Aksi FSPMI Sumut beberapa waktu lalu (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Medan - Elemen buruh yang tergabung dalam Dewan Pimpinan Wilayah Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia Provinsi Sumatera Utara (DPW FSPMI Sumut) untuk kesekian kalinya akan melakukan aksi turun ke jalan dengan menuntut agar Presiden Repubilk Indonesia, Joko Widodo atau Jokowi, mencabut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.
Selain itu, mereka juga menuntut Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi, merevisi Upah Minimum Provinsi (UMP) agar naik minimal 8 persen untuk tahun 2021 mendatang. Hal ini disampaikan Ketua FSPMI Sumut, Willy Agus Utomo.
"Kami secara tegas menolak UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, tidak hanya merugikan kaum buruh akan tetapi banyak hal buruh yang dikebiri dalam UU ini," tegas Willy didampingi Sekretaris FSPMI Sumut, Tony Rickson Silalahi, dan Direktur LBH FSPMI Sumut, Rohdalahi Subhi Purba, Jumat (6/11).
Willy memaparkan, beberapa pasal yang merugikan buruh antara lain, Pasal 88C Ayat (1) yang menyebutkan gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi dan Pasal 88C Ayat (2) yang menyebutkan gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.
Dengan adanya sisipan Pasal 88C Ayat (1) yang menyebutkan gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi dan Pasal 88C Ayat (2) yang menyebutkan gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.
Menurutnya, penggunaan frasa “dapat” dalam penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) sangat merugikan buruh. Karena penetapan UMK bukan kewajiban, bisa saja gubernur tidak menetapkan UMK. Hal ini akan mengakibatkan upah murah.
"Dengan kata lain, berlakunya UU Cipta Kerja mengembalikan kepada rezim upah murah. Hal yang sangat kontradiktif, apalagi Indonesia sudah lebih dari 75 tahun merdeka," tegas Willy.
Oleh karena itu FSPMI meminta agar UMK harus tetap ada tanpa syarat dan UMSK serta UMSP tidak boleh dhilangkan. Jika ini terjadi, maka akan berakibat tidak ada income security (kepastian pendapatan) akibat berlakunya upah murah.
Selain itu, lanjut Willy, UU Nomor 11 tahun 2020 juga menghilangkan batas waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu ( PKWT), Outsourcing (biro jasa) bisa di segala lini sektor utama dan seumur hidup. Dengan tidak adanya batasan terhadap jenis pekerjaan yang boleh menggunakan tenaga outsourcing, maka semua jenis pekerjaan di dalam pekerjaan utama atau pekerjaan pokok dalam sebuah perusahaan bisa menggunakan karyawan outsourcing.
"Hal ini mengesankan negara melegalkan tenaga kerja diperjual belikan oleh agen penyalur. Padahal di dunia internasional, outsourcing disebut dengan istilah modern slavery (perbudakan modern)," ungkap Willy.
Masih kata Willy, UU ini juga mengurangi nilai pesangon buruh, dari 32 bulan upah menjadi 25 upah (19 dibayar pengusaha dan 6 bulan melalui Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang dibayarkan BPJS Ketenagakerjaan).
Menurutnya, hal tersebut jelas merugikan buruh Indonesia, karena nilai jaminan hari tua dan jaminan pensiun buruh Indonesia masih kecil dibandingkan dengan beberapa neagra ASEAN.
"Masih banyak Pasal yang merugikan kaum buruh, maka kami akan terus berjuang agar UU ini dicabut," tuntutnya.
Sekretaris FSPMI Sumut, Tony Rickson Silalahi mengatakan, pihaknya telah melayangkan pemberitahuan aksi unjuk rasa damai yang akan di aksanakan selama 2 hari, 9 dan 10 November 2020 ke Polda Sumut.
"Tujuan Aksi dipusatkan di Kantor Gubernur dan Kantor DPRD Sumut. Massa Aksi 500 orang perwakilan buruh FSPMI dari Kota Medan, Deliserdang, Serdang Bedagai, Labuhanbatu, dan Padanglawas," ucapnya.
(RZD)