Pandemi Menguji Ketangguhan Keluarga

Pandemi Menguji Ketangguhan Keluarga
Miska Gewasari (Analisadaily/Amirul Khair)

Analisadaily.com, Lubuk Pakam - Sudah setahun lebih Indonesia mengalami situasi yang merubah tatanan kehidupan akibat dampak dari wabah Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Hampir semua aspek kehidupan terdampak, termasuk keluarga yang merupakan tempat berhimpunnya masyarakat terkecil dan menjadi 'laboratorium' utama pembentuk karakter generasi emas mendatang.

Pandemi Covid-19 menjadi catatan tersendiri bagi keluarga di Indonesia. Pandemi dengan konseksuensinya merubah semua tatanan kehidupan termasuk menjadi ujian bagi ketangguhan sebuah keluarga.

Banyak keluarga yang tidak siap menyiasati dampak pendemi. Ketangguhan keluarga menjadi rapuh hingga menimbulkan banyak persoalan baru yang tak jarang mengancam ketahanan keluarga bahkan bisa berujung bubar.

Semua Lapisan

Tokoh perempuan Sumatera Utara, Miska Gewasari, tidak menampik bahwa pandemi Covid-19 sangat menguji ketangguhan keluarga. Ada yang mampu bertahan, namun banyak pula yang tergilas karena tidak cerdas dalam menyikapi bencana nasional ini.

“Kalau disebut diuji, memanglah diuji. Dan ujian itu bukan hanya untuk kelompok masyarakat sosial ekonomi rendah saja,” ungkap Miska, Senin (10/5).

Pandemi bukan saja menguji keluarga dari kalangan masyarakat ekonomi rendah, mereka yang berada di kelas menengah bahkan kalangan atas pun diuji. Selain diuji dengan ekonomi, di luar ekonomi juga yakni, ‘gaya hidup’.

Masyarakat yang ekonominya terbatas, ujiannya mungkin sektor ekonomi. Kenapa ? Karena masyarakat saat ini banyak yang kehilangan pekerjaan. Isu pembangunan pemulihan ekonomi menunjukkan perekonomian Indonesia terpuruk dari data-data statistik.

“Kondisi kita dalam perspektif ekonomi, semua terdampak,” terangnya.

Berbicara ketahanan keluarga, tidak saja masalah ekonomi yang membuat keluarga rapuh hari ini. Bagi sebagian masyarakat yang memiliki pendapatan tetap seperti, Aparatur Sipil Negara (ASN) atau lainnya yang memiliki simpanan untuk bertahan hidup, mungkin tidak begitu masalah.

Tapi dari sisi gaya hidup, secara psikis terganggu. Mereka yang terbiasa berinteraksi sosial seperti mengunjungi atau berkumpul dengan keluarga sepekan sekali, kini menjadi terbatas. Atau mereka yang biasa rekreasi mendatangi tempat hiburan, keramaian dan obyek wisata tertentu sebagai cara melepaskan tekanan kesibukan, hari ini semua terbatas.

“Mau tak mau tinggal di rumah saja dengan keterbatasan. Tinggal di rumah merasa tidak nyaman dan akhirnya menimbulkan kerentanan terjadinya situasi tidak nyaman dalam keluarga,” urai Miska.

Dibatasi

Dalam perpektif 8 fungsi keluarga, baik edukasi, sosial pengembangan lingkugan, reproduksi dan lainnya, fungsi-fungsi tersebut jadi tidak berjalan karena dalam kondisi dibatasi. Untuk rekreasi misalnya, dia bukan tidak punya uang, tapi tempat tujuan rekreasinya yang ditutup.

Kondisi ini ditambah lagi dengan tekanan pekerjaan dalam situasi pandemi yang bersifat menimbulkan kepanikan dalam aktivitas terbatas. Diperparah lagi, masing-masing anggota keluarga punya kesibukkan tersendiri sehingga keluarga yang biasa menjadi tempat mencurahkan permasalahan rentan menjadi sumber permasalahan.

Terlebih papar Miska, kepanikan sangat terasa diawal pandemi tatkala masyarakat secara luas belum teredukasi secara baik dalam menyikapi situasi. Bahkan sampai kebijakan adaptasi baru dalam aktivitas menyiasati antara tetap beraktivitas dengan aturan baru yang diterapkan, menambah lagi kerentanan dalam keluarga.

“Secara psikis ada tekanan kepada masyarakat yang menyebabkan muncul atau gampang terjadi perselisihan dalam rumah tangga baik antara orang tua maupun dengan anak,” ujarnya.

Dalam ruang lingkup keluarga kini benar-benar sedang diuji. Kebijakan belajar tatap muka yang ditiadakan selama pandemi dan diganti dengan daring misalnya, menyebabkan ancaman baru bagi anak. Sebab, gawai yang menjadi alat untuk daring kini dengan mudah dimanfaatkan anak yang mungkin selama ini dibatasi penggunaannya.

Tapi disebabkan metode belajar daring mewajibkan anak menggunakan gawai, terpaksa pembatasannya dilonggarkan. Ironisnya, pengawasan orang tua terhadap anak dalam penggunaan gawai tidak maksimal.

“Padahal gawai menghubungkan semua. Ini jauh lebih berbahaya ketika dipegang anak tanpa pengawasan. Dunia dalam genggaman. Apa pun yang bisa diakses orang dewasa, dapat diaskes anak. Ini seperti meninggalkan ‘monster’ di rumah ketika tidak ada pengawasan dari orang dewasa,” tandas Miska.

Menyikapi situasi itu, pendekatan spiritual menjadi kunci paling utama. Memahami semua permasalahan berangkat dari dasar agama akan mendatangkan kesejukan hati yang berimplikasi terhadap munculnya ide-ide cemerlang.

Dan agar sebuah keluarga tetap tangguh menghadapi efek pandemi Covid-19, masing-masing anggota terutama orang tua, harus mampu menciptakan suasana gembira dalam keluarga dan tidak terlalu takut serta memotivasi bahwa kehidupan normal dengan adaptasi baru tetap bisa membahagiakan mereka.

(AK/EAL)

Baca Juga

Rekomendasi