Urgensi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual serta Hukuman Kebiri Kimia

Urgensi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual serta Hukuman Kebiri Kimia
Sekretaris Bela Negara GM FKPPI PD II Sumatera Utara (Sumut), M Noor Randi Asyari (Analisadaily/Istimewa)

Analisadaily.com, Medan - Anak merupakan amanah serta anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hak-haknya.

Hal itu sesuai dengan ketentuan-ketentuan Hak Anak yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 yang mengemukakan tentang prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu nondiskriminasi, kepentingan terbaik anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang, dan menghargai partisipasi anak.

Meskipun anak telah dilindungi oleh beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia, namun ternyata kejahatan terhadap anak masih tetap banyak terjadi. Mulai dari penyiksaan, pelecehan seksual, pemerkosaan bahkan pembunuhan terhadap anak. Ironisnya, pelaku kejahatan terhadap anak banyak dilakukan oleh orang-orang yang terdekat dengan si anak tersebut.

“Fakta dan kondisi tersebut menunjukkan bahwa perlindungan terhadap anak harus terus ditingkatkan intensitasnya serta sanksi hukum bagi pelakunya harus lebih berat,” kata Sekretaris Bela Negara GM FKPPI PD II Sumatera Utara (Sumut), M Noor Randi Asyari, Jumat (12/2).

Menurutnya, kejahatan dapat dilakukan oleh siapapun dan terhadap siapapun. Setiap orang dapat menjadi sasaran kejahatan, baik itu orang dewasa apalagi anak-anak. Meningkatnya intensitas kejahatan terhadap anak-anak dikarenakan pelaku kejahatan merasa bahwa anak-anak dapat menjadi salah satu sasaran untuk melakukan tindakan asusila.

“Hal ini juga dipengaruhi oleh pendapat bahwa anak-anak ternyata tidak cukup mampu untuk memahami bawa perbuatan yang dilakukan oleh pelaku merupakan kejahatan atau juga disebabkan anak-anak tidak mampu menolak keinginan si pelaku,” ucapnya.

Randi yang juga Mahasiswa Magister Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) menuturkan, ada beberapa kasus besar terkait dengan tindakan asusila yang korbannya adalah anak di bawah umur yang terjadi di Indonesia.

Sejak tahun 2010 hingga saat ini, kasus tindakan asusila terhadap anak masih terjadi. Banyaknya kasus tindakan asusila terhadap anak-anak memantik reaksi kemarahan dari berbagai pihak, misalnya Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) serta berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang meminta kepada pemerintah untuk memberikan hukuman yang lebih berat kepada pelaku.

“Desakan publik agar pemerintah merevisi sanksi hukum bagi pelaku tindakan asusila terhadap anak dikarenankan memiliki dampak luas, dan sifatnya jangka panjang. Sebab, tindakan asusila yang terjadi pada anak tidak hanya meninggalkan luka secara fisik, namun juga memberikan efek negatif dilihat dari perkembangan emosional, sosial, dan psikologi,” sebutnya.

Diungkapkan Randi, desakan massif yang diutarakan beberapa pihak yang menginginkan pelaku kejahatan seksual terhadap anak diperberat sanksi hukumnya, akhirnya membuat pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Perpu Nomor 1 ini kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2016. Perpu itu mengatur tentang adanya hukuman terhadap pelaku tindakan asusila, khusus terhadap anak. Perppu Nomor 1 Tahun 2016 mengatur adanya pidana dan tindakan.

Tindakan yang dimaksud dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2016 menyatakan, pelaku yang melakukan tindak pidana dapat diberi hukuman berupa tindakan pelaksanaan kebiri kimia yang disertai dengan rehabilitasi. KPAI menyatakan, terbitnya Perppu mengacu kepada alasan-alasan serta keadaan kebutuhan yang sangat mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum.

“Alasan logisnya adalah semakin banyaknya kasus tindakan asusila terhadap anak. Sementara pada sisi lain pelakunya tidak juga jera, bahkan tidak jarang melakukan kejahatan yang sama. Kondisi tersebut tentu membutuhkan upaya penjeraan yang sifatnya preventif,” ucap Randi.

Alasan lain, pasal pidana yang mengatur hukuman bagi pelaku tindakan asusila terhadap anak yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak masih sangat ringan, karena maksimalnya hanya dihukum 15 tahun, sehingga dirasakan tidak efektif untuk meminimalisir kejahatan seksual terhadap anak.

Menurut Randi, agumentasi tersebut menjadi salah satu faktor penting yang mendorong Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak menjadi landasan hukum bagi penerapan kebiri kimia untuk pelaku tindakan asusila.

Dalam ketentuan Pasal 81 ayat (7), kebiri kimia menjadi norma sebagai pidana tambahan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak Sungguh diluar dugaan, ternyata terbitnya Perpu Nomor 1 Tahun 2016 tersebut menuai kecaman dan kritik pedas dari berbagai elemen masyarakat seperti aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dan para dokter.

“Maka layak untuk dikaji pertimbangan hukum dari terbitnya Perpu Nomor 1 Tahun 2016 tersebut, yang menjadi pro dan kontra di masyarakat,” ujarnya.

Dalam rapat dengar pendapat dengan INFID (International NGO Forum Indonesia Development), BODY SHOP, dan Komnas Perempuan, membahas tentang perbuatan asusila, tidak lagi menggunakan Nomenklatur Kekerasan seksual namun menggunakan nomenklatur kejahatan seksual.

Sesuai dengan Undang-Undang Existing yang berlaku Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014, perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak yang mengunakan istilah kejahatan seksual. Istilah lain yang bias digunakan yaitu Kejahatan terhadap kesusilaan sebagaimana tercantum dalam buku 2 bab 14 KUHP.

“Kejahatan seksual atau kejahatan terhadap kesusilaan ini adalah concern seluruh umat manusia. Dan concern itu dalam konteks agama samawi telah dibawa para nabi dan rasul dari waktu kewaktu. Tentu perjalanan panjang sejarah akan membuat bentuk, variasi, cara, teknologi, dan metode akan semakin banyak,” tandasnya.

(RZD)

Baca Juga

Rekomendasi