Pemangku Adat Papaso Gugat Perkebunan Kelapa Sawit Rp 137 Miliar

Pemangku Adat Papaso Gugat Perkebunan Kelapa Sawit Rp 137 Miliar
Kuasa hukum pemangku adat Papaso, Kabupaten Padang Lawas (Analisadaily/Istimewa)

Analisadaily.com, Sibuhuan - PT Permata Hijau Sawit (PHS) digugat pemangku adat Desa Papaso, Kecamatan Sosa Timur, Kabupaten Padang Lawas ke Pengadilan Negeri Sibuhuan dengan nilai gugatan sebesar Rp137 miliar.

Gugatan masyarakat ini diajukan karena perusahaan kelapa sawit tersebut dinilai mengabaikan Undang-Undang Perkebunaan Nomor 39 tahun 2014.

Gading Martua Habonaran Daulay, selaku kuasa hukum pemangku adat Desa Papaso dan sekitarnya, termasuk Desa Sibodak, Salambue, Rombayan, Gunung Inten, Muara Tige, Gunung Manaon dan Gunung Baringin mengatakan, selama ini masyarakat merasa dibodoh-bodohi oleh perusahaan.

"Masyarakat selama ini sudah terlalu sabar, makanya masyarakat melakukan gugatan," kata Gading Daulay, Selasa (26/1).

Gading menjelaskan, awal dari persoalan ini terjadi saat masyarakat menyerahkan pengelolaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit dengan sistem kerja sama kepada PT PHS tahun 1992.

Tetapi sampai hari ini kebun plasma kelapa sawit yang menjadi harapan masyarakat sesuai kesepakatan justru tidak terealisasi.

Disampaikan para penggugat, awalnya penyerahan lahan seluas 1.352 hektare dengan rincian untuk kebun inti perusahaan 1.217 hektare dan kebun plasma masyarakat 135 hektare atau 10 persen dari luas lahan.

"Tetapi nyatanya yang dikuasai dan dikelola perusahaan di wilayah Papaso sekitarnya mencapai 2.900 hektare. Jika sesuai aturan UU perkebunan, masyarakat berhak mendapatkan kebun plasma 20 persen dari luas lahan, maka masyarakat berhak mendapatkan kebun plasma kelapa sawit seluas 580 hektare," sebut Gading.

Menurutnya, jika melihat kondisi harga kelapa sawit di kisaran Rp 1.500-2.000 per kg, maka penghasilan per hektare bisa mencapai Rp 2.500.000.

"Maka dalam jangka 25 tahun per hektar bisa mencapai Rp150.000.000, jika dikalikan 580 hektare berarti masyarakat mengalami kerugian Rp78 miliar," ungkapnya.

Menurutnya itu baru kerugian materil akibat sikap perusahaan yang tidak melaksanakan kewajiban dan melanggar UU Perkebunan.

"Belum lagi kerugian imaterial diperkirakan mencapai Rp50 miliar akibat arogansi pihak manajemen perusahaan selama hampir tiga puluh tahun beroperasi di daerah ini," tukasnya.

(ATS/EAL)

Baca Juga

Rekomendasi