera kita tangani. Kami melakukan survei ini untuk mengetahui bagaimana persepsi publik, terutama anak muda, tentang krisis iklim sebagai bahan pertimbangan untuk merancang strategi penanganan dampak krisis iklim kedepannya,” kata Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia Cerah, Adhityani Putri, Jumat (25/9).
“Ada semacam kehausan dari anak muda, untuk terlibat dalam perlawanan ini. Semangat pada zaman sekarang ini adalah melawan krisis iklim. Dengan hasil survei ini, mengafirmasi kalau krisis iklim bukan hanya di luar negeri saja, tapi di Indonesia juga sudah terjadi. Kedepannya akan semakin banyak pressure grup dari kalangan anak muda untuk dorong perubahan,” sambung Rara Sekar, musisi.
Menurut responden, sumber terbesar dari emisi Gas Rumah Kaca (GRK) adalah kerusakan dan kebakaran hutan dan lahan (38 persen), diikuti asap kendaraan dan pabrik (35 persen), dan pembangkit listrik energi fosil (batubara, minyak bumi, dan gas alam) (23 persen).
Pelestarian hutan, termasuk penghentian penebangan hutan alam, alih fungsi lahan, dan kebakaran hutan dan lahan gambut (28 persen) dianggap sebagai solusi paling tepat untuk meminimalisir krisis iklim. Solusi berikutnya adalah peralihan energi fosil menjadi energi bersih dan terbarukan (26 persen).
Saat ini sumber energi terbesar di Indonesia masih berasal dari energi fosil. Seperti batubara, minyak bumi dan gas alam. Namun, 91 persen responden percaya bahwa sudah saatnya Indonesia melepaskan diri dari sumber energi fosil.
Kinerja pemerintah dinilai sebagai hambatan terbesar dalam penanganan krisis iklim (63 persen), diikuti dengan kurangnya kesadaran publik (24 persen). Sementara kondisi ekonomi dan harga energi bersih yang masih mahal dinilai sebagai hambatan terkecil (13 persen).
“Perubahan iklim ini bahasanya 'langitan' kalau kata Bu Menteri. Kita harus sederhanakan untuk bisa disampaikan kepada masyarakat. Perubahan iklim juga harus kita kenalkan lebih banyak lagi. Menyebarluaskan jadi sebuah tindakan konkret,” sebut Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK, Ruandha Agung Sugardiman.
“Hari ini kami Ditjen PPI KLHK, berada di Gorontalo dalam rangka workshop peningkatan kapasitas pemahaman perubahan iklim terhadap guru2, dan di kota lain sudah. KLHK dan Kemendikbud, sedang merancang bagaimana kurikulum perubahan iklim ini masuk ke dalam pelajaran,” sambungnya.
Komitmen pemerintah, DPR, dan perusahaan dalam penanganan krisis iklim masih dinilai buruk, dengan tingkat ketidakpuasan paling tinggi pada DPR RI. Meskipun demikian, hampir semua percaya bahwa krisis iklim harus menjadi agenda utama di pemerintah dan DPR dengan 79 persen responden setuju Indonesia menjadi pemimpin dunia dalam menangani krisis iklim.
Di level pengambil kebijakan, siapa menurut responden yang harus menangani?
3 dari 5 orang menilai penanganan krisis iklim tidak cukup dilakukan pada tingkat Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, namun krisis iklim harus langsung ditangani oleh Menteri atau Presiden.
“Sebagai sebuah organisasi yang berupaya mendorong partisipasi publik dalam setiap pengambilan kebijakan, kami melihat tingginya partisipasi responden usia muda dalam menyuarakan kepeduliannya pada krisis iklim lewat survei ini adalah sesuatu yang menggembirakan. Tentunya suara-suara mereka itu harus ditindaklanjuti dan mendapatkan perhatian dari pengambil kebijakan di tingkat pemerintahan maupun DPR dalam menangani krisis iklim,” demikian kata Arief Aziz, Country Director Change.org Indonesia.
(RZD)