Ilustrasi. (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Jakarta – Kementerian Perhubungan melibatkan berbagai pihak termasuk antropolog dan sejarawan untuk membahas dan mencari solusi penanganan kemacetan di Puncak, Jawa Barat.
“Mengapa kita undang para antropolog dan sejarawan ? karena berdasarkan suatu kajian bahwa apabila ada suatu persoalan yang begitu rumit seperti kemacetan di Puncak, maka antropolog dan sejarawan harus bicara atau dilibatkan untuk menyelesaikan,” kata Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi saat membuka Webinar bertema “Puncak, Mengapa Diminati Meski Macet Menanti” yang diselenggarakan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), Selasa (29/12).
Ia mengatakan, kompleksnya permasalahan kemacetan di kawasan Puncak tidak bisa hanya diselesaikan hanya dari sisi transportasi saja.
“Puncak itu ibarat fenomena gunung es, dan persoalan transportasi hanyalah puncak gunung es dari masalah yang terlihat di kawasan ini,” kata dia.
Budi memaparkan, berbagai upaya jangka pendek seperti rekayasa lalu lintas untuk mengatasi kemacetan di Puncak sudah dilakukan baik oleh BPTJ, Kepolisian, maupun oleh Pemerintah Daerah.
“Berbagai upaya sebenarnya telah dilakukan yang sifatnya adalah jangka pendek seperti; buka tutup jalan, satu arah, dan berbagai kegiatan. BPTJ, dan juga berbagai pemangku kepentingan khususnya polisi dan Pemda juga berupaya melakukan rekayasa lalu lintas di Puncak dengan uji coba yang dilakukan pada akhir tahun 2019 melalui kanalisasi sistem 2-1. Tetapi itu semua jangka pendek. Kami ingin ada langkah yang lebih komprehensif, di satu sisi bisa berikan layanan tetapi di satu sisi bisa berikan solusi,” kata dia.
Ia menjelaskan, beberapa upaya jangka panjang yang bisa dilakukan untuk mengatasi kemacetan di Puncak seperti; memberikan subsidi untuk pelayanan angkutan jalan melalui skema Buy The Service (BTS).
Melalui skema BTS bisa mengajak para pemilik angkot untuk bisa bergabung bersama dalam suatu wadah seperti koperasi, dapat memiliki kendaraan yang lebih besar seperti bus untuk melayani angkutan di kawasan Puncak.
“Bus di sana kita berikan subsidi. Dengan membangun angkutan massal yang memiliki kapasitas yang besar diharapkan dapat mengurangi jumlah kendaraan baik angkot maupun penggunaan kendaraan pribadi yang selama ini memadati kawasan puncak,” ujarnya.
Ia menyarankan kepada pemilik hotel agar juga memiliki atau memanfaatkan angkutan bus agar pengunjung tidak menggunakan kendaraan pribadi.
Budi berharap, permasalah kemacetan di Puncak bisa diatasi sehingga puncak bisa menjadi kawasan yang tidak hanya ramah bagi pengunjung dan masyarakat, tetapi bisa dikendalikan secara holistic dengan tetap menjaga kelestarian alamnya.
Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), Polana B. Pramesti mengatakan, Kemenhub bekerjasama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) tengah melakukan kajian lalu lintas dan penataan kawasan puncak, yang mengkaji beberapa aspek seperti; aspek trasnportasi, aspek tata ruang, ada aspek finansial dan biaya.
Salah satu usulan dari kajian ITB untuk mengatasi kemacetan di kawasan Puncak yaitu penggunaan high occupancy vehicle (kendaraan yang okupansinya tinggi) seperti Bus.
“Ada beberapa instrumen kebijakan yang diusulkan oleh ITB, diantaranya penyediaan layanan shuttle bus, pembangunan jalan baru, penataan hambatan samping, penerapan ganjil genap, dan penggunaan kendaraan yang okupansinya lebih tinggi, serta menerapkan eskalasi tarif parkir kendaraan pribadi dan perpindahan moda,” kata Polona.
Berdasarkan data dari BPTJ, sejak tahun 1970-an Puncak bertransformasi menjadi suatu kawasan yang diminati oleh masyarakat dan semakin digemari karena banyak hotel, tempat makan, udara sejuk.
Demand yang terus bertumbuh menjadi beban kawasan Puncak. Salah satu dampak yang paling nampak adalah sering terjadinya kemacaten kronis yang kerap terjadi setiap akhir pekan maupun pada saat libur panjang.
(TRY/CSP)